Kekuatan Pikiran dalam Berkomunikasi

Oleh Erwin Parengkuan

Suatu hari, selepas jam makan siang saya bersama anak kantor mengadakan meeting dengan klien kami di sebuah café langganan dekat kantor kami di Menteng, Jakarta Pusat. Belum pernah saya datang di jam tersebut dan alangkah terkejutnya saya ketika sampai di sana karena parkiran tempat tersebut sangat penuh mobil. Ini bukan weekend atau jam sibuk/pulang kantor dimana banyak orang juga ingin melepaskan penat mereka. Makanan dan service di tempat ini memang memuaskan. Saya amati juga, tempat ini tidak pernah melakukan promosi gencar-gencaran tetapi selalu ramai. Hebat!

Ketika meeting telah selesai, saya pulang dengan pikiran menggantung, apa ya faktor utama tempat ini selalu ramai termasuk di jam yang tidak sibuk sekalipun? Sampai rumah istri saya mengajak nonton, saya membuka aplikasi di ponsel untuk melihat film apa saja yang saat ini sedang diputar di bioskop. Ada satu film dengan judul “Missing” dari Colombia Pictures. Bercerita tentang seorang ibu yang hilang dan sang anak remajanya yang mencari tahu rekam jejak sang ibu ada dimana. Kami kemudian bergegas pergi. Film ini dikemas dengan sangat baik, alur cerita, para pemain, tidak bertele-tele. Bila melihat makna dalam film ini, secara moral tidak terlalu mendalam, tetapi menarik sebagai sebuah hiburan. Setelah film usai, kami membahas tentang film ini, saya bilang ke istri, ini film Hollywood mereka sudah hatam cara membuatnya. Cerita yang biasa, bila dibuat dengan plot twist yang tepat tentu akan menarik untuk disaksikan. Sama persis seperti café yang saya datangi siang tadi. Sebuah kekuatan dari alur yang sangat dikuasai dengan baik. Kita semua tahu, sebuah system/pola yang terus menerus dilakukan akan menciptakan alur dalam sebuah hasil. Bila alur tersebut terus dievaluasi, akan terjadi yang namanya “experiential learning” yaitu sebuah proses pembelajaran dari setiap fase/moment yang dilakukan. Trial and error, adjust and make it better, kurang lebih seperti itu. Hasilnya sudah pasti akan menjadi lebih baik dan lebih baik.

Begitupun dengan cara kita berkomunikasi. Bagiamana alur itu kita miliki, kita kuasai dan menjadi fondasi yang kuat seperti kedua contoh di atas. Sayangnya kita bukan robot, kita tidak seperti system yang dibuat. Kita sangat kompleks. Ada “rasa” dalam diri setiap orang, tepatnya level emosi yang berbeda-beda. Contoh orang yang baper tentu tidak memiliki kemampuan komunikasi yang baik, juga buat mereka yang temperamental, begitupun orang yang selalu pasif dan pasrah akan sangat datar cara bicaranya. Itu baru urusan emosi yang dimiliki berbeda dari setiap orang, belum lagi PR terbesar adalah kemampuan dalam mengendalikan diri, kemampuan menganalisa diri, kekayaan wawasan dll yang berujung sebuah proses yang kita buat dan jalani. Apapun itu, akan menghasilkan cara bicara dari kemampuan seseorang berkomunikasi.

Dalam sesi group coaching belum lama ini, seorang bos bertanya kepada saya “Bagaimana caranya menghilangkan blank ketika berbicara?” seperti pemaparan dari contoh-contoh di atas, itu juga yang saya sampaikan. Perlunya kita menguasai 100% konten dan membuat sebuah flow/alur dari ragam kemampuan komunikasi kita pada situasi yang berbeda-beda. Konteks atau tujuan komunikasi tentu harus sesuai dengan ekspektasi audiens, sehingga ada insights yang kita berikan kepada mereka. Termasuk penyusunan alur/flow yang menjadi fondasi utama. Jawabannya adalah kekuatan pikiran yang kita miliki menjadi fondasi dari sebuah alur yang tepat.

Setiap car akita berkomunikasi sangat bergantung pada kemampuan menyusun kata-kata yang tepat, tidak muter-muter. Kata yang dipilih harus mudah diterima, menarik perhatian, tuntas dan tentu harus diikuti dengan cara menyampaikannya. Saya jadi ingat, 19 tahun yang lalu ketika memulai TALKINC kami hanya memiliki 4 modul. Sekarang kami sudah memiliki 54 modul dengan payung besar Komunikasi. Artinya, komunikasi itu sangat lentur dan bertumbuh sesuai perkembangan zaman. Ketika kita sadar 100% membuat fondasi itu menjadi sangat penting, kita akan mulai memaksakan diri untuk memperkuat pikiran kita atas penguasaan materi dan kepahaman tujuan bicara yang akan memberikan bobot kepada lawan bicara.

Hendaknya kita semua mulai membiasakan diri untuk menjadi orang yang lebih eksploratif dalam menemukan sebuah system/alur/fondasi bicara yang harus dipraktikkan setiap hari tanpa lelah dan memiliki kesadaran diri untuk terus mengasahnya.

Belief System

oleh Erwin Parengkuan

Dalam sebuah pelatihan dengan 30 peserta yang semuanya adalah generasi Zillenials selama 2 hari penuh, saya berkesempatan mengenal mereka lebih dekat lagi. Menyelami pikiran dan ketakutan-ketakutan mereka, tepatnya ketika nanti akan ditempatkan di area kerja yang baru, bertemu dengan para senior level serta kekhawatiran tentang nasib karir mereka.

Ketika sesi terakhir, kami meminta mereka satu persatu untuk tampil presentasi tanpa slides dan menyampaikan materinya selama maksimal 2 menit. Ini adalah waktu yang paling saya nantikan karena saya akan melihat bagaimana mereka telah menerima materi dengan baik, adakah diantara mereka yang memiliki kemampuan komunikasi yang terbaik.

Seorang anak maju ke depan dan mulai menceritakan tentang pengalaman mengambil double degree di luar negeri. “Mulanya saya sangat ragu, apakah saya dapat berdikari tanpa dampingan keluarga di negara orang? Perasaan cemas itu semakin meningkat menjelang keberangkatan saya. Saya sangat risau, karena saya adalah satu-satunya anak perempuan di keluarga. Selama bersekolah saya selalu diantar jemput oleh orang tua. Mereka sangat melindungi saya dan sayapun nyaman dibuatnya. Tetapi ketika sampai kepada keputusan mengambil sekolah di LN, mereka membebaskan saya. Di sisi lain, ada perasaan penasaran, apakah saya betul bisa lepas dari keluarga saya? Bagaimana nanti kalau saya sakit, siapa yang akan merawat saya? Kalau ada yang tidak beres di tempat saya tinggal, kepada siapa saya meminta bantuan?” Demikian celoteh si anak Z ini kepada kami di kelas. Saya sangat menikmati ceritanya dengan alur yang baik, dan tentu penasaran akan bagaimana kelanjutan kisahnya.

“Akhirnya, ketika saya sudah sampai di negara itu, sudah masuk ke universitas yang saya impikan, sudah mendapatkan tempat tinggal yang tidak jauh dari kampus, ternyata semua yang saya takutkan tidak terjadi. Ini seperti kata hati saya ketika saya memutuskan untuk meninggalkan keluarga. Dalam hati saya bilang, kalau “ujian kecil” ini saja saya tidak bisa melewati, bagaimana dengan karir saya selanjutnya?”

Ternyata memang betul, sebuah keyakinan memang harus kita yang menciptakannya. Harus kita yang meyakininya. Kita harus memiliki kemampuan untuk memvisualisasikan bayangan itu dalam sebuah gambaran yang jelas, semakin jelas kita bayangkan, akan semakin mudah kita meraihnya! Ketika kita yakin, semua tindakan akan berjalan dengan baik. Bila kita percaya, semua akan terjadi seperti apa yang kita bayangkan. Belief System adalah suatu sikap yang ditunjukkan saat seseorang merasa mampu dan yakin. Ketika perasaan ini dipupuk maka akan menghasilkan sebuah kebenaran. Ketika kita berpikir negatif tentu hasilnya akan sama, begitupun sebaliknya. Ketika muncul perasaan ragu hendaknya kita langsung menganalisanya, apakah hal tersebut memiliki fakta yang kuat atau itu hanya sebuah ketakutan belaka/asumsi. Ketika proses ini kita jalankan terus, kita juga akan memiliki kemampuan untuk mengubah sebuah ketakutan menjadi sebuah usaha yang akan memberikan sebuah hasil. Bila hasilnya belum sesuai tentu kita akan mencari jalan keluar terbaik dan akan berjalan seperti apa yang sudah kita dipercayai, dan apa yang kita akan raih akan semakin jelas wujudnya.

Memaksimalkan Belief System sebagai modal keyakinan untuk menjadi terbaik dari diri kita menurut saya mutlak 100%. Berbagi faktor akan terus bermunculan, seperti pengaruh pola asuh, kemudian melihat figur yang dapat kita jadikan sebuah contoh, seberapa besar informasi akurat yang kita peroleh, termasuk lingkungan sosial akan memberikan kontribusi penting. Ketika proses ini tidak mendukung atas pembentukan yang akan kita yakini, hendaknya kita pandai-pandai menilainya dengan segera membuang yang buruk dan kembali mencari jalan terbaik, termasuk dalam mencari lingkungan yang lebih sehat yang dapat mempertebal system kepercayaan kita. Jangan lupa untuk terus memasukkan sugesti positif ke dalam diri secara terus menerus dengan melakukan self talk, self reflection, self control, self evaluation, dan self motivation. Seperti cerita manarik dari salah satu peserta di kelas saya. Oh ya satu lagi jangan lupa, bahwa kita adalah tuan untuk diri kita sendiri dan hanya kitalah yang dapat membuat diri kita sukses ataupun gagal dan semua ini berasal dari Belief System kita. Seperti kata sebuah tagline “Nothing is impossible!”

The Fundamental of Public Speaking

oleh Erwin Parengkuan

Menekuni profesi sebagai pengajar Public Speaking tanpa saya sadari sudah menginjak tahun ke 19, sama halnya dengan organisasi TALKINC ini. Dari begitu panjangnya perjalanan yang sudah saya lalui, berbagai tantangan berbagi di kelas sudah saya lewati. Peserta yang memiliki antusiasme yang tinggi, minat belajar yang muncul dari kebutuhan, atau karena diminta atasan atau orangtua, membuat saya merekam berbagai macam cara mereka mengutarakan pikiran, perasaannya, dan pendapatnya di depan kelas. Disitulah dinamika berbicara di depan publik dengan individu yang berbeda-beda, isi kepala, audiens yang juga berbeda-beda dengan tujuan pesan yang ingin kita sampaikan diterima 100% dengan baik, tanpa adanya distorsi apapun. Apakah semuanya berhasil menyampaikan pendapat dengan tepat?

Public Speaking atau cara berkomunikasi adalah sebuah landasan utama yang terpenting bagi kita umat manusia, tanpanya kita akan kesulitan untuk menyampaikan pesan apapun yang ada di kepala. Jadi Public Speaking adalah sebuah cara bagaimana seseorang mengutarakan/mengartikulasikan sebuah pesan agar jelas dan runut. Disinilah letak sebuah seni yang dulu kita banyak ketahui tentang 3 faktor yang harus dimiliki seseorang dalam berkomunikasi yaitu bahasa tubuh, suara dan kata-kata, seperti penelitian yang dilakukan oleh seorang professor Albert Mehrabian pada era sebelum digital datang. Saya tidak akan membahas itu karena memerlukan begitu banyak komponen pendukung didalamnya yang harus diasah terus menerus. Kali ini saya justru akan mengajak anda melihat sebuah hal utama dibalik itu yang perlu dimiliki.

Saya menyimpulkan bahwa Public Speaking sejatinya adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan dirinya. Bagaimana kita dapat mengatur ego kita dalam berkomunikasi, tidak dominan, tidak merasa paling benar, dan tidak otoriter. Dalam sebuah buku yang saya baca di tulis oleh pemenang Nobel Daniel Kahneman, ia menuliskan sebuah kesimpulan tentang “thinking fast and slow” bagaimana otak kita berpikir secara cepat dan lambat dalam mengambil sebuah keputusan yang memengaruhi cara kita dalam menentukan hal apapun. Begitupun halnya dalam seni berbicara, kita harus dapat mengendalikan diri kita, hanya kita yang dapat mengendalikannya.

Kemampuan seseorang dalam mengendalikan dirinya adalah sebuah fundamental dalam Public Speaking. Kita tentu tahu bahwa kecakapan seseorang dalam membawakan dirinya akan menciptakan sebuah relasi yang sangat indah. Saling menghargai, saling melindungi, saling menyayangi, dan peduli terhadap sesama. Hal inilah yang harus terlebih dahulu kita pahami, kuasai dan miliki dalam diri kita. Jadi akan jelas terlihat, mulai dari pemilihan kata-kata yang diucapkan seseorang, jelas terasa bagaimana ia memandang dirinya dan memandang orang lain. Kalau kata-kata, suara, bahasa tubuh bahkan cara berpenampilan yang kita lihat, dengar dan rasakan itu tidak mengena dihati kita, maka akan terlihat bagaimana hubungan yang akan terjadi selanjutnya.

Semua kata-kata yang kita ucapkan akan jadi pengukur yang jelas, bagaimana tingkat kepahaman dari apa yang kita ucapkan, akan terasa juga dan membekas di hati. Kata-kata seperti “masak gitu aja kamu enggak tahu!” melambangkan seseorang yang menganggap dirinya lebih baik dari orang lain, yang berimbas lawan bicara merasa direndahkan. Kemudian, dampak selanjutnya tidak akan terjadi sebuah komunikasi yang baik bila kalimat-kalimat seperti ini terus dikumandangkan, belum lagi intonasi dan bahasa tubuh yang mengiringinya memperkuat pesan tersebut.

Komunikasi adalah sebuah seni dalam membangun hubungan. Sepatutnya pemahaman fundamental ini dulu. Dan mulai sekarang, mari kita mengenal diri lebih baik, menguasai diri ,menghargai diri dan menghargai lawan bicara. Mulailah melihat kedalam diri sebelum kita melakukan komunikasi atau Public Speaking, agar terjadi hubungan yang selaras dan saling menghargai karena semua orang ingin diperlakukan dan diperhatikan dengan baik. Baru setelah itu kita latih intonasi dengan tepat, cocokan dengan bahasa tubuh, tekanan suara serta berpenampilan yang sesuai.

The Power of Words

Seorang profesor bernama Mehrabian di akhir tahun 1970 melakukan penelitian terhadap dampak dalam berkomunikasi yang kemudian menjadi acuan dasar manusia untuk menyampaikan sebuah pesan. Dari penelitian yang melibatkan 1000 responden itu, kata-kata yang kita ucapkan memberikan dampak hanya 7%, sisanya 38% adalah tekanan suara dan selebihnya adalah bahasa tubuh.

Penelitian ini sampai sekarang masih kita gunakan, walaupun sudah sedikit berubah seiring datangnya era digital. Sehingga saya menambahkan porsi gaya penampilan seseorang di dalam komponen-komponen tersebut. Menjadi kata-kata 10%, suara 20%, penampilan 10% dan bahasa tubuh 60%, seperti yang saya tuangkan dalam buku saya “Strategi Sukses Berkomunikasi Secara Efektif” terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2019. Mengacu dari teori sang profesor, tetap kata-kata memberikan dampak yang kecil. Pun demikian, kata-kata adalah senjata kita dalam menyampaikan sebuah pesan. Kata-kata yang tepat dapat membuat seseorang suka ataupun benci kepada kita. Membuat seseorang mengingat apa yang kita ucapkan atau mengabaikannya.

Pada artikel sebelumnya, saya juga telah membahas tentang pentingnya kita memiliki kemampuan kosa kata yang kaya dan beragam. Sayangnya kesadaran ini masih rendah pada masyarakat kita. Kita terlalu minim perbendaraan kata sehingga dengan hadirnya era digital yang kebanyakan mengumbar kata, akhirnya kata-kata yang sering kita gunakan terinspirasi dari jargon-jargon di sosmed, membuat kata-kata yang kita ambil, terdengar menjadi umum dan tidak berdampak.

Untuk itu pentingnya kita harus memiliki kepandaian memilih kata yang tepat agar dapat diingat dan dapat memberikan pengaruh kuat dalam menghasilkan sebuah tindakan yang kita harapkan dari sebuah tujuan komunikasi. Mulailah membiasakan diri dengan kemahiran merangkai kata yang tepat. Menggabungkan kata yang umum dengan kata yang jarang digunakan orang tetapi dapat di mengerti.

Sebuah kata-kata yang powerful banyak mengandung emosi. Bukan kata-kata seperti ketika kita akan memotivasi lawan bicara dengan berucap “kamu pasti bisa” melainkan memikirkan sekiranya lawan bicara kita akan tergerak bila kita masuk ke sisi emosinya terlebih dahulu kemudian menggabungkan dengan kata yang memotivasi. Contoh “saya paham kesulitan yang kamu hadapi dalam menjalankan tugas baru ini, seperti dalam setiap proses pembelajaran, tentu proses ini akan panjang dan berliku, akan tetapi kami percaya kamu dapat memberikan yang terbaik agar kinerja kamu dapat membawamu kepada jenjang karir yang lebih tinggi!”

Ada narasi yang kita persiapkan melalui tabungan kata-kata yang sudah tersimpan di memori kita. Kata-kata yang terlalu pendek, apalagi umum, terdengar biasa dan hanya lewat di telinga lawan bicara. Miliki waktu setiap hari untuk membaca banyak tulisan/narasi yang beragam adalah sebuah obat mujarab.

Mulai aktif menulis juga akan mengasah kemampuan merangkai kata. Saya sendiri melakukannya secara rutin, dan bila melihat sebuah jargon atau sepenggal kata yang saya temukan, saya kemudian akan membuat kalimat yang berbeda dan mencatat pada notes saya. Ketika kita terus mengasah dan mencatatnya, kita akan semakin mahir dalam menyusun kata-kata yang powerful dan jangan lupa untuk membaca kemampuan isi kepala lawan bicara kita. Agar tepat dan membantu mereka berpikir dan tergerak.

Zillenials dan Dunia Kerja Kita

Oleh Erwin Parengkuan

Founder, CEO of TALKINC, Writer, Certified Prof

“Ini kalau tidak diurusin bisa gawat sih mereka, lepas tanpa bimbingan, 70% pekerja kita isinya mereka semua!”
“Kami tuh banyak tahu, semua hal! saking banyaknya tahu kami sering bingung sendiri, mau mulai dari mana? Terlalu banyak pilihan!”
“Mas, saya perlu healing, boleh yaa?”

Tentu anda bisa tebak, 3 ucapan di atas siapa yang bicara dan kepada siapa? Sedihnya, kita terlalu banyak menuntut ke mereka, lupa kalau ngomong harus satu pesan dulu, tanya mereka kenapa itu penting, baru lanjutkan lagi diskusi itu, dst. Bukan membombardir mereka dengan pesan yang bertubi-tubi dan membuat mereka kabur dan minta langsung healing.

Saya sangat sering berjumpa mereka di kelas, berbagi jurus jitu cara komunikasi yang tepat dan ngobrol sama mereka. Bilangin mereka kenapa ini dan kenapa itu penting buat dilakukan dalam meningkatkan karir dan tentu untuk memiliki kemampuan berkomunikasi yang lebih mudah diterima lawan bicara, apalagi dengan yang lebih senior yang masih arogan dan (makin) mudah baper.

Pernah dalam sebuah sesi dengan mereka, para zillenial yang jumlahnya 24 orang, para management trainee yang terpilih untuk menjadi penerus perusahaan besar itu. Saya melontarkan pertanyaan terbuka untuk menerima tantangan mencocokkan penjelasan dari 4 terminologi yang sudah saya tulis di flipchart. Anak ini bergegas menyambut tantangan saya, sampai di depan kelas, dia lantas menggaruk-garuk kepalanya, dan bilang ke saya “Aduh saya lupa pak ini yang mana aja ya?” saya bilang “Loh saya kan tidak memintamu, kamu sendiri yang berinisiatif untuk maju ke depan, coba ingat-ingat apa yang tadi sudah ada dibenakmu?” ujar saya santai. Saya kemudian membalikkan pertanyaannya “Nah, kalau kamu mau tahu tidak pagi ini saya bangun jam berapa?” Dengan cepat ia menjawab “Enggak nanya!” Aduhhhhh!!!!!

Contoh yang sering terjadi, gesekan makin nyaring bunyinya. Wahai para senior dan orang tua, mari kita belajar pahami dunia mereka yang sangat berbeda dengan kita. Mereka sangat mudah rentan, bicara tanpa dipikir, pendek-pendek pula, tata bahasa yang salah macam anak Jaksel dll. Mereka mutlak kita bimbing, kita yang memang harus lebih bersabar untuk menuntun mereka. Dengan contoh tadi, memang kalau saya pikirkan lagi, bisa jadi anak ini memang tidak bermaksud berlaku seperti ini kepada saya yang notabene lebih tua seperti umur orang tua mereka dan facilitator di kelas. Sudah jelas anak ini hilang dari bimbingan dan tenggelam dengan derasnya timeline dan cepatnya internet connection.

Lantas apa yang harus kita lakukan agar dapat menjembatani jurang jauh ini agar semakin dekat? Saya punya 4 jurus yang dapat membantu anda wahai para pemimpin:

1.Speak with respect

Sadari bahwa tanpa mereka organisasi tidak akan terus berjalan dan berkesinambungan. Untuk itu kita perlu menurunkan ego, sing sabar sing ikhlas untuk bicara dengan mereka. Walaupun dalam konteks organisasi kita merasa semua orang harus dapat berbicara secara dewasa, tetapi alangkah baiknya kalau berinteraksi dan berkomunikasi dengan mereka, ‘kacamata’ kita mutlak dirubah yaitu sebagai kakak mereka bukan sebagai bos otoriter. Kita harus menyelami dunia mereka, menghargai apapun pendapat mereka. Dalam setiap sesi dengan mereka ada baiknya, emosi kita harus tetap netral dan bangkitkan minat penasaran ingin tahu apa yang ada dalam mindset mereka. Ingat semua masalah timbul karena kesalahan dalam membangun relasi dan berinteraksi.

2.Mingle with them

Beruntungnya para generasi X seperti saya yang masih baca koran dan aktif di media sosial sehingga lebih lentur untuk paham apa yang terjadi pada dunia digital saat ini. Kita harus mengerahkan effort untuk dapat nyambung dengan mereka, tidak mengunci akun instagram, pakai sneakers bukan oxford shoes, ikutan juga sesekali posting di insta story, nongkrong bareng dengan mereka. Seperti yang sering saya lakukan dengan anak-anak kantor yang semua millennials dan zillenials. Saya menempatkan diri bukan sebagai atasan, tetapi sebagai bapak mereka. Bila kami ingin hang-out, saya meminta mereka untuk menentukan tempat nongkrong yang asik dan tentu instagramable. Banyak sekali organisasi besar di seluruh dunia sekarang sudah tidak memberlakukan jam kantor, membuka sekat-sekat kantor menjadi co-working place, membuat “playground” bagi mereka di kantor, seperti menyediakan bean-bag untuk mereka istirahat,dll. Harus selalu ingat bahwa motto mereka “you only live once, working and pleasure at the same time.”

3.Building Raport and Finding Similarities

Effort berikutnya adalah membangun kanal-kanal pribadi dengan setiap orang di kantor, terutama mereka yang akan menjadi the next future leader, cari tahu sisi pribadi mereka, keluarganya, pacarnya dll dan temukan kesamaan yang akan membuat hubungan menjadi meaningful. Jadilah seorang mentor buat mereka, itu mutlak! Luangkan waktu khusus secara berkala dengan mereka, memonitor progress mereka.

4.Mutual respect for building a culture of trust

Sebagai leader tentu kita harus terus bertumbuh dan akhirnya menjadi role model mereka, jangan buat mereka takut karena jabatan kita. Pemimpin harus walk the talk, bukan cuma ngomong doang apalagi hanya memerintah. Seorang leader yang terpercaya adalah yang memiliki sifat hangat, menyenangkan dan memiliki keahlian serta wawasan luas dan dapat memberikan solusi terbaik. Sehingga mereka menghargai kita dan nyaman dengan kita.

4. jurus Ini 100% akan membuat produktifitas usaha semakin meningkat, tidak hanya untuk setiap pribadi didalamnya tapi tentu organisasi akan terus bertumbuh sesuai dengan tuntutan zaman, sejalan dengan core values, corporate culture and most importantly everybody happy!

Fixed Mindset dan Growth Mindset

Oleh Erwin Parengkuan

Dalam banyak peristiwa, beberapa komentar yang sering kita dengar “pokoknya gue enggak mau tahu…harus ini dan harus itu” atau kalimat seperti ini “saya enggak mengerti, kenapa mereka malah diam saja tidak bilang saya langsung? Dan kenapa selalu saya yang disalahkan!”

Pernahkah kita mencerna kalimat di atas itu, menunjukkan sikap mental seseorang ketika mengalami gesekan dalam interaksi mereka. Memang setiap kita memiliki ego yang kadarnya berbeda-beda. Semakin besar ego seseorang, kata-kata diatas akan sering terucap. Setiap orang akan memiliki tendensi untuk membela dirinya dan membuat sebuah benteng yang kuat agar pribadi mereka terlindungi dan tidak terusik bila terjadi gesekan dalam berkomunikasi. Mereka yang kerap menuntut, merasa benar dan tidak melakukan instrospeksi diri dan bertanya “Kenapa hal ini bisa terjadi dan dimana letak kesalahan saya?” adalah contoh kalimat dengan orang yang memiliki fixed mindset. Sedangkan orang dengan growth mindset akan berpikir seperti ini “Apa yang harusnya saya lakukan agar hal tersebut tidak terjadi lagi?”

Penjelasan diatas menunjukkan ketika seseorang memiliki fixed mindset, mereka tidak mau menerima pendapat atau keberadaan orang lain. mereka yang memiliki growth mindset selalu melihat dari sudut pandang yang luas dan mencari jalan keluar terbaik.

Setiap interaksi dan berkomunikasi kita memerlukan sebuah hubungan yang terbuka, sebuah hubungan yang dilandasi saling menghormati dan menghargai. Setiap pendapat dari lawan bicara kita harus dapat kita pahami dan mengerti. Sehingga hubungan yang terjalin dengan landasan menghargai pendapat orang akan membuat hubungan tersebut harmonis dan memiliki hubungan jangka panjang. Kita tentu sadar bahwa mustahil bisa membuat seseorang berubah. Memiliki pemikiran yang terbuka/growth mindset akan membuat kita menjadi pribadi yang lebih bahagia, tidak menuntut dan menyalahkan siapapun.

Ketika kita selalu fokus kepada pemikiran fixed mindset, tentu kita sulit menerima pendapat orang lain yang berbeda dengan kita. Kita akan memiliki kecederungan menjadi pribadi yang sulit untuk berkomunikasi dengan terbuka dengan siapapun, cenderung memaksakan pendapat dan tidak mau menghargai pendapat dan keberadaan orang lain. Sedangkan komunikasi adalah sebuah seni yang memerlukan kemahiran dalam membaca situasi, menavigasi diri dan membangun hubungan dan membinanya terus menerus.

Bila kita berada dalam lingkungan orang-orang yang memiliki fixed mindset tentu kita sama dengan mereka. Dalam setiap jurnal tentang personal development, seseorang yang sukses secara karir dan kehidupan adalah mereka yang memiliki growth mindset. Mereka selalu melihat dengan sudut pandang 360 derajat, luas! Tidak hanya melihat apa yang dirasakan atau dimiliki, akan tetapi terus menggali potensi diri dan memiliki ketertarikan dalam mengembangkan dirinya dan terus membangun relasi jangka panjang yang baik dengan setiap orang. Mereka selalu terbuka akan input orang lain bahkan kritik sekalipun. Kritik bersifat spontan dan jujur, bila kita tela’ah substansi yang mereka sampaikan kepada kita. Tinggal pandai-pandailah kita memilah-milahnya, mana yang bermanfaat untuk personal development kita atau kritik tersebut sengaja untuk menjatuhkan mental kita.

Ketika seseorang memiliki self esteem yang baik, memiliki penghargaan diri dan terus mengevaluasi diri tentu setiap orang akan memiliki growth mindset yang akan membuat mereka terus bertumbuh.