by admin | Nov 13, 2023 | Information, News, Professional Life
Memberikan hasil terbaik untuk diri sendiri dan terus bertumbuh, tidak ada kata menyerah! Saya sering sekali mengucapkan kata-kata ini dalam setiap pelatihan untuk para peserta. Mungkin Anda pun pernah atau sering mendengar kata-kata ini. Suatu Minggu pagi ketika saya memiliki hasrat yang besar untuk menulis rutin, saya masih kebingungan mau menulis apa, semacam virus “writer block” yang mati gaya, mau menulis tapi tidak tahu apa yang hendak ditulis. Perspektif saya, ingin menulis yang berbeda dari tulisan-tulisan terdahulu, tapi apa? Hingga saya duduk di pojok di tempat kesukaan untuk membaca buku di teras rumah sambil memandang tanaman yang tumbuh subur serta pohon besar aneka rupa ditemani kicau burung dan semilir angin dan mulailah saya meneruskan membaca buku dengan judul “The 5 am Club” karangan motivator terkenal Robin Sharma yang telah menjual bukunya laris manis hingga 15 juta eksemplar seluruh dunia. Dalam salah satu bab diceritakan percakapan antara seorang artist dan pengemis, dan pengemis ini mengatakan apa yang ia dapatkan dari sang guru: “To find your best self you must lose your weak self.” Membaca kata-kata ini saya langsung terbakar dan berbagai macam kekurangan diri mucul dalam benak saya. Sebuah kata-kata yang sederhana, sebuah perlawanan kata: Best dan Weak yang memang saling berkaitan. Jadi saya kemudian merefleksikan diri, bagaimana seseorang bisa menjadi best self tanpa membuang weak self?
Dalam berbagai pekerjaan yang kita lakoni, hubungan antar manusia selalu menjadi jembatan terbaik, entah di kantor, di rumah, di lingkungan, dimanapun, kita tidak bisa terlepas dari hubungan itu. Dan semua masalah yang timbulpun akan muncul karenanya, yaitu hubungan yang tidak harmonis akan menjadi pematik sebuah masalah. Ketika ini dibiarkan tentu nyala api akan berkobar semakin besar. Ada orang yang memilih untuk segera bertindak memadamkan api entah bagaimana cara penyelesaiannya, ada yang memilih untuk menghindar atau kabur dari situasi ini. Manusia memang kompleks, tetapi manusia juga diberikan kebebasan untuk memilih dan menentukan berdasarkan pilihannya. Ketika kita sudah paham tentang penyelesaian sebuah masalah, dan membereskannya kemudian kita akan menjadi lebih lega dan senang. Begitupun sebaliknya bila masalah tidak selesai-selesai, pikiran kita semakin terbebani, hidup menjadi lebih berat.
Sambil berjalan ke bawah mengambil sekotak buah saya di kulkas, pikiran saya langsung mengacu kepada tulisan ini, dan menumpahkannya kepada Anda. Saya lantas berpikir, terlepas dari permasalahan yang dihadapi dengan pihak lain, seseorang untuk dapat menjadi best self tentu harus mengenal dirinya terlebih dahulu, mengenal dirinya terlebih dahulu, harus betul-betul kenal, sifat, watak, perilaku, kompetensi yang kita punya, baik, buruknya dengan sungguh jujur. Saya tahu terkadang masih memiliki ekpektasi yang besar kepada orang-orang di sekitar saya, berharap mereka juga memiliki pemahaman yang sama dengan saya, tetapi saya sadar setiap orang tidak sama, sehingga saya harus membuang perasaan ingin mengendalikan mereka, terkadang saya suka terbawa emosi ketika sesuatu tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan, dan saya harus membuang emosi itu dan dapat segera mengendalikan dan mengatasinya. Jadi ketika kita jujur dengan kekurangan yang ada di diri kita, kita akan dengan mudah secara perlahan-lahan menghilangkannya.
Akan sangat sulit buat seseorang ingin menciptakan dirinya menjadi versi terbaik tetapi tidak memiliki kesadaran akan hal-hal yang lemah ada dalam diri dan tentu akan terus ada dan dipertahankan. Sebuah kalimat dari buku itu telah menjadi motivasi terbesar saya untuk tidak lengah akan kelemahan yang kita miliki, untuk di buang jauh-jauh… sehingga ada ruang baru untuk menciptakan best self kita. Sudahkah Anda merefleksikan apa yang menjadi kelemahan pada diri sendiri untuk menjadi your best self?
Oleh Erwin Parengkuan
by admin | Nov 10, 2023 | Information, News

Apakah kamu dikelilingi dengan orang-orang yang selalu sependapat denganmu? Apakah di antara teman-teman terdekatmu tidak ada satupun orang yang punya pendapat berseberangan denganmu dalam hal politik, ekonomi, agama, dan isu sosial? Sekarang coba buka media sosialmu. Apakah pendapat dan sudut pandang konten media sosialmu cenderung seragam dan jarang berlawanan dengan pendapatmu secara sosial, ekonomi, dan politik? Apakah semuanya seperti mengkonfirmasi pandangan pribadimu? Kalau kamu menjawab YA di hampir semua pertanyaan tadi, besar kemungkinannya bahwa kamu terjebak dengan yang dikenal dengan istilah Echo Chamber.
Istilah echo chamber pertama kali muncul tahun 2007 dari penulis dan aktivis Amerika, Cass Sunstein, dalam bukunya yang berjudul “Republic.com 2.0.” Echo chamber adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sebuah lingkungan di mana opini, pandangan, dan informasi, hanya menguatkan dan mengonfirmasi keyakinan yang sudah ada, dan mengabaikan pandangan alternatif atau berbeda. Dalam sebuah echo chamber kita cenderung berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pandangan yang sejalan dengan kita, mengonsumsi media atau sumber informasi yang mengkonfirmasi keyakinan kita, dan mempertahankan pemikiran kelompok yang homogen.
Apa bahayanya Echo Chamber? Dalam konteks komunikasi efektif, Echo chamber dapat memiliki dampak negatif pada kemampuan komunikasi kita. Ini alasannya:
1. Kurangnya eksposur pada pandangan yang berbeda. Ketika kita terjebak dalam echo chamber, kita cenderung hanya terpapar pada sudut pandang yang sejalan dengan keyakinan kita. Ini dapat menyebabkan ketidakmampuan untuk memahami pandangan yang berbeda atau untuk berkomunikasi secara efektif dengan orang-orang yang memiliki pandangan atau pendapat yang berbeda. Kita akan menjadi close minded ketika berhadapan dengan pandangan yang bersebrangan dengan kita.
2. Ketidakseimbangan informasi. Echo chambers cenderung menyediakan informasi yang hanya menguatkan keyakinan yang sudah ada. Ketika kita hanya terpapar pada sudut pandang yang sejalan dengan keyakinan kita, kita tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang argumen, data, atau fakta yang mendukung pandangan alternatif. Akibatnya, ketika berkomunikasi dengan orang-orang yang memiliki pandangan yang berbeda, kita tidak memiliki basis informasi yang cukup untuk memahami dan merespons argumen tersebut.
3. Kehilangan kemampuan mendengar dengan objektif. Echo chambers dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk mendengar sebuah opini berbeda dengan objektif dan terbuka. Kita cenderung memfilter informasi dan argumen yang tidak sejalan dengan keyakinan kita atau langsung menolaknya. Ini dapat menghambat kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik, karena komunikasi yang efektif membutuhkan kemampuan untuk mendengarkan dengan objektif, menghargai perspektif orang lain, dan merespons secara terbuka.
Untuk memperbaiki kemampuan komunikasi, penting untuk kita melangkah keluar dari echo chamber, dengan cara:
1. Diversifikasi sumber informasi. Upayakan untuk mengakses berbagai sumber berita dan informasi yang memiliki perspektif yang beragam. Jangan hanya mengandalkan satu sumber atau jenis media tertentu. Cari sumber-sumber yang mewakili sudut pandang yang berbeda dan yang menyajikan berbagai pendapat. Also, read more books with various point of views, so you can have your own critical thinking.
2. Berinteraksi dengan banyak teman dan kolega dengan pandangan yang berbeda, buka diri untuk mendengarkan dan berdiskusi. Ajukan pertanyaan, dengarkan argumen mereka, dan cobalah memahami perspektif mereka. Ini dapat membantu kita memperluas pemahaman dan melihat sudut pandang yang berbeda. Komunikasi yang baik melibatkan kemampuan untuk mendengarkan dan memahami sudut pandang orang lain.
3. Jika aktif di media sosial, pastikan bahwa lingkaran media sosialmu tidak terlalu homogen. Ikuti dan lakukan interaksi dengan orang-orang yang memiliki pandangan berbeda. Change your algorithm.
Ditulis Oleh : Irina Dewi
by admin | May 26, 2023 | Information, News
Pada masa pandemik, semua berlomba untuk hidup sehat dengan cara berolahraga dan mengonsumsi makanan sehat. Saya termasuk yang ingin hidup sehat dengan berolahraga rutin. Karena saat PPKM tidak diperbolehkan keluar, saya menggantinya dengan olahraga di dalam rumah saya yang sangat strategis (toilet, meja makan, kamar berdekatan) jadi saya mencoba untuk melakukan push-up. Hari pertama target saya adalah 30x push-up dalam 5 menit dan berhasil walaupun dengan muka biru. Hari Kedua saya merasa sakit di bagian dada dan tangan sehingga memutuskan untuk “break” sampai hari kelima. Lalu saya berpikir untuk me–“reset” intensitas push up dimulai dari 20 dan naik tiap minggunya secara konsisten. Di akhir bulan Agustus, Saya sudah berhasil push-up sebanyak 140x dalam waktu 7 Menit tanpa “break”. Dan saya sadar ketika push-up ini menjadi satu kebiasaan, alam bawah sadar akan memerintahkan otak untuk harus melakukannya tanpa ada rasa beban.

Seperti judul tulisan ini yang saya ambil dari tagline marketplace yakni “mulai saja dulu” dengan usaha yang sangat kecil. Seringkali setiap peserta di kelas selalu bertanya bagaimana untuk mahir dalam “public speaking” atau ingin menjadi seorang pembawa acara di kantor. Itu semua bisa dimulai dari hal sederhana yang kemudian dilakukan secara konsisten. Misal, ajukan satu pertanyaan di setiap meeting jika Anda terbiasa hanya menjadi “follower”. You have to “Speak up” and express your idea. Ketika sudah terbiasa untuk mengajukan pertanyaan pada sesi meeting, maka akan berkembang tidak hanya mengajukan pertanyaan tetapi dapat mencetuskan memberi ide. Setelah terbiasa berani berbicara, maka coba beranikan diri untuk mengajukan diri menjadi pembawa acara di acara internal kantor. Terkadang memulai sesuatu terasa lebih berat, kenapa? Karena banyak ketakutan & kekhawatiran dalam pikiran diri yang padahal belum tentu terjadi. Ketika sudah mulai, maka kebiasaan lah yang akan membuat Anda menjadi mahir dalam satu spesifik keahlian yang Anda inginkan. Keluar dari zona nyaman memang hal yang paling menantang. Tapi percaya, itu akan membuat Anda menjadi pribadi yang tangguh dan bisa beradaptasi di era yang penuh dengan ketidakpastian ini.
Yuk, Mulai aja dulu!
Penulis: Fernando Edo – TALKINC Main Facilitator
Editor: Alyezca Disya Rahadiz
by admin | May 26, 2023 | Information, News
Oleh Erwin Parengkuan
Sebuah diskusi yang dalam dan menarik ketika saya membawakan sesi dengan para leader dari perusahaan platform digital, dimana kami membicarakan tentang bagaimana seseorang dapat berubah menjadi versi best-self terutama ketika pertama kali bertemu dengan orang baru dan ingin membangun relasi jangka panjang. Saya mengatakan bahwa salah satu hal terpenting adalah menjadi pribadi yang ‘pleasant’. Seorang peserta mengaku menemui kesulitan dalam memberikan apresiasi sebagai indikator seseorang dapat dibilang menyenangkan. Buat dirinya setiap hari adalah Just Another Monday! Bukan berarti ia tidak memerhatikan lawan bicara, tetapi ia merasa takut garing, dan takut salah kalau serta merta memberikan apresiasi itu, selain bukan kebiasaan sehingga ia menyimpannya dalam hati saja. Mungkin ada di antara Anda yang masih memiliki keraguan seperti itu. Menjalankan ritual business as usual ketika bertemu dengan orang baru, tidak ada bonding, dan tidak ada personal touch.
Apakah perilaku seperti ini akan diingat oleh lawan bicara? Tentu tidak! Umumnya semua orang yang logis akan melakukan hal yang sama terus menerus. Seperti salah seorang profesional mengatakan hal yang sama “Buat apa memberikan apresiasi kalau ternyata kita tidak dapat memberikan bobot dalam setiap ucapan yang kita lakukan dalam konteks pekerjaan?” saya kemudian memberikan pilihan kepada mereka. Pilih mana? Berbobot tapi tidak ada personal approach, atau menyenangkan tetapi tidak berbobot, atau menyenangkan dan berbobot?
Setiap orang memiliki harapan untuk selalu diperhatikan. Dalam sebuah jurnal tentang mental health issue yang baru saja dikeluarkan belum lama ini; mengatakan bahwa setelah pandemi berakhir banyak warga di US makin merasa kesepian dan akibatnya membuat mereka merasa hidup tidak ada artinya. Mereka menjadi frustasi, apatis dan mencoba mengakhiri hidupnya. Keadaan ini lebih mengkhawatirkan daripada penyakit generatif dll. Artinya sebagai mahluk sosial kita harus tetap menjalin relasi dengan semua orang, semakin dekat hubungan yang kita jalin akan semakin bahagia seseorang. Dalam riset ini juga mengungkapkan semakin lama kita berinteraksi hanya di media sosial, semakin membuat seseorang menjadi depresi kosong jiwanya.
Tidak ada di antara kita yang mau hidupnya tidak bahagia. Jadi cobalah mulai sekarang melatih diri untuk menjadi lebih perhatian kepada orang yang kita jumpai. Seorang peserta juga menyambar dengan sebuah pernyataan “Gimana kalau respon lawan bicara kita datar? atau ia tidak bergeming? Ini akan membuat kami lebih takut lagi dalam memberikan perhatian!” satu peserta lainnya di sesi itu melengkapi dengan penjelasan yang baik “Selama kita tulus menyampaikannya, kita tidak perlu khawatir dengan apresiasi yang kita berikan, terlepas orang itu akan menerima atau memberikan respon tidak seperti yang kita harapkan!”
Ada sebuah istilah yang sangat indah yaitu “giving without expecting” ini akan membantu siapapun untuk belajar menerima, memberi tanpa berharap yang tentu akan membuat kita tidak memiliki ekspektasi apapun kepada siapapun. Menurut saya pernyataan itu adalah sebuah filosofi yang sangat bijaksana. Kita akhirnya akan menjadi pribadi yang menyenangkan dimanapun kita berada, lebih ikhlas. Selama hal tersebut kita lakukan dari hati dan tidak berharap apapun, jiwa kita semakin besar, kita menjadi orang yang selalu juga berpikir besar dan pada akhirnya akan mengasah diri kita menjadi manusia unggul dengan mental yang kuat dan pikiran yang terus terbuka.
Mari kita teruskan niat baik ini agar jiwa kita terpenuhi untuk menjadi diri yang lebih baik dari waktu ke waktu. Kita tidak membiarkan mood menguasai diri kita dan memiliki kesadaran penuh untuk terus berbagi, sehingga hari Senin kita tidak seperti hari Senin kebanyakan orang.
by admin | Feb 11, 2023 | Information, News
oleh Erwin Parengkuan
Menekuni profesi sebagai pengajar Public Speaking tanpa saya sadari sudah menginjak tahun ke 19, sama halnya dengan organisasi TALKINC ini. Dari begitu panjangnya perjalanan yang sudah saya lalui, berbagai tantangan berbagi di kelas sudah saya lewati. Peserta yang memiliki antusiasme yang tinggi, minat belajar yang muncul dari kebutuhan, atau karena diminta atasan atau orangtua, membuat saya merekam berbagai macam cara mereka mengutarakan pikiran, perasaannya, dan pendapatnya di depan kelas. Disitulah dinamika berbicara di depan publik dengan individu yang berbeda-beda, isi kepala, audiens yang juga berbeda-beda dengan tujuan pesan yang ingin kita sampaikan diterima 100% dengan baik, tanpa adanya distorsi apapun. Apakah semuanya berhasil menyampaikan pendapat dengan tepat?
Public Speaking atau cara berkomunikasi adalah sebuah landasan utama yang terpenting bagi kita umat manusia, tanpanya kita akan kesulitan untuk menyampaikan pesan apapun yang ada di kepala. Jadi Public Speaking adalah sebuah cara bagaimana seseorang mengutarakan/mengartikulasikan sebuah pesan agar jelas dan runut. Disinilah letak sebuah seni yang dulu kita banyak ketahui tentang 3 faktor yang harus dimiliki seseorang dalam berkomunikasi yaitu bahasa tubuh, suara dan kata-kata, seperti penelitian yang dilakukan oleh seorang professor Albert Mehrabian pada era sebelum digital datang. Saya tidak akan membahas itu karena memerlukan begitu banyak komponen pendukung didalamnya yang harus diasah terus menerus. Kali ini saya justru akan mengajak anda melihat sebuah hal utama dibalik itu yang perlu dimiliki.
Saya menyimpulkan bahwa Public Speaking sejatinya adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan dirinya. Bagaimana kita dapat mengatur ego kita dalam berkomunikasi, tidak dominan, tidak merasa paling benar, dan tidak otoriter. Dalam sebuah buku yang saya baca di tulis oleh pemenang Nobel Daniel Kahneman, ia menuliskan sebuah kesimpulan tentang “thinking fast and slow” bagaimana otak kita berpikir secara cepat dan lambat dalam mengambil sebuah keputusan yang memengaruhi cara kita dalam menentukan hal apapun. Begitupun halnya dalam seni berbicara, kita harus dapat mengendalikan diri kita, hanya kita yang dapat mengendalikannya.
Kemampuan seseorang dalam mengendalikan dirinya adalah sebuah fundamental dalam Public Speaking. Kita tentu tahu bahwa kecakapan seseorang dalam membawakan dirinya akan menciptakan sebuah relasi yang sangat indah. Saling menghargai, saling melindungi, saling menyayangi, dan peduli terhadap sesama. Hal inilah yang harus terlebih dahulu kita pahami, kuasai dan miliki dalam diri kita. Jadi akan jelas terlihat, mulai dari pemilihan kata-kata yang diucapkan seseorang, jelas terasa bagaimana ia memandang dirinya dan memandang orang lain. Kalau kata-kata, suara, bahasa tubuh bahkan cara berpenampilan yang kita lihat, dengar dan rasakan itu tidak mengena dihati kita, maka akan terlihat bagaimana hubungan yang akan terjadi selanjutnya.
Semua kata-kata yang kita ucapkan akan jadi pengukur yang jelas, bagaimana tingkat kepahaman dari apa yang kita ucapkan, akan terasa juga dan membekas di hati. Kata-kata seperti “masak gitu aja kamu enggak tahu!” melambangkan seseorang yang menganggap dirinya lebih baik dari orang lain, yang berimbas lawan bicara merasa direndahkan. Kemudian, dampak selanjutnya tidak akan terjadi sebuah komunikasi yang baik bila kalimat-kalimat seperti ini terus dikumandangkan, belum lagi intonasi dan bahasa tubuh yang mengiringinya memperkuat pesan tersebut.
Komunikasi adalah sebuah seni dalam membangun hubungan. Sepatutnya pemahaman fundamental ini dulu. Dan mulai sekarang, mari kita mengenal diri lebih baik, menguasai diri ,menghargai diri dan menghargai lawan bicara. Mulailah melihat kedalam diri sebelum kita melakukan komunikasi atau Public Speaking, agar terjadi hubungan yang selaras dan saling menghargai karena semua orang ingin diperlakukan dan diperhatikan dengan baik. Baru setelah itu kita latih intonasi dengan tepat, cocokan dengan bahasa tubuh, tekanan suara serta berpenampilan yang sesuai.
by admin | Jan 30, 2023 | Information, News
Seorang profesor bernama Mehrabian di akhir tahun 1970 melakukan penelitian terhadap dampak dalam berkomunikasi yang kemudian menjadi acuan dasar manusia untuk menyampaikan sebuah pesan. Dari penelitian yang melibatkan 1000 responden itu, kata-kata yang kita ucapkan memberikan dampak hanya 7%, sisanya 38% adalah tekanan suara dan selebihnya adalah bahasa tubuh.
Penelitian ini sampai sekarang masih kita gunakan, walaupun sudah sedikit berubah seiring datangnya era digital. Sehingga saya menambahkan porsi gaya penampilan seseorang di dalam komponen-komponen tersebut. Menjadi kata-kata 10%, suara 20%, penampilan 10% dan bahasa tubuh 60%, seperti yang saya tuangkan dalam buku saya “Strategi Sukses Berkomunikasi Secara Efektif” terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2019. Mengacu dari teori sang profesor, tetap kata-kata memberikan dampak yang kecil. Pun demikian, kata-kata adalah senjata kita dalam menyampaikan sebuah pesan. Kata-kata yang tepat dapat membuat seseorang suka ataupun benci kepada kita. Membuat seseorang mengingat apa yang kita ucapkan atau mengabaikannya.
Pada artikel sebelumnya, saya juga telah membahas tentang pentingnya kita memiliki kemampuan kosa kata yang kaya dan beragam. Sayangnya kesadaran ini masih rendah pada masyarakat kita. Kita terlalu minim perbendaraan kata sehingga dengan hadirnya era digital yang kebanyakan mengumbar kata, akhirnya kata-kata yang sering kita gunakan terinspirasi dari jargon-jargon di sosmed, membuat kata-kata yang kita ambil, terdengar menjadi umum dan tidak berdampak.
Untuk itu pentingnya kita harus memiliki kepandaian memilih kata yang tepat agar dapat diingat dan dapat memberikan pengaruh kuat dalam menghasilkan sebuah tindakan yang kita harapkan dari sebuah tujuan komunikasi. Mulailah membiasakan diri dengan kemahiran merangkai kata yang tepat. Menggabungkan kata yang umum dengan kata yang jarang digunakan orang tetapi dapat di mengerti.
Sebuah kata-kata yang powerful banyak mengandung emosi. Bukan kata-kata seperti ketika kita akan memotivasi lawan bicara dengan berucap “kamu pasti bisa” melainkan memikirkan sekiranya lawan bicara kita akan tergerak bila kita masuk ke sisi emosinya terlebih dahulu kemudian menggabungkan dengan kata yang memotivasi. Contoh “saya paham kesulitan yang kamu hadapi dalam menjalankan tugas baru ini, seperti dalam setiap proses pembelajaran, tentu proses ini akan panjang dan berliku, akan tetapi kami percaya kamu dapat memberikan yang terbaik agar kinerja kamu dapat membawamu kepada jenjang karir yang lebih tinggi!”
Ada narasi yang kita persiapkan melalui tabungan kata-kata yang sudah tersimpan di memori kita. Kata-kata yang terlalu pendek, apalagi umum, terdengar biasa dan hanya lewat di telinga lawan bicara. Miliki waktu setiap hari untuk membaca banyak tulisan/narasi yang beragam adalah sebuah obat mujarab.
Mulai aktif menulis juga akan mengasah kemampuan merangkai kata. Saya sendiri melakukannya secara rutin, dan bila melihat sebuah jargon atau sepenggal kata yang saya temukan, saya kemudian akan membuat kalimat yang berbeda dan mencatat pada notes saya. Ketika kita terus mengasah dan mencatatnya, kita akan semakin mahir dalam menyusun kata-kata yang powerful dan jangan lupa untuk membaca kemampuan isi kepala lawan bicara kita. Agar tepat dan membantu mereka berpikir dan tergerak.