Phasellus nec mauris sit amet dolor interdum molestie

Phasellus nec mauris sit amet dolor interdum molestie

Duis pharetra ligula vel ipsum faucibus, id rhoncus lectus vestibulum. Nunc tempus, odio vel ornare congue, risus lectus adipiscing metus, sit amet tempus justo nulla in ligula. Nullam commodo pretium convallis. Donec id quam arcu. Fusce et tortor non est eleifend tristique ac in est. Vivamus vel neque vitae odio imperdiet dapibus. Integer et tincidunt tortor, id malesuada massa.

Fusce lorem libero, imperdiet in metus at, facilisis lacinia felis. Duis egestas mauris nec nisl euismod, vel laoreet massa commodo. Etiam vehicula eros in ipsum cursus, sed commodo arcu mollis. Suspendisse lacinia, justo non gravida ornare, est enim interdum nunc, quis gravida dolor dolor eget nisl. Donec varius nibh nisi, ut fringilla nisi tempor quis. Suspendisse tempus lacinia risus, nec congue felis luctus nec. Ut in porta mauris. Donec scelerisque ante erat, id ullamcorper erat semper at. Nulla ornare, velit nec sagittis sagittis, massa dolor dictum risus, in tempor arcu est non purus. Aliquam eu rutrum lacus. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas. Nulla vel cursus lorem, at porttitor nibh. Etiam at consequat arcu, nec mollis enim. Maecenas a pharetra eros. In sodales, augue gravida vehicula viverra, purus leo ultricies arcu, a lacinia libero ipsum vitae mauris. Quisque facilisis, mauris vel elementum lobortis, felis magna hendrerit nisl, quis bibendum nunc erat in metus.

Etiam tincidunt, augue non hendrerit vehicula, leo dui ornare odio, in dapibus sapien nisl id eros. Sed posuere est et neque accumsan vulputate. Integer tincidunt dui metus, sit amet interdum magna adipiscing ac. Pellentesque sapien odio, venenatis in rhoncus vel, lacinia quis diam. Proin non neque ac nisl tempus accumsan non ac mi. Fusce est sem, imperdiet eget libero non, cursus imperdiet ligula. Duis faucibus urna quis porta ultrices.

Pellentesque facilisis feugiat lorem, nec interdum neque iaculis id. Vestibulum non lacus nec nisi molestie convallis ut sit amet ante. In lobortis nunc id erat tincidunt, ut pulvinar tortor interdum. Phasellus eu pellentesque massa, et cursus ante. Aenean venenatis non felis id porta. Duis sed imperdiet sapien, at placerat nisl. Integer sollicitudin ac ipsum at blandit.

Live The American Dream

Oleh Fernando Edo

7 tahun bekerja di lingkaran dalam Kedutaan Besar Amerika Serikat (US Embassy) membuat saya menjadi tahu gambaran akan negara tersebut beserta karakteristik orangnya serta bagaimana perilaku mereka dalam dunia professional (penulis masih berharap satu hari dapat mengunjungi Negara Paman Sam). Dalam dunia kerja, kepintaran dan kemahiran suatu bidang saja tidaklah cukup untuk dapat bertahan secara konsisten. Membutuhkan kemampuan beradaptasi dan berkomunikasi satu sama lain untuk memperkuat pertahanan dalam profesionalitas. Petualangan saya selama 7 tahun ini dimulai dari ketidaksengajaan bertemu dengan salah satu pegawai US Embassy di sebuah lobby mall, dari obrolan basa-basi hingga ditawari bekerja dengan mereka. Kok bisa? Saya itu orangnya malas basa-basi dengan orang yang tidak dikenal, tapi ketika saya memutuskan untuk menjadi seorang MC Professional mengharuskan saya untuk menjadi orang yang “talkactive”. Kita tidak pernah tahu kalau kita tidak pernah mencoba membuka setiap pintu (peluang) yang ada bahkan dengan cara se-sederhana yakni obrolan santai.
Setelah menerima pekerjaan yang ditawarkan, ternyata itu buka puncak karir saya justru itu titik awal yang diiringi dengan berbagai tantangan. Dibekali oleh kemampuan berbahasa Inggris yang tidak terlalu istimewa, saya mulai bekerja dengan tidak percaya diri.

Tantangan yang saya alami dan belum temukan solusinya ini, menjadikan saya seorang yang pasif. Kemudian saya teringat oleh perkataan salah satu leader saat itu, “Dude, You should be proud that you can speak 2 languages rather than me. Come on, stand up and speak up, You are not in the middle of the TOEFL Test. Until now, sometimes I speak with no perfect grammar”. Ucapan tersebut mendobrak rasa malu-malu saya saat berbicara dengan orang lain, dan menstimulus saya untuk lebih percaya pada diri sendiri.

Dari pengamatan saya, Orang Amerika Serikat sangat santai cenderung tidak tahu sopan santun – hal ini dapat kita lihat dari perspektiif yang berbeda, tergantung bagaimana kita meresponnya. Pada satu momen, saya pernah dimarahi karena memanggil leader saya dengan sebutan “Sir” menurut mereka terlalu berlebihan. Dan satu momen lain, yang membuat terkejut yakni ketika di hari libur saya tetap bekerja karena memang ada kerjaan dan saya piker itu bentuk loyalitas saya terhdap perusahaan, namun keesokannya saya justru dipanggil dan diperingati untuk tidak bekerja pada saat di hari libur. Wah kalau bahasa generasi Z ini work life balance yang oke!
Sebutan The king of Entertainment juga sangat melekat dengan Amerika Serikat. Ribuan event yang sudah kami tangani dan jauh dari kata biasa. Karena budaya totalitas dan “have to look good” sangat ditanamkan untuk kami yang bekerja menangani event untuk US Embassy. Mau Bukti? Coba anda tonton Halftime Superbowl, konser yang berdurasi 15 menit bisa menjadi tontonan kelas dunia. They know how to make ordinary event / performance become extra ordinary. Menurut saya, kreativitas orang amerika diasah sejak di bangku sekolah yang memberikan kebebasan untuk menekuni bidang apapun dan ingat Amerika Serikat adalah Negara “melting pot” dimana semua orang dari penjuru dunia tinggal dan hidup rukun berdampingan di sana. Itu yang membuat mereka juga kaya akan adat dan kebiasaan setiap orang.

Dan satu lagi yang terkadang menjadi pertanyaan banyak orang termasuk saya saat itu. Kenapa US adalah negara yang “paranoid” dan sangat berhati-hati terutama dalam keamanan. Sangat ketat dalam pembuatan Visa walaupun hanya untuk turis sekalipun. Anda ingat kejadian 9 11 yang menewaskan begitu banyak warga US? Menurut saya, kejadian itu yang menimbulkan rasa trauma mereka, sehingga semua orang yang ingin membuat visa perlu penyaringan lebih ketat. Dan bekerja di lingkungan US Embassy juga membuat saya tahu pentingnya keamanan dalam bekerja. Hanya karena mereka mau melindungi negara tercinta mereka.
Tapi terlepas dari itu semua, perilaku budaya mereka juga dibentuk oleh judul di atas. Live the American Dream, dimana mereka percaya keberhasilan seseorang bukan dari strata sosial, agama, atau warna kulit melainkan pengorbanan, perjuangan dan kerja keras yang membuat suatu keberhasilan. Jadi jangan heran, mereka tidak pernah membedakan senior, junior, perempuan atau pria. Mereka percaya, selama ada kerja keras siapapun bisa. Apakah Anda sudah memiliki The American dream dalam diri Anda? I Dare you to dream with no limit and make it happen!

Penulis: Fernando Edo – TALKINC Main Facilitator
Penyunting: Alyezca Disya Rahadiz

Jangan Pernah Berhenti

Oleh Erwin Parengkuan

Seorang peserta di kelas bertanya kepada saya “Mas Erwin, pernahkah terbayangkan bahwa akan ada di posisi seperti sekarang? Memimpin perusahaan dan aktif mengajar?” Pertanyaan yang sontak mengejutkan saya karena cukup menyentuh pribadi yang tidak pernah saya pikirkan akan ada orang yang menanyakan hal tersebut. Perlu beberapa detik untuk menjawab pertanyaan tersebut, akhirnya saya bilang gini “Sejujurnya saya tidak pernah membayangkan karir dan pekerjaan saya akan ada di titik ini, saya juga telah banyak membaca artikel dan buku tentang orang-orang yang bisa dibilang sukses dalam karir, dan merekapun tidak pernah membayangkan ada di titik itu!”

Kalau kita melihat ke dalam diri dan merefleksikan perjalanan hidup yang sudah kita lewati dan memetik hasilnya, ada yang berbuah manis, ada yang pahit, ada yang getir, dll. Semua itu tentu buah dari sebuah proses dan tindakan yang kita lakukan. Saya jadi ingat dulu ada sebuah kontes anak-anak muda yang sukses sebelum usia 30 tahun, sebagian mereka sekarang masih ada yang semakin sukses, tapi banyak juga yang berhenti karena setelah buah itu dipetik kemudian proses berikutnya tidak sesuai dengan espektasi mereka, akhirnya sebagian besar kandas di tengah jalan, dan mereka berhenti!

Menurut saya, makna kesuksesan adalah sebuah tindakan/proses tanpa henti. layaknya bernapas yang harus terus kita lakukan. Bila seseorang lekas puas dengan hasilnya maka proses sukses pun akan berhenti dengan sendirinya. Saya juga jadi ingat tante saya yang mengambil gelar Phd di Jepang, menjadi guru besar di universitas tersebut, dan tahun ini saya menyambangi beliau di usianya yang hampir 80 tahun. Ia berujar, bahwa kesuksesan dan predikat cemerlang yang ia dapatkan dulu, yang ia bangga-banggakan sekarang sudah tidak ada lagi. Tante saya juga tidak dalam kondisi fit, setelah terjatuh, ia hanya menghabiskan sisa waktunya dengan menonton televisi, membaca buku, diam dan terduduk tanpa ada aktivitas produktif yang ia lakukan seperti dulu kala. Berbagai macam pilihan yang kita miliki dalam menjalankan hidup/karir yang ingin kita raih mau sampai usia berapa?

Awal tahun ini saya membawakan sebuah acara ulang tahun seorang pengusaha yang usianya sudah 90 tahun tapi beliau masih terus bekerja dan aktif memimpin perusahaannya hingga saat ini. Saya ingin seperti beliau, tidak akan ada kata “berhenti” harus terus berjalan. Seperti banyak orang-orang yang usianya sudah sepuh tetapi masih kuat naik gunung Himalaya dll. Dan tentu perlu usaha keras tanpa henti, seperti konsisten merawat tubuh, pikiran, perasaan dan kemampuan membangun relasi dengan setiap orang.

Dari beberapa contoh di atas bisa menjadi motivasi dan acuan, pilihan dan penguat kita dalam menjalani sebuah proses, mengacu kepada kalimat bermakna yang populer dan favorit buat saya disebutkan oleh Steven R. Covey yaitu “Begin with the end in mind.” Kalimat ini telah menjadi “api” dalam diri saya untuk terus berjalan dan menerima sebuah proses apapun hasilnya. Konon tidak ada istilah orang yang gagal, tetapi adanya adalah orang yang memutuskan untuk berhenti berproses.

Bahwa kekayaan, kesuksesan, popularitas, bahkan kecerdasan bukanlah menjadi sebuah tujuan hidup (menurut saya), karena kalau kita sudah mencapai hal tersebut kita kemudian akan berhenti berproses. Sejatinya setiap orang harus memiliki keberanian untuk keluar dari zona nyamannya, dengan hati yang tulus, terbuka, memiliki integritas, menghargai setiap orang, santun, dll adalah nilai-nilai utama yang menjadi pedoman dalam memetik sebuah hasil yang terus berkesinambungan.

Bulan lalu kami di kantor merayakan proses baru dimana TALKINC menjadi LPK TALKINC, sebuah impian yang sudah saya nantikan dari beberapa tahun yang lalu. Proses panjang kami lewati berkat kerja keras team dan support system dari Lembaga Akreditasi, pemerintah DKI, juga Kementerian Tenaga Kerja yang telah meluluskan permintaan kami. Sebuah kado terbaik untuk tahun ini. Ketika press conference berlangsung, seorang senior yang saya undang membisikkan kata-kata ini kepada saya “Kamu harus terus bermimpi dan membuat diri kamu lebih besar dari mimpimu!”. Ucapan yang mungkin bagi orang lain biasa saja, tapi sangat personal buat saya hingga tertegun sejenak. Ucapan yang meyakinkan saya dalam bertekad untuk terus melanjutkan perjalanan ke depan tanpa henti. Saya berharap tulisan ini dapat memengaruhi pembaca untuk memiliki arah & tujuan dalam menjalani hidup karena dari sana kita dapat memaknai setiap langkah kita untuk bertahan di kehidupan yang selalu ‘ada-ada saja’, sehingga jangan pernah menyerah dan jangan pernah berhenti untuk terus menjalani hidupmu!

Editor: Alyezca Disya Rahadiz

Introvert Nggak Bisa Public Speaking? Siapa bilang?

Oleh Irina Dewi – TALKINC Facilitator

Ada beberapa orang beranggapan bahwa ekstrovert adalah orang yang cerewet dan introvert adalah orang yang pendiam. Makanya ketika ada orang yang lancar sekali berbicara di depan umum, anggapannya adalah: “Oh, pasti dia extrovert, wajarlah bisa ngomong lancar di depan umum”. Ini merupakan satu miskonsepsi mengenai penilaian tipe kepribadian yang sering kita dengar dan pada artikel ini kita cari tahu jawabannya ya!
Oke, saya disclaimer dulu ya. Saya adalah seorang introvert yang sudah bergelut di dunia public speaking selama lebih dari 20 tahun. Pertama kali saya sadar bahwa saya adalah seorang introvert adalah ketika saya membaca buku dari Carl Jung yang berjudul Psychological Types. Dalam buku ini, Jung menggambarkan introvert sebagai orang yang lebih fokus pada dunia internal, cenderung memproses informasi dengan refleksi diri dan lebih memilih waktu sendiri untuk mengisi ulang energi. Sementara, ekstrovert cenderung lebih fokus pada dunia luar, memproses informasi melalui interaksi dengan lingkungan sosial, dan mendapatkan energi dari interaksi sosial tersebut. Jadi kalau balik lagi ke pertanyaan, apakah introvert pasti pendiam dan extrovert pasti cerewet? Jawabannya adalah: TIDAK. The only difference is how you recharge your energy. Jadi kalau kamu adalah tipe menjadi enerjik ketika kamu bertemu banyak orang, kemungkinan besar kamu adalah extrovert. Kalau kamu lebih enerjik seusai menghabiskan waktu sendirian, kemungkinan besar kamu introvert.

Dalam buku Understanding People, Erwin Parengkuan, founder Talk Inc, memisahkan tipe introvert dan ekstrovert dalam konteks gaya komunikasi, bahwa ada 4 tipe manusia secara general yaitu, Si Gesit, Si Rinci, Si Kuat, dan Si Damai. Untuk detilnya silahkan baca sendiri dan lakukan tesnya biar lebih mengenal diri sendiri. Intinya, gaya komunikasi introvert dan ekstrovert memang sangat berbeda.

Nah, kalo kembali lagi ke topik kita tadi, bisakah seorang introvert menjadi Public Speaker yang baik? Jawabannya adalah: BISA BANGET. Memang, seorang ekstrovert kecenderungannya lebih nyaman berbicara di depan umum dan bahkan menjadi enerjik berbicara di depan audience dalam jumlah besar, tetapi introvert juga banyak kelebihannya lho. Introvert cenderung memiliki kemampuan yang baik dalam mendengarkan, cenderung memperhatikan detil, memahami sudut pandang orang lain dengan lebih baik, memproses informasi secara mendalam untuk mengembangkan perspektif yang matang, dan cenderung memiliki kemampuan observasi yang kuat.

Jadi bagaimana supaya seorang Introvert lebih nyaman berbicara di depan umum, padahal secara energi banyak terserap dengan kehadiran orang banyak apalagi menjadi pusat perhatian? Yang biasa saya lakukan adalah pertama, persiapkan materi secara menyeluruh. Dengan memiliki pengetahuan yang mendalam tentang topik yang akan dibawakan, kita akan merasa lebih percaya diri saat berbicara di depan umum. Preparation is key. Kedua, rehearse, rehearse, and rehearse. Lakukan latihan dan repetisi sebelum berbicara di depan umum. Rehearsal membantu membangun rasa percaya diri dan memperkuat kemampuan berbicara secara lancar. Berikutnya adalah fokus pada konten. Introvert cenderung lebih memikirkan isi pesan daripada perhatian yang diberikan oleh audiens. Maksimalkan kekuatan ini dengan berfokus pada inti pesan yang ingin disampaikan. Last but not least, give yourself time to recover. Setelah melakukan public speaking, introvert cenderung merasa lelah secara emosional. Kasih waktu ke diri sendiri untuk mengisi ulang energi dengan menghabiskan waktu sendiri.

Jadi nggak ada lagi alasan nggak mau berbicara di depan umum dengan melabeli diri introvert ya. Pada dasarnya semua kepribadian memiliki kesempatan yang sama untuk mampu menjadi Great Public Speaker. We can do it!

Editor: Alyezca Disya Rahadiz

TALKINC MENJADI LPK

Pengunaan teknologi yang semakin meningkat dalam segala aspek kehidupan membuat pekerjaan menjadi sangat fleksibel, baik secara waktu maupun tempat. Kompetensi dan fleksibilitas kerja menjadi poin utama. Tenaga kerja juga dituntut untuk menguasai perkembangan teknologi dengan soft skills yang memadai. Melihat hal ini, LPK TALKINC – kini sudah terakreditasi oleh Lembaga Akreditasi LA-LPK Kemenaker RI, membuat dan mempraktikkan aneka macam inovasi sistem pembelajaran. Berpengalaman selama hampir 19 tahun dalam memberikan pelatihan komunikasi dan program Public Speaking, serta berkomitmen untuk mendukung Gerakan Nasional Indonesia Kompeten (GNIK).

LPK TALKINC merupakan LPK khusus pelatihan komunikasi dan public speaking yang pertama di Jakarta yang telah terverifikasi didalam Sistem Perizinan OSS dan telah terakreditasi oleh Lembaga Akreditasi LA-LPK Kemnaker RI, dengan demikian LPK TALKINC hadir untuk membantu membangun kompetensi mengembangkan sumber daya manusia dengan lulusan-lulusan yang siap bekerja.

SELF CONCEPT: Siapa saya?

Oleh Erwin Parengkuan

Sebuah curhatan dari sesi minggu lalu telah membuat saya menyimpan pemikiran ini untuk beberapa hari, rasanya setiap orang harusnya sudah tahu siapa dirinya dan konsep diri seperti apa yang ingin ia tampilkan, tetapi ketika dalam sesi itu, seorang leader yang bisa dibilang memiliki jabatan tinggi dan selalu bertemu dengan network yang luas ternyata dengan terbuka mengatakan “Saya tidak tahu siapa diri saya? Saya sering bertanya ke dalam diri, siapa saya? Tetapi selalu kebingungan untuk menemukan jawabannya!” Dari tampak luar leader ini terlihat tangguh juga tenang. Tapi siapa yang tahu isi hati seseorang?

Bisingnya hiruk-pikuk dunia ini telah membuat kita lebih banyak melihat ke luar daripada ke dalam diri. Kegalauan semacam ini tentu bukan hal baru, semakin banyak kita terus melihat ke luar, akan semakin sulit kita menentukan konsep diri kita. Contoh di atas tidak menyinggung soal seseorang yang masuk kategori people pleaser, melainkan murni ketika hidup kita terlalu bising dan dikelilingi oleh orang-orang yang tidak otentik tentu semakin besar potensi kelalauan tentang konsep diri ini.

Menurut saya, ada banyak kesempatan yang dapat kita ambil untuk menemukan tentang cara membuat konsep diri, sebelum saya uraikan, 4 faktor penyebab ini dapat memicu seseorang tidak mengetahui siapa dirinya:

• Dikelilingi oleh orang-orang yang palsu
• Gaya hidup hedonis
• Tidak memiliki waktu dengan dirinya
• Dan terlalu takut dibilang jelek oleh orang lain.

Beberapa waktu yang lalu juga seorang teman curhat kepada saya, ia mengatakan hal yang hampir sama dengan contoh di atas. Ia merasa lelah karena terlalu banyak mengikuti permintaan orang lain, melayani orang lain bahkan kerap melupakan dirinya sendiri. Rupanya semakin bising hidup kita, semakin kesulitan seseorang untuk bertanya ke dalam tentang konsep dirinya.

5 langkah berikut ini dapat membantu Anda yang mungkin masih memerlukan bantuan dalam membentuk konsep diri yang utuh:

1. Kekuatan Diri
Tuliskan hal-hal yang menjadi kekuatan diri kita. Hal yang kita yakini 100% ada dalam diri kita. Bukan sebuah pencapaian tetapi sebuah tindakan/perilaku yang selalu kita lakukan secara alami muncul dari dalam diri. Misalnya saya adalah seseorang yang cepat belajar, terbuka, dll

2. Meditasi
Tidak bisa dipungkiri, berbicara dengan diri sendiri, mendengarkan diri sendiri akan kita dapatkan dalam momen meditasi. Hening dan diam untuk 5 menit, atau bahkan waktu yang lebih. Memiliki waktu dengan meditasi setiap hari, akan membantu kita lebih tenang dalam menghadapi berbagai macam tuntutan dari dunia ini. Cobalah tentukan berapa lama waktu kita akan meditasi dan fokus kepada nafas kita. Ambil waktu terbaik, entah pagi hari sebelum berkegiatan atau malam hari sebelum tidur. Segala sesuatu yang kita lakukan dengan hening, seperti membaca buku, dalam kesendirian menikmati indahnya alam termasuk dalam bentuk meditasi

3. Lingkungan Positif
Teliti siapa saja orang-orang disekeliling kita. Apakah mereka adalah teman-teman yang tulus kepada kita? Tulislah 5 orang terdekatmu, coba liat hal baik apa yang telah kita berikan kepada mereka, begitupun sebaliknya. Bila tidak ada, bisa jadi kita berada dalam lingkungan pertemanan yang tidak sehat

4. Memiliki Mentor
Carilah seorang mentor yang dapat melatih kita dalam mengasah kemampuan. Atasan di kantor dapat kita minta waktunya seminggu sekali selama 30 menit untuk membantu kita membukakan potensi diri. Atau kalau tidak ada yang dapat diandalkan, carilah di lingkungan sosial lainnya. Seorang mentor yang baik adalah seseorang yang mengacu kepada sebuah kebaikan

5. Tujuan Hidup
Kalau keempat faktor diatas sudah kita jalankan, mulailah membuat catatan dalam jurnal kita tentang tujuan hidup yang akan kita capai. Tujuan jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Sesekali luangkan waktu untuk kembali melihatnya bahkan merevisinya.

Dengan 5 langkah membentuk konsep diri tersebut, diharapkan kita lebih mengenal siapa diri kita sebenarnya. Tidak ada lagi kebingungan dan muncul pertanyaan “Siapa saya?”, beranilah untuk menunjukkan diri dengan bangga dan menyatakan “ini loh saya”.

Editor: Alyezca Disya Rahadiz

Impostor Syndrome: Rasa Tidak Yakin Dengan Kemampuan Sendiri

Ditulis oleh: Irina Dewi – TALKINC Facilitator

Rasa tidak yakin dengan kemampuan diri adalah hal yang biasa dialami oleh para profesional. Tetapi merasa diri sendiri penipu dengan menihilkan kompetensi dan pencapaian diri, apalagi menganggap bahwa semua yang dicapai adalah faktor kebetulan? Hati-hati, mungkin dirimu menghadapi yang namanya Impostor Syndrome!

Impostor syndrome sebetulnya bukan istilah baru, meskipun gaungnya baru terasa di 5 tahun terakhir. Istilah ini pertama kali muncul pada tahun 1978 melalui sebuah artikel yang ditulis oleh dua orang psikolog bernama Pauline Rose Clance dan Suzanne Imes, berjudul “The Impostor Phenomenon in High Achieving Women: Dynamics and Therapeutic Intervention.’ Di artikel ini dijelaskan bahwa Impostor Syndrome adalah sebuah pola psikologis di mana seseorang meragukan kemampuan dan pencapaiannya, merasa diri tidak kompeten, meskipun ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa kita adalah orang yang kompeten dan memiliki pencapaian yang cukup. Orang yang mempunyai impostor syndrome sering percaya bahwa prestasi yang dicapai hanyalah sebuah ‘kebetulan’, bukan sebuah hasil dari usaha keras dan kemampuan yang dimiliki. Meskipun jurnal ini berfokus pada perempuan, tapi riset lanjutan juga menunjukkan bahwa sindrom ini kerap juga terjadi pada laki-laki.

Gejala impostor syndrome diantaranya adalah keraguan diri yang berlebihan, cenderung meremehkan prestasi dan mengatribusikan kesuksesan diri kepada faktor eksternal seperti keberuntungan, kekhawatiran bahwa orang lain akan menemukan bahwa kita sebenarnya tidak kompeten, sering merasa perlu terus membuktikan diri sendiri kepada orang lain secara berlebihan, dan sering menunda pekerjaan karena takut terlihat tidak sempurna. Kalau beberapa gejala ini ada di dirimu, tenang, kamu nggak sendirian kok. Saya juga mengalaminya. Meskipun sudah bergelut di bidang komunikasi selama 20 tahun lebih, saya kadang merasa tidak punya cukup kompetensi untuk mengajar komunikasi. Yes, I’ve been practicing communication as a professional for more than 20 years, but teaching is a whole new ball game and I often felt that I was fooling everyone. Ketika saya mencoba mencari tahu lebih dalam mengenai sindrom ini, saya menemukan bahwa beberapa orang sukses yang saya kagumi juga mengakui mengalami sindrom ini seperti Maya Angelou, Neil Gaiman, bahkan Michele Obama, padahal kompetensi mereka tidak usah dipertanyakan lagi.

How to overcome it? Kalau kamu merasa memiliki sindrom ini, bagus. You’ve already taken the first step, because you’re becoming aware of it. Langkah pertama adalah menyadari tantangan diri sebelum mencoba memperbaikinya. Untuk saya, hal yang saya lakukan dalam menghadapi sindrom yang sangat kontra produktif ini adalah dengan meredam suara-suara negatif di dalam kepala saya, berhenti meremehkan kompetensi dan prestasi diri, tidak membandingkan diri dengan orang lain, dan banyak berdialog dengan orang-orang yang menyadari kelebihan-kelebihan saya. Be kind to yourself. Dan yang paling penting, stop menunda pekerjaan. Menunda pekerjaan adalah kebiasaan yang sering dilakukan orang yang mengidap impostor syndrome karena terobsesi dengan kesempurnaan. Fokus ke progres dan proses, bukan ke hasilnya saja.

Kalau ingin tahu lebih banyak mengenai Impostor Syndrome ada beberapa literatur yang bisa kamu baca, seperti:
1. The Impostor Syndrome: Becoming an Authentic Leader, Harold Hillman,
2. The Reality of Impostor Syndrome: Overcoming Internalized Barriers to Professional Development, Josephine E. Pemberton, Suzanne J. Imes.
3. Chasing the High: An Entrepreneur’s Mindset Through Imposter Syndrome, Michael G. Dash.

Its not just about communication. Its about ‘build the relationship’

Tulisan ini tertuang dari sebuah pengalaman saya pada saat menjadi facilitator di sebuah “online class” dimana ada satu peserta yang memiliki pendapat bahwa berbicara itu menyampaikan pesan, ide dan perintah. Memang peserta tersebut tidak menceritakan secara detail apa yang dimaksud komunikasi dari pandangannya. Tapi, saya sudah bisa menarik kesimpulan bahwa arti dari komunikasi hanya sebatas itu.

Kalau TALKINC friends suka membaca artikel di website ini, Mas Erwin Parengkuan sudah membahas tuntas mengenai komunikasi itu seni membangun hubungan. Nah, sekaran saya Tanya, siapa di sini yang merasa beraaaatt sekaliii untuk memulai pembicaraan dengan orang lain? Hahaha mungkin ada yang mengaku dan tidak yaaa. Baik saya contohkan dengan diri saya ya.

Saya itu termasuk orang yang sulit (malas) untuk memulai pembicaraan dengan siapapun. Tapi karena pekerjaan yang mengharuskan saya untuk menjadi orang yang talk-active, saya paksa sehingga ini sudah menjadi kebiasaan setiap kali bertemu dengan orang baru. Memulai pembicaraan. Ada banyak buku / literasi yang menuntun kita bagaimana memulai percakapan. Bagi TALKINC Friends yang merasa “eh relate banget dengan saya nih”, boleh untuk dicoba yaa.

Saya selalu memulai percakapan dari keadaan sekitar mulai dari mengomentari topik sederhana seperti cuaca, kemacetan yang terjadi, atau bahkan tempat bertemu kita dengan lawan bicara. Mengapa dari topik-topik tersebut untuk memulai pembicaraan? Karena dari topik sederhana itu mudah dipahami dan dikomentari oleh banyak orang, dan saat itu kita sedang mencari “chemistry” dengan lawan bicara. Masuk ke tahap selanjutnya yaitu mencari persamaan seperti makanan kesukaan. Ya topik ini yang paling mudah dibawa ke dalam pembicaraan sebagai “ice breaking” sekaligus kita mencari persamaan dengan lawan bicara.

Pada saat saya bekerja menjadi Marketing Manager, tugas saya yaitu membuka kerjasama dengan berbagai pihak. Salah satunya adalah dengan produsen wine dan saya ditawari untuk mengikuti wine tasting. Wine tasting ini tentu acara khusus yang biasanya diikuti oleh orang-orang yang berhubungan dan memiliki pengetahuan banyak tentang wine. Malam itu juga saya belajar istilah dasar mengenai wine agar saya dapat in-line saat mengobrol tentunya. Pada saat wine tasting, saya harus bolak balik ke kamar kecil karena muka saya merah dan mencoba untuk cuci muka agar tidak terlihat. Karena ini untuk kepentingan bisnis saya berusaha untuk bertahan dan menemani produsen wine hingga larut malam. Selama wine tasting tidak ada pembicaraan bisnis sedikitpun. Selang beberapa hari, proposal kerjasama akhirnya disetujui dan kami pun bekerjasama. Apa maksud dari cerita ini? Terkadang kita perlu melakukan penyesuaian dalam mencapai tujuan kita — dalam kasus ini kesepakatan bisnis. Hal ini bukan berarti kita menjadi 180o orang yang berbeda ya.

Cerita lain berasal dari teman saya. Ia bercerita harus membeli raket tenis hanya karena keesokan harinya harus menemani client bermain tenis. Saat bermain tenis, Ia hanya sanggup bermain selama 15 menit karena memang belum pernah bermain tenis. Namun, dari situ timbul rasa respect dan segan dari client kepada teman saya sehingga kesepakatan bisnis pun tercapai. Inti dari ke dua cerita ini adalah alangkah akan lebih maksimal jika kita dapat menyentuh hati lawan bicara kita. Artinya kita memiliki keseriusan dalam dalam membangun hubungan.

Terdapat salah satu quotes dari Nelson Mandela yang memiliki makna bahwa ketika kita berbicara maka gunakan bahasa yang dapat menyentuh hati dari lawan bicara kita.

TALKINC Friends, mungkin Anda fasih berbagai bahasa asing. Tapi apakah “bahasa” yang Anda gunakan sesuai dengan lawan bicara Anda?

Penulis: Fernando Edo – TALKINC Main Facilitator

Editor: Alyezca Disya Rahadiz

Public Speaking: #MulaiAjaDulu

Pada masa pandemik, semua berlomba untuk hidup sehat dengan cara berolahraga dan mengonsumsi makanan sehat. Saya termasuk yang ingin hidup sehat dengan berolahraga rutin. Karena saat PPKM tidak diperbolehkan keluar, saya menggantinya dengan olahraga di dalam rumah saya yang sangat strategis (toilet, meja makan, kamar berdekatan) jadi saya mencoba untuk melakukan push-up. Hari pertama target saya adalah 30x push-up dalam 5 menit dan berhasil walaupun dengan muka biru. Hari Kedua saya merasa sakit di bagian dada dan tangan sehingga memutuskan untuk “break” sampai hari kelima. Lalu saya berpikir untuk me–“reset” intensitas push up dimulai dari 20 dan naik tiap minggunya secara konsisten. Di akhir bulan Agustus, Saya sudah berhasil push-up sebanyak 140x dalam waktu 7 Menit tanpa “break”. Dan saya sadar ketika push-up ini menjadi satu kebiasaan, alam bawah sadar akan memerintahkan otak untuk harus melakukannya tanpa ada rasa beban.

Seperti judul tulisan ini yang saya ambil dari tagline marketplace yakni “mulai saja dulu” dengan usaha yang sangat kecil. Seringkali setiap peserta di kelas selalu bertanya bagaimana untuk mahir dalam “public speaking” atau ingin menjadi seorang pembawa acara di kantor. Itu semua bisa dimulai dari hal sederhana yang kemudian dilakukan secara konsisten. Misal, ajukan satu pertanyaan di setiap meeting jika Anda terbiasa hanya menjadi “follower”. You have to “Speak up” and express your idea. Ketika sudah terbiasa untuk mengajukan pertanyaan pada sesi meeting, maka akan berkembang tidak hanya mengajukan pertanyaan tetapi dapat mencetuskan memberi ide. Setelah terbiasa berani berbicara, maka coba beranikan diri untuk mengajukan diri menjadi pembawa acara di acara internal kantor. Terkadang memulai sesuatu terasa lebih berat, kenapa? Karena banyak ketakutan & kekhawatiran dalam pikiran diri yang padahal belum tentu terjadi. Ketika sudah mulai, maka kebiasaan lah yang akan membuat Anda menjadi mahir dalam satu spesifik keahlian yang Anda inginkan. Keluar dari zona nyaman memang hal yang paling menantang. Tapi percaya, itu akan membuat Anda menjadi pribadi yang tangguh dan bisa beradaptasi di era yang penuh dengan ketidakpastian ini.

Yuk, Mulai aja dulu!

Penulis: Fernando Edo – TALKINC Main Facilitator

Editor: Alyezca Disya Rahadiz

Just Another Monday

Oleh Erwin Parengkuan

Sebuah diskusi yang dalam dan menarik ketika saya membawakan sesi dengan para leader dari perusahaan platform digital, dimana kami membicarakan tentang bagaimana seseorang dapat berubah menjadi versi best-self terutama ketika pertama kali bertemu dengan orang baru dan ingin membangun relasi jangka panjang. Saya mengatakan bahwa salah satu hal terpenting adalah menjadi pribadi yang ‘pleasant’. Seorang peserta mengaku menemui kesulitan dalam memberikan apresiasi sebagai indikator seseorang dapat dibilang menyenangkan. Buat dirinya setiap hari adalah Just Another Monday! Bukan berarti ia tidak memerhatikan lawan bicara, tetapi ia merasa takut garing, dan takut salah kalau serta merta memberikan apresiasi itu, selain bukan kebiasaan sehingga ia menyimpannya dalam hati saja. Mungkin ada di antara Anda yang masih memiliki keraguan seperti itu. Menjalankan ritual business as usual ketika bertemu dengan orang baru, tidak ada bonding, dan tidak ada personal touch.

Apakah perilaku seperti ini akan diingat oleh lawan bicara? Tentu tidak! Umumnya semua orang yang logis akan melakukan hal yang sama terus menerus. Seperti salah seorang profesional mengatakan hal yang sama “Buat apa memberikan apresiasi kalau ternyata kita tidak dapat memberikan bobot dalam setiap ucapan yang kita lakukan dalam konteks pekerjaan?” saya kemudian memberikan pilihan kepada mereka. Pilih mana? Berbobot tapi tidak ada personal approach, atau menyenangkan tetapi tidak berbobot, atau menyenangkan dan berbobot?

Setiap orang memiliki harapan untuk selalu diperhatikan. Dalam sebuah jurnal tentang mental health issue yang baru saja dikeluarkan belum lama ini; mengatakan bahwa setelah pandemi berakhir banyak warga di US makin merasa kesepian dan akibatnya membuat mereka merasa hidup tidak ada artinya. Mereka menjadi frustasi, apatis dan mencoba mengakhiri hidupnya. Keadaan ini lebih mengkhawatirkan daripada penyakit generatif dll. Artinya sebagai mahluk sosial kita harus tetap menjalin relasi dengan semua orang, semakin dekat hubungan yang kita jalin akan semakin bahagia seseorang. Dalam riset ini juga mengungkapkan semakin lama kita berinteraksi hanya di media sosial, semakin membuat seseorang menjadi depresi kosong jiwanya.

Tidak ada di antara kita yang mau hidupnya tidak bahagia. Jadi cobalah mulai sekarang melatih diri untuk menjadi lebih perhatian kepada orang yang kita jumpai. Seorang peserta juga menyambar dengan sebuah pernyataan “Gimana kalau respon lawan bicara kita datar? atau ia tidak bergeming? Ini akan membuat kami lebih takut lagi dalam memberikan perhatian!” satu peserta lainnya di sesi itu melengkapi dengan penjelasan yang baik “Selama kita tulus menyampaikannya, kita tidak perlu khawatir dengan apresiasi yang kita berikan, terlepas orang itu akan menerima atau memberikan respon tidak seperti yang kita harapkan!”

Ada sebuah istilah yang sangat indah yaitu “giving without expecting” ini akan membantu siapapun untuk belajar menerima, memberi tanpa berharap yang tentu akan membuat kita tidak memiliki ekspektasi apapun kepada siapapun. Menurut saya pernyataan itu adalah sebuah filosofi yang sangat bijaksana. Kita akhirnya akan menjadi pribadi yang menyenangkan dimanapun kita berada, lebih ikhlas. Selama hal tersebut kita lakukan dari hati dan tidak berharap apapun, jiwa kita semakin besar, kita menjadi orang yang selalu juga berpikir besar dan pada akhirnya akan mengasah diri kita menjadi manusia unggul dengan mental yang kuat dan pikiran yang terus terbuka.

Mari kita teruskan niat baik ini agar jiwa kita terpenuhi untuk menjadi diri yang lebih baik dari waktu ke waktu. Kita tidak membiarkan mood menguasai diri kita dan memiliki kesadaran penuh untuk terus berbagi, sehingga hari Senin kita tidak seperti hari Senin kebanyakan orang.