Oleh Erwin Parengkuan
Sangat sedih dan kecewa melihat apa yang terjadi terhadap kualitas pemimpin di negara kita saat ini. Bagaimana mereka menanggapi dan berkomunikasi ketika bencana banjir yang menimpa masyarakat yang ada di Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara dengan jumlah korban lebih dari 1.000 jiwa belum lagi mereka yang dinyatakan hilang. Cuplikan demi cuplikan baik itu pidato atau wawancara mereka di televisi maupun di media sosial telah melukai perasaan kita dan sungguh malu melihat betapa dangkalnya cara berpikir seorang pemimpin dalam merespon bencana besar ini. Barusan sebuah cuplikan dari seorang Menteri yang datang ke lokasi bencana dengan mengendong beras dalam wawancaranya ia bercerita telah disapa oleh masyarakat ketika sedang olah raga di car free day “Bapak, kok tidak gendong beras lagi? Mana berasnya?” Beliau dengan bangganya menceritakan tentang pengalaman tersebut tanpa merasa ada yang salah dengan pertanyaan para warga.
Terlalu banyak ucapan maupun tindakan para pemimpin yang membuat kita geleng-gelang kepala termasuk cara berpikir mereka yang jauh dari nalar. Entah memang tidak kritis/peka atau memang NPD (narcistic personality disorder). Mulai dari seorang Bupati bersama keluarganya yang tetap menunaikan ibadah ke tanah suci ketika bencana datang yang telah meluluhlantakkan desa para warganya, belum lagi seorang Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana secara terang-terangan mengatakan bahwa bencana yang terjadi tidak semencekam yang terlihat di media sosial, juga ketika seorang Gubernur berucap bahwa daerahnya di Kalimantan Timur yang sudah jelas-jelas kehilangan 3.1 juta hektar akibat diforestasi tetap memiliki cadangan hutan yang luas, atau seorang wakil rakyat yang datang ke lokasi bencana dengan rompi berikut tertera nama dan partainya, dan masih banyak contoh-contoh lainnya yang membuat kita menarik nafas panjang dan tidak tahu harus berkata apa lagi.
Sejatinya seorang pemimpin mutlak memiliki empati, kecerdasan emosi, kecerdasan dalam berpikir kritis, cara berkomunikasi yang baik dan tetap menginjak bumi agar mudah dijangkau oleh masyarakat. Seorang pemimpin harus menjadi terang dan dapat memberikan inspirasi serta motivasi kepada masyarakat. Seperti dalam dunia pendidikan Indonesia, yang telah dirumuskan oleh tokoh pergerakan kemerdekaan kita, Ki Hadjar Dewantara yang juga merupakan Bapak Pendidikan Nasional dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam pedomannya meliputi 3 semboyan:
Ing Ngarso Sung Tulodo: Seorang guru/pemimpin harus dapat menjadi contoh yang baik
Ing Madyo Mangun Karso: Seorang pemimpin harus dapat membangkitkan niat dan motivasi
Tut Wuri Handayani: Seorang pendidik harus mengikuti dari belakang dan memberikan pengaruh yang baik agar murid menjadi mandiri
3 pedoman ini sekarang sangat jauh dari wajah para pemimpin kita, baik di pemerintahan maupun para politikus dan tidak heran jika saat ini negara kita semakin terbelakang, sedangkan dunia barat yang terkenal sangat majupun telah menggadang-gadang istilah tentang seorang kualitas seorang pemimpin hendaknya “leading from behind” atau seperti yang diucapkan oleh Ki Handjar Dewantara. Sayangnya tidak semua pemimpin menjalankan 3 fondasi penting ini dalam menjalankan perannya. Kitapun melihat begitu banyak perilaku yang berseberangan terjadi dalam interaksi sehari-hari. Padahal semua orang bisa bertumbuh dan memilih untuk bertumbuh. Bayangkan bila semua orang dunia ini sama-sama berkompetisi secara positif tentu akan menciptakan dunia yang nyaman untuk dihuni. Sehingga kita tidak perlu terus berharap kepada pemerintahan yang sekarang untuk berubah, nanti kita akan makin marah dan kecewa. Jadi berfokuslah kedalam diri agar mandiri dan berdaya yang menurut saya merupakan tindakan yang paling bijaksana dan tepat. Mari kita sama-sama belajar untuk tidak berharap serta mengatur ekspektasi agar tidak mudah dikecewakan. Kemandirian yang perlu kita tanamankan dalam diri sendiri akan menciptakan sebuah ketenangan daripada berharap dari luar yang nota bene tidak dapat kita kendalikan.
Semua orang adalah pemimpin untuk dirinya, terlepas dari apa yang terjadi di negara kita, bila kita tetap stay positive and relevant, niscaya akan banyak orang-orang yang sefrekuensi akan hadir dalam hidup kita yang akan menghasilkan sinergi besar terhadap sebuah perubahan mulai dari yang terkecil sampai terbesar. Buat kita semua saat ini, mulailah mempraktikkan 3 pedoman diatas yang sudah diwariskan. Sejatinya berkompetisi dengan diri sendiri merupakan hal yang menyenangkan karena kita sendiri yang akan mendapatkan manfaatnya dan akan terjadi peningkatan kapasitas diri seperti yang disampaikan oleh bapak psikologi Amerika Abraham Maslow tentang teorinya The Hierarchy of Needs.