Live The American Dream

Oleh Fernando Edo

7 tahun bekerja di lingkaran dalam Kedutaan Besar Amerika Serikat (US Embassy) membuat saya menjadi tahu gambaran akan negara tersebut beserta karakteristik orangnya serta bagaimana perilaku mereka dalam dunia professional (penulis masih berharap satu hari dapat mengunjungi Negara Paman Sam). Dalam dunia kerja, kepintaran dan kemahiran suatu bidang saja tidaklah cukup untuk dapat bertahan secara konsisten. Membutuhkan kemampuan beradaptasi dan berkomunikasi satu sama lain untuk memperkuat pertahanan dalam profesionalitas. Petualangan saya selama 7 tahun ini dimulai dari ketidaksengajaan bertemu dengan salah satu pegawai US Embassy di sebuah lobby mall, dari obrolan basa-basi hingga ditawari bekerja dengan mereka. Kok bisa? Saya itu orangnya malas basa-basi dengan orang yang tidak dikenal, tapi ketika saya memutuskan untuk menjadi seorang MC Professional mengharuskan saya untuk menjadi orang yang “talkactive”. Kita tidak pernah tahu kalau kita tidak pernah mencoba membuka setiap pintu (peluang) yang ada bahkan dengan cara se-sederhana yakni obrolan santai.
Setelah menerima pekerjaan yang ditawarkan, ternyata itu buka puncak karir saya justru itu titik awal yang diiringi dengan berbagai tantangan. Dibekali oleh kemampuan berbahasa Inggris yang tidak terlalu istimewa, saya mulai bekerja dengan tidak percaya diri.

Tantangan yang saya alami dan belum temukan solusinya ini, menjadikan saya seorang yang pasif. Kemudian saya teringat oleh perkataan salah satu leader saat itu, “Dude, You should be proud that you can speak 2 languages rather than me. Come on, stand up and speak up, You are not in the middle of the TOEFL Test. Until now, sometimes I speak with no perfect grammar”. Ucapan tersebut mendobrak rasa malu-malu saya saat berbicara dengan orang lain, dan menstimulus saya untuk lebih percaya pada diri sendiri.

Dari pengamatan saya, Orang Amerika Serikat sangat santai cenderung tidak tahu sopan santun – hal ini dapat kita lihat dari perspektiif yang berbeda, tergantung bagaimana kita meresponnya. Pada satu momen, saya pernah dimarahi karena memanggil leader saya dengan sebutan “Sir” menurut mereka terlalu berlebihan. Dan satu momen lain, yang membuat terkejut yakni ketika di hari libur saya tetap bekerja karena memang ada kerjaan dan saya piker itu bentuk loyalitas saya terhdap perusahaan, namun keesokannya saya justru dipanggil dan diperingati untuk tidak bekerja pada saat di hari libur. Wah kalau bahasa generasi Z ini work life balance yang oke!
Sebutan The king of Entertainment juga sangat melekat dengan Amerika Serikat. Ribuan event yang sudah kami tangani dan jauh dari kata biasa. Karena budaya totalitas dan “have to look good” sangat ditanamkan untuk kami yang bekerja menangani event untuk US Embassy. Mau Bukti? Coba anda tonton Halftime Superbowl, konser yang berdurasi 15 menit bisa menjadi tontonan kelas dunia. They know how to make ordinary event / performance become extra ordinary. Menurut saya, kreativitas orang amerika diasah sejak di bangku sekolah yang memberikan kebebasan untuk menekuni bidang apapun dan ingat Amerika Serikat adalah Negara “melting pot” dimana semua orang dari penjuru dunia tinggal dan hidup rukun berdampingan di sana. Itu yang membuat mereka juga kaya akan adat dan kebiasaan setiap orang.

Dan satu lagi yang terkadang menjadi pertanyaan banyak orang termasuk saya saat itu. Kenapa US adalah negara yang “paranoid” dan sangat berhati-hati terutama dalam keamanan. Sangat ketat dalam pembuatan Visa walaupun hanya untuk turis sekalipun. Anda ingat kejadian 9 11 yang menewaskan begitu banyak warga US? Menurut saya, kejadian itu yang menimbulkan rasa trauma mereka, sehingga semua orang yang ingin membuat visa perlu penyaringan lebih ketat. Dan bekerja di lingkungan US Embassy juga membuat saya tahu pentingnya keamanan dalam bekerja. Hanya karena mereka mau melindungi negara tercinta mereka.
Tapi terlepas dari itu semua, perilaku budaya mereka juga dibentuk oleh judul di atas. Live the American Dream, dimana mereka percaya keberhasilan seseorang bukan dari strata sosial, agama, atau warna kulit melainkan pengorbanan, perjuangan dan kerja keras yang membuat suatu keberhasilan. Jadi jangan heran, mereka tidak pernah membedakan senior, junior, perempuan atau pria. Mereka percaya, selama ada kerja keras siapapun bisa. Apakah Anda sudah memiliki The American dream dalam diri Anda? I Dare you to dream with no limit and make it happen!

Penulis: Fernando Edo – TALKINC Main Facilitator
Penyunting: Alyezca Disya Rahadiz

Jangan Pernah Berhenti

Oleh Erwin Parengkuan

Seorang peserta di kelas bertanya kepada saya “Mas Erwin, pernahkah terbayangkan bahwa akan ada di posisi seperti sekarang? Memimpin perusahaan dan aktif mengajar?” Pertanyaan yang sontak mengejutkan saya karena cukup menyentuh pribadi yang tidak pernah saya pikirkan akan ada orang yang menanyakan hal tersebut. Perlu beberapa detik untuk menjawab pertanyaan tersebut, akhirnya saya bilang gini “Sejujurnya saya tidak pernah membayangkan karir dan pekerjaan saya akan ada di titik ini, saya juga telah banyak membaca artikel dan buku tentang orang-orang yang bisa dibilang sukses dalam karir, dan merekapun tidak pernah membayangkan ada di titik itu!”

Kalau kita melihat ke dalam diri dan merefleksikan perjalanan hidup yang sudah kita lewati dan memetik hasilnya, ada yang berbuah manis, ada yang pahit, ada yang getir, dll. Semua itu tentu buah dari sebuah proses dan tindakan yang kita lakukan. Saya jadi ingat dulu ada sebuah kontes anak-anak muda yang sukses sebelum usia 30 tahun, sebagian mereka sekarang masih ada yang semakin sukses, tapi banyak juga yang berhenti karena setelah buah itu dipetik kemudian proses berikutnya tidak sesuai dengan espektasi mereka, akhirnya sebagian besar kandas di tengah jalan, dan mereka berhenti!

Menurut saya, makna kesuksesan adalah sebuah tindakan/proses tanpa henti. layaknya bernapas yang harus terus kita lakukan. Bila seseorang lekas puas dengan hasilnya maka proses sukses pun akan berhenti dengan sendirinya. Saya juga jadi ingat tante saya yang mengambil gelar Phd di Jepang, menjadi guru besar di universitas tersebut, dan tahun ini saya menyambangi beliau di usianya yang hampir 80 tahun. Ia berujar, bahwa kesuksesan dan predikat cemerlang yang ia dapatkan dulu, yang ia bangga-banggakan sekarang sudah tidak ada lagi. Tante saya juga tidak dalam kondisi fit, setelah terjatuh, ia hanya menghabiskan sisa waktunya dengan menonton televisi, membaca buku, diam dan terduduk tanpa ada aktivitas produktif yang ia lakukan seperti dulu kala. Berbagai macam pilihan yang kita miliki dalam menjalankan hidup/karir yang ingin kita raih mau sampai usia berapa?

Awal tahun ini saya membawakan sebuah acara ulang tahun seorang pengusaha yang usianya sudah 90 tahun tapi beliau masih terus bekerja dan aktif memimpin perusahaannya hingga saat ini. Saya ingin seperti beliau, tidak akan ada kata “berhenti” harus terus berjalan. Seperti banyak orang-orang yang usianya sudah sepuh tetapi masih kuat naik gunung Himalaya dll. Dan tentu perlu usaha keras tanpa henti, seperti konsisten merawat tubuh, pikiran, perasaan dan kemampuan membangun relasi dengan setiap orang.

Dari beberapa contoh di atas bisa menjadi motivasi dan acuan, pilihan dan penguat kita dalam menjalani sebuah proses, mengacu kepada kalimat bermakna yang populer dan favorit buat saya disebutkan oleh Steven R. Covey yaitu “Begin with the end in mind.” Kalimat ini telah menjadi “api” dalam diri saya untuk terus berjalan dan menerima sebuah proses apapun hasilnya. Konon tidak ada istilah orang yang gagal, tetapi adanya adalah orang yang memutuskan untuk berhenti berproses.

Bahwa kekayaan, kesuksesan, popularitas, bahkan kecerdasan bukanlah menjadi sebuah tujuan hidup (menurut saya), karena kalau kita sudah mencapai hal tersebut kita kemudian akan berhenti berproses. Sejatinya setiap orang harus memiliki keberanian untuk keluar dari zona nyamannya, dengan hati yang tulus, terbuka, memiliki integritas, menghargai setiap orang, santun, dll adalah nilai-nilai utama yang menjadi pedoman dalam memetik sebuah hasil yang terus berkesinambungan.

Bulan lalu kami di kantor merayakan proses baru dimana TALKINC menjadi LPK TALKINC, sebuah impian yang sudah saya nantikan dari beberapa tahun yang lalu. Proses panjang kami lewati berkat kerja keras team dan support system dari Lembaga Akreditasi, pemerintah DKI, juga Kementerian Tenaga Kerja yang telah meluluskan permintaan kami. Sebuah kado terbaik untuk tahun ini. Ketika press conference berlangsung, seorang senior yang saya undang membisikkan kata-kata ini kepada saya “Kamu harus terus bermimpi dan membuat diri kamu lebih besar dari mimpimu!”. Ucapan yang mungkin bagi orang lain biasa saja, tapi sangat personal buat saya hingga tertegun sejenak. Ucapan yang meyakinkan saya dalam bertekad untuk terus melanjutkan perjalanan ke depan tanpa henti. Saya berharap tulisan ini dapat memengaruhi pembaca untuk memiliki arah & tujuan dalam menjalani hidup karena dari sana kita dapat memaknai setiap langkah kita untuk bertahan di kehidupan yang selalu ‘ada-ada saja’, sehingga jangan pernah menyerah dan jangan pernah berhenti untuk terus menjalani hidupmu!

Editor: Alyezca Disya Rahadiz

Introvert Nggak Bisa Public Speaking? Siapa bilang?

Oleh Irina Dewi – TALKINC Facilitator

Ada beberapa orang beranggapan bahwa ekstrovert adalah orang yang cerewet dan introvert adalah orang yang pendiam. Makanya ketika ada orang yang lancar sekali berbicara di depan umum, anggapannya adalah: “Oh, pasti dia extrovert, wajarlah bisa ngomong lancar di depan umum”. Ini merupakan satu miskonsepsi mengenai penilaian tipe kepribadian yang sering kita dengar dan pada artikel ini kita cari tahu jawabannya ya!
Oke, saya disclaimer dulu ya. Saya adalah seorang introvert yang sudah bergelut di dunia public speaking selama lebih dari 20 tahun. Pertama kali saya sadar bahwa saya adalah seorang introvert adalah ketika saya membaca buku dari Carl Jung yang berjudul Psychological Types. Dalam buku ini, Jung menggambarkan introvert sebagai orang yang lebih fokus pada dunia internal, cenderung memproses informasi dengan refleksi diri dan lebih memilih waktu sendiri untuk mengisi ulang energi. Sementara, ekstrovert cenderung lebih fokus pada dunia luar, memproses informasi melalui interaksi dengan lingkungan sosial, dan mendapatkan energi dari interaksi sosial tersebut. Jadi kalau balik lagi ke pertanyaan, apakah introvert pasti pendiam dan extrovert pasti cerewet? Jawabannya adalah: TIDAK. The only difference is how you recharge your energy. Jadi kalau kamu adalah tipe menjadi enerjik ketika kamu bertemu banyak orang, kemungkinan besar kamu adalah extrovert. Kalau kamu lebih enerjik seusai menghabiskan waktu sendirian, kemungkinan besar kamu introvert.

Dalam buku Understanding People, Erwin Parengkuan, founder Talk Inc, memisahkan tipe introvert dan ekstrovert dalam konteks gaya komunikasi, bahwa ada 4 tipe manusia secara general yaitu, Si Gesit, Si Rinci, Si Kuat, dan Si Damai. Untuk detilnya silahkan baca sendiri dan lakukan tesnya biar lebih mengenal diri sendiri. Intinya, gaya komunikasi introvert dan ekstrovert memang sangat berbeda.

Nah, kalo kembali lagi ke topik kita tadi, bisakah seorang introvert menjadi Public Speaker yang baik? Jawabannya adalah: BISA BANGET. Memang, seorang ekstrovert kecenderungannya lebih nyaman berbicara di depan umum dan bahkan menjadi enerjik berbicara di depan audience dalam jumlah besar, tetapi introvert juga banyak kelebihannya lho. Introvert cenderung memiliki kemampuan yang baik dalam mendengarkan, cenderung memperhatikan detil, memahami sudut pandang orang lain dengan lebih baik, memproses informasi secara mendalam untuk mengembangkan perspektif yang matang, dan cenderung memiliki kemampuan observasi yang kuat.

Jadi bagaimana supaya seorang Introvert lebih nyaman berbicara di depan umum, padahal secara energi banyak terserap dengan kehadiran orang banyak apalagi menjadi pusat perhatian? Yang biasa saya lakukan adalah pertama, persiapkan materi secara menyeluruh. Dengan memiliki pengetahuan yang mendalam tentang topik yang akan dibawakan, kita akan merasa lebih percaya diri saat berbicara di depan umum. Preparation is key. Kedua, rehearse, rehearse, and rehearse. Lakukan latihan dan repetisi sebelum berbicara di depan umum. Rehearsal membantu membangun rasa percaya diri dan memperkuat kemampuan berbicara secara lancar. Berikutnya adalah fokus pada konten. Introvert cenderung lebih memikirkan isi pesan daripada perhatian yang diberikan oleh audiens. Maksimalkan kekuatan ini dengan berfokus pada inti pesan yang ingin disampaikan. Last but not least, give yourself time to recover. Setelah melakukan public speaking, introvert cenderung merasa lelah secara emosional. Kasih waktu ke diri sendiri untuk mengisi ulang energi dengan menghabiskan waktu sendiri.

Jadi nggak ada lagi alasan nggak mau berbicara di depan umum dengan melabeli diri introvert ya. Pada dasarnya semua kepribadian memiliki kesempatan yang sama untuk mampu menjadi Great Public Speaker. We can do it!

Editor: Alyezca Disya Rahadiz

TALKINC MENJADI LPK

Pengunaan teknologi yang semakin meningkat dalam segala aspek kehidupan membuat pekerjaan menjadi sangat fleksibel, baik secara waktu maupun tempat. Kompetensi dan fleksibilitas kerja menjadi poin utama. Tenaga kerja juga dituntut untuk menguasai perkembangan teknologi dengan soft skills yang memadai. Melihat hal ini, LPK TALKINC – kini sudah terakreditasi oleh Lembaga Akreditasi LA-LPK Kemenaker RI, membuat dan mempraktikkan aneka macam inovasi sistem pembelajaran. Berpengalaman selama hampir 19 tahun dalam memberikan pelatihan komunikasi dan program Public Speaking, serta berkomitmen untuk mendukung Gerakan Nasional Indonesia Kompeten (GNIK).

LPK TALKINC merupakan LPK khusus pelatihan komunikasi dan public speaking yang pertama di Jakarta yang telah terverifikasi didalam Sistem Perizinan OSS dan telah terakreditasi oleh Lembaga Akreditasi LA-LPK Kemnaker RI, dengan demikian LPK TALKINC hadir untuk membantu membangun kompetensi mengembangkan sumber daya manusia dengan lulusan-lulusan yang siap bekerja.

SELF CONCEPT: Siapa saya?

Oleh Erwin Parengkuan

Sebuah curhatan dari sesi minggu lalu telah membuat saya menyimpan pemikiran ini untuk beberapa hari, rasanya setiap orang harusnya sudah tahu siapa dirinya dan konsep diri seperti apa yang ingin ia tampilkan, tetapi ketika dalam sesi itu, seorang leader yang bisa dibilang memiliki jabatan tinggi dan selalu bertemu dengan network yang luas ternyata dengan terbuka mengatakan “Saya tidak tahu siapa diri saya? Saya sering bertanya ke dalam diri, siapa saya? Tetapi selalu kebingungan untuk menemukan jawabannya!” Dari tampak luar leader ini terlihat tangguh juga tenang. Tapi siapa yang tahu isi hati seseorang?

Bisingnya hiruk-pikuk dunia ini telah membuat kita lebih banyak melihat ke luar daripada ke dalam diri. Kegalauan semacam ini tentu bukan hal baru, semakin banyak kita terus melihat ke luar, akan semakin sulit kita menentukan konsep diri kita. Contoh di atas tidak menyinggung soal seseorang yang masuk kategori people pleaser, melainkan murni ketika hidup kita terlalu bising dan dikelilingi oleh orang-orang yang tidak otentik tentu semakin besar potensi kelalauan tentang konsep diri ini.

Menurut saya, ada banyak kesempatan yang dapat kita ambil untuk menemukan tentang cara membuat konsep diri, sebelum saya uraikan, 4 faktor penyebab ini dapat memicu seseorang tidak mengetahui siapa dirinya:

• Dikelilingi oleh orang-orang yang palsu
• Gaya hidup hedonis
• Tidak memiliki waktu dengan dirinya
• Dan terlalu takut dibilang jelek oleh orang lain.

Beberapa waktu yang lalu juga seorang teman curhat kepada saya, ia mengatakan hal yang hampir sama dengan contoh di atas. Ia merasa lelah karena terlalu banyak mengikuti permintaan orang lain, melayani orang lain bahkan kerap melupakan dirinya sendiri. Rupanya semakin bising hidup kita, semakin kesulitan seseorang untuk bertanya ke dalam tentang konsep dirinya.

5 langkah berikut ini dapat membantu Anda yang mungkin masih memerlukan bantuan dalam membentuk konsep diri yang utuh:

1. Kekuatan Diri
Tuliskan hal-hal yang menjadi kekuatan diri kita. Hal yang kita yakini 100% ada dalam diri kita. Bukan sebuah pencapaian tetapi sebuah tindakan/perilaku yang selalu kita lakukan secara alami muncul dari dalam diri. Misalnya saya adalah seseorang yang cepat belajar, terbuka, dll

2. Meditasi
Tidak bisa dipungkiri, berbicara dengan diri sendiri, mendengarkan diri sendiri akan kita dapatkan dalam momen meditasi. Hening dan diam untuk 5 menit, atau bahkan waktu yang lebih. Memiliki waktu dengan meditasi setiap hari, akan membantu kita lebih tenang dalam menghadapi berbagai macam tuntutan dari dunia ini. Cobalah tentukan berapa lama waktu kita akan meditasi dan fokus kepada nafas kita. Ambil waktu terbaik, entah pagi hari sebelum berkegiatan atau malam hari sebelum tidur. Segala sesuatu yang kita lakukan dengan hening, seperti membaca buku, dalam kesendirian menikmati indahnya alam termasuk dalam bentuk meditasi

3. Lingkungan Positif
Teliti siapa saja orang-orang disekeliling kita. Apakah mereka adalah teman-teman yang tulus kepada kita? Tulislah 5 orang terdekatmu, coba liat hal baik apa yang telah kita berikan kepada mereka, begitupun sebaliknya. Bila tidak ada, bisa jadi kita berada dalam lingkungan pertemanan yang tidak sehat

4. Memiliki Mentor
Carilah seorang mentor yang dapat melatih kita dalam mengasah kemampuan. Atasan di kantor dapat kita minta waktunya seminggu sekali selama 30 menit untuk membantu kita membukakan potensi diri. Atau kalau tidak ada yang dapat diandalkan, carilah di lingkungan sosial lainnya. Seorang mentor yang baik adalah seseorang yang mengacu kepada sebuah kebaikan

5. Tujuan Hidup
Kalau keempat faktor diatas sudah kita jalankan, mulailah membuat catatan dalam jurnal kita tentang tujuan hidup yang akan kita capai. Tujuan jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Sesekali luangkan waktu untuk kembali melihatnya bahkan merevisinya.

Dengan 5 langkah membentuk konsep diri tersebut, diharapkan kita lebih mengenal siapa diri kita sebenarnya. Tidak ada lagi kebingungan dan muncul pertanyaan “Siapa saya?”, beranilah untuk menunjukkan diri dengan bangga dan menyatakan “ini loh saya”.

Editor: Alyezca Disya Rahadiz