“Otomatis & Reflektif” 2 kata ini menunjukkan tentang respon seseorang — dalam segala hal, baik itu dalam sebuah tindakan, cara berpikir, dan tentu berkomunikasi. Saya jadi ingat buku yang dulu pernah saya baca dengan judul “Thinking Fast and Slow” dari Daniel Kahneman, penulis buku terkenal dunia yang memenangkan Nobel Memorial Prize: Economic Sciences. Dalam buku tersebut menceritakan tentang bagaimana cara kita otak kita dalam merespon ada dua system yakni sistem 1 yang cepat dan sistem 2 yang lambat. Proses berpikir otak saya mengembang dan mencari lebih lanjut maknanya setelah membaca buku tersebut.
Akhirnya saya menemukan maknanya bahwa Otomatis yaitu: tidak terkontrol, tidak perlu usaha, terasosiasi, cepat, tidak sadar dan ahli. Reflektif yaitu: terkendali, perlu usaha, deduktif, pelan, sadar penuh dan mengikuti aturan. Bagaimana kita bisa lebih baik dari waktu ke waktu, tidak otomatis tapi lebih reflektif. Contoh yang sering terjadi dalam 3 aspek kehidupan ini (berpikir, bertindak dan berkomunikasi). Kalau kita berpikir selalu secara otomatis, berdasarkan apa yang saat itu kita rasakan mungkin hasilnya selalu reaktif tanpa pertimbangan dan bisa jadi tanpa perencanaan. Misalnya pada situasi harus menjawab pertanyaan atau melemparkan pertanyaan, label yang muncul dari pihak lawan bicara kepada kita adalah kita dikenal sebagai orang yang ceplas-ceplos. Kebiasaan yang mungkin dianggap tidak memiliki pengaruh apa-apa ini justru nyatanya akan menjadi karakter seseorang yang akan semakin menebal. Sebut saja Rinta sosok yang terkenal sangat spontan, ekspresif dan menakutkan. Setiap input yang datang padanya, ia akan melawan, tanpa mencerna/reflektif terlebih dahulu. Akhirnya semua orang di sekelilingnya malas bertemu dan berbicara dengannya karena selalu merasa paling benar, paling tahu dan ngotot. Padahal usianya sudah matang tetapi sikap, pemikiran, dan cara bicaranya tidak merefleksikan usia kematangannya.
Saya dulu terkenal dengan orang yang ceplas-ceplos, mungkin sekarang masih ada kebiasaan itu yang terkadang lepas tanpa kendali. Beberapa teman dekat mengatakan saya adalah orang tidak mau dikalahkan. Sosok yang kompetitif. Saya lambat laun menyadari kekurangan itu, saya tentu tidak ingin dilabel sebagai orang yang tidak mau ngalah. Duh, sedih amat yaaa… Perlahan-lahan saya mulai mengendalikan diri saya, tidak terlalu dominan dan lebih banyak mendengar. Itu adalah saya yang memiliki kesadaran untuk merubah tabiat buruk saya. Bagaimana dengan orang-orang di luar sana yang masih terbelenggu atau bahkan tidak memiliki kesadaran akan hal tersebut? Sudalah kita kan tidak dapat merubah mereka semua. Lebih baik kita berfokus pada peningkatan diri agar jadi pribadi yang lebih baik dari waktu ke waktu.
Tentu dengan banyaknya pengetahuan yang kita miliki, akan membuat seseorang memiliki referensi yang beragam, kekayaan informasi yang dimiliki oleh seseorang akan membuat dirinya lebih reflektif dalam membawakan dirinya. Orang-orang yang terlihat cerdas, senang mengumbar pengetahuannya kapanpun dimanapun ia berada, adalah orang-orang yang masuk kategori mereka yang Otomatis. Karena ketika saya refleksikan kembali berdasarkan pengalaman berjumpa dengan orang-orang yang reflektif dengan kekayaan informasi yang mereka miliki, mereka itu tidak sok tahu, tidak menjadi “preacher” dan sangat tahu kapan perlu bertindak, dan berbicara kepada kita.
Mengasah kebiasaan reflektif menurut saya sangatlah penting. Seperti berpikir dulu sebelum bertindak, berpikir dulu ke dalam diri sebelum berkomunikasi adalah latihan terbaik agar seseorang dapat mengaktivasi fungsi otak kiri, otak kanan, dan otak tengahnya. Dengan demikian, dapat menjadi lebih responsif, lebih tenang, kapan tahu harus menekan tombol otomatis untuk hal-hal yang sudah kita ketahui dengan benar, tapi di sisi lain kita tidak reaktif. Sehingga kita menjadi pribadi yang menyenangkan.
Ditulis oleh Erwin Parengkuan