pengaruh kultur budaya Jawa yang dibawa oleh sebagian besar pemimpin negeri ini yang cenderung dilayani bukan melayani, maka hal ini sangat bertolak belakang dengan semboyan pahlawan Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara (tertera di situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), yaitu “Tut Wuri Handayani” (di belakang memberikan dorongan), telah menciptakan budaya nrimo, pasif, atau bahkan pasif-agresif dalam masyarakat kita. “Peninggalan” ini menjamur menjadi budaya yang serba merasa tidak enak bicara secara langsung (asertif), juga kultur Asia zaman dahulu dimana anak-anak tidak memiliki hak bersuara – berbeda dengan anak-anak di dunia barat sana. Tanpa sadar telah memberikan kontribusi besar kenapa sebagian besar masayarakat kita tidak percaya diri dan tidak nyaman ketika berbicara di depan publik.
Seseorang yang insecure akan mengalami banyak kendala ketika berbicara di publik, entah terlalu baper atau terlalu overthinking. Rasa gugup yang berkepanjangan dan emosi dari dalam diri telah mengambil alih dan membuat semua yang disampaikan menjadi berantakan tanpa kendali. Ditambah lagi minat baca yang sangat rendah di Indonesia membuat banyak orang tidak memiliki ragam kekayaan narasi. Dari data Unesco, minat baca masyarakat kita hanya 1 dari 1000 orang, artinya persentase minat baca di Indonesia yang hanya 0.001% telah mengantarkan negara kita pada urutan terendah di dunia dalam literasi. Akibatnya, tidak heran masyarakat kita mudah dikendalikan dan mudah diprovokasi karena tidak memiliki Critical Thinking. Dalam sebuah sesi coaching belum lama ini dengan salah seorang pemimpin daerah, beliau memiliki harapan untuk dapat berbicara di publik dengan fasih tanpa terbata-bata. Saya tanya apakah rutin membaca buku? Jawabannya tentu tidak! Saya berikan beberapa referensi buku untuk di baca, pertemuan 2 minggu selanjutnya, saya tanya sudah ada yang dibaca bukunya? Jawabannya ringan, “Saya belum sempat membeli dan membacanya.” Jadi ini contoh kegagalan fatal seseorang dalam Public Speaking yang sering kita lihat di sosmed atau di berbagai macam acara. Kalau saja seseorang tidak memiliki kosa kata yang kaya dan beragam, bagaimana kita bisa melakukan manuver dan persuasi dalam berkomunikasi, apalagi menaklukkan audiens dengan apa yang ada di “kepala” mereka? Di sisi lain, banyaknya kanal di Youtube memperlihatkan secara langsung perbedaan kontras antara mereka yang mahir dan tidak mahir dalam bertutur. Kebiasaan membaca buku tidak menjadi gaya hidup, sedangkan semua orang bermimpi untuk dapat melakukan Public Speaking yang berbobot dan dapat menyihir Audiens.
Dampak lainnya akibat tidak membaca buku secara rutin, adalah masalah blank yang kerap muncul dan mengakibatkan seseorang mengeluarkan Filler Words. Misalnya, “E…e…, apa itu namanya,” atau “ehmm, dan ehmmm.” Mengapa seseorang sering melakukan hal ini saat berbicara? Ada 3 potensi yang muncul: pertama seseorang tidak percaya diri, kedua seseorang menemui kesulitan dalam menemukan kata yang tepat, entah terlalu banyak sinonim/terlalu sedikit, biasanya yang terjadi karena minimnya perbendaharaan kata, dan yang ketiga adalah masalah kebiasaan yang terus dilakukan. Jadi mari kita obati penyakit ini dengan mengendalikan diri, mengganti “Eeee..eee” dengan jeda/diam yang harus terus dilakukan dalam berkomunikasi sehari-hari. Membaca buku secara rutin akan meningkatkan Verbal Fluency seseorang. Ketika kita melihat seseorang berbicara dengan kata-kata yang terbatas, kitapun sudah dapat menyelami isi kepalanya. Padahal, kata-kata yang mengalir deras layaknya “bahan bakar” untuk seorang Public Speaker. Coba lihat figur-figur dunia seperti Barrack Obama, Martin Luther King Jr, Winston Churchill, Oprah Winfrey, bahkan Malala Yousafzai, mereka begitu fasih dan terbebas dari Filler