Words. Jadi, sesungguhnya banyak sekali contoh inspiratif yang dapat menjadi benchmark/acuan kita untuk tampil menarik di depan publik. Bicara soal bobotpun harus ada takaran yang pas. Pesan yang terlalu banyak tidak dapat diingat oleh Audiens. Seseorang yang tidak memiliki Self-awareness bahkan Mindfulness akan mengalami kesulitan untuk menjadi menarik dan membangun koneksi di depan publik. Membuat yang disampaikannya terlalu banyak, tidak terstruktur, keluar dari konteks, hanya satu arah dll. Yang perlu diingat, bahwa manusia memiliki keterbatasan daya tampung ingatan, bahkan sulit fokus dengan banyaknya distraksi yang datang dari dalam diri atau dari faktor eksternal. Umumnya, kita hanya dapat mengingat tidak lebih dari 3 pesan. Seseorang yang memiliki kesadaran (Self-awareness) akan dapat mengendalikan dirinya di depan publik (Self-control), seseorang yang sadar penuh (Mindfulness) akan hadir 100% (be present) dan dengan mudah dapat membangun relasi dengan audiens serta mengetahui berapa jumlah pesan yang akan disampaikan. Karena paham betul audiens kalau dijejali dengan banyak pesan, tidak ada yang mereka ingat. Gangguan digital (Digital Disruption) membuat daya tampung ingatan (Attention Span) seseorang menjadi semakin menurun. Seorang komunikator hendaknya dapat mengukur durasi waktu yang tepat agar bicara tidak kepanjangan, bertele-tele, dan mengulang-ulang kalimat karena akan sangat membosankan.
Dalam Public Speaking ada 3 area dengan bobot porsi yang berbeda: Opening paling sedikit, Content memiliki bobot terbesar, dan Closing tidak terlalu besar. Keahlian untuk menganalisa siapa audiens kita melalui Mapping dan Profiling menjadi esensial karena hal ini akan jadi penentu pertama yang harus dilakukan oleh setiap orang untuk melakukan riset yang mendalam. Setelah itu mutlak melakukan persiapan dengan menyusun kata-kata yang akan diucapkan dengan mengikuti kaidah 3T (terarah, terstruktur dan tuntas). Hindari penggunaan kata-kata yang ambigu seperti contoh-contoh berikut ini: “Beberapa hal berikut ini akan kami sampaikan,” Nah, ada berapa? dua? tiga? duapuluh? atau ”Itu yang tadi kami maksud!” itu yang mana? Penggunaan kata “Mungkin,” “Kayaknya,” “Kalau tidak salah,” “Kurang lebih…”, dsb akan membuat audiens kebingungan. Belum lagi penempatan kata; “Kita vs Kami,” “Aku vs Saya,” atau kata-kata “Kalian” untuk diberikan kepada audiens yang lebih tua. Seseorang dengan tujuan memberikan pengaruh dalam konteks Public Speaking akan tetapi menutupnya dengan kata-kata; “Mudah-mudahan yang tadi saya sampaikan bermanfaat!” Atau beberapa pemimpin pada saat melakukan presentasi menutupnya dengan pantun, yang akhirnya menjadi anti klimaks. Pantun umumnya digunakan untuk mencairkan suasana hendaknya dilakukan di awal, bukan di akhir karena akan mengaburkan tujuan komunikasi dan yang akan diingat oleh Audiens hanya kata; “Cakep dan cakep.” Beberapa contoh di atas menunjukkan betapa tidak kritisnya seseorang dalam melakukan Public Speaking. Kejelasan atau clarity menjadi penting untuk dapat memindahkan apa yang ada di “Kepala” kita ke “Kepala” Audiens.
Berbicara di depan publik tidak serta merta berbicara di puluhan atau ratusan orang. Public Speaking intinya adalah teknik berbicara kepada siapapun, baik itu di meeting, pesta kecil, ulang tahun anak, sampai seminar/simposium. Teknik komunikasi yang harus dipahami tentang Public Speaking adalah komunikasi yang dibangun tidak satu arah melainkan ada timbal balik/interaksi. Sejatinya komunikasi yang menjadi core berbicara di depan publik adalah sebuah