seni yang memerlukan kelihaian dari penggabungan “Buah” pikiran seseorang terhadap apa yang diyakininya, termasuk; Value, Goal, Connection, Visual Imagery, dan disampaikan dengan percaya diri dengan kata-kata yang menggugah emosi melalui sudut pandang (Perspective) dan dapat memberikan informasi baru, klarifikasi, inspirasi, serta motivasi. Dari dekade demi dekade Public Speaking akan menyesuaikan sesuai tuntutan zaman, walaupun tujuannya tetap sama yaitu untuk memberikan pengaruh. Public Speaking bila disampaikan dengan cara retorika seperti layaknya Presiden pertama kita, John F. Kennedy, Nelson Mandela, dll tentu sudah tidak akan releven di dunia modern saat ini.

Mari kita pisahkan 2 kata: Public dan Speaking, Public yang artinya kita harus tahu betul siapa Audiens yang ingin kita ajak berbicara (Mapping dan Profiling). Berbicara dengan cendikiawan, profesional, ibu-ibu PKK, bahkan masyarakat di pedalaman Papua tentu akan berbeda teknik dan bahasa yang akan kita pilih. Speaking seperti yang sudah disampaikan bahwa ini adalah seni yang menggabungan 3 unsur penting dalam memberikan dampak dengan mengintegrasikan: Pikiran, Perasaan, dan Tubuh, untuk menjadi satu dan selaras. Jadi ketika seseorang ingin melakukan Public Speaking yang sukses dan berdampak dituntut untuk 100% fokus dan mempersiapkan dirinya dengan mental yang tangguh (percaya diri). Belum lagi audiens yang berbeda beda, juga harus disesuaikan dengan cara berpenampilan yang tepat. Istilah lama yang sering didengar yakni; “Don’t judge a book by its cover!” Menurut saya, terutama di zaman yang serba digital ini sudah kurang relevan untuk menerapkan istilah tersebut. Ketika seorang pembicara tampil dengan penampilan yang kuno dengan audiens yang usianya jauh lebih muda tentu mereka akan melihatnya sebagai figur yang kolot dan kaku. Dunia modern yang penuh warna saat ini, semuanya begitu Eye Candy, sehingga istilah kuno ini telah bergesar menjadi; “We do judge a book by its cover.” Contoh menarik yang saya temui ketika melakukan sesi coaching dengan seorang pemimpin yang diundang menjadi pembicara di kampus kepada mahasiswa semester awal, ia bercerita tentang kegagalannya dalam membangun relasi karena menggunakan jas rapi dan dasi. Para mahasiswa langsung berpandangan berbeda dan tidak tertarik. Ini baru urusan penampilan yang harus kita sesuaikan. Contoh, kalau dulu sepatu Oxford (Fantovel) sangat tepat di era 80-90an, tetapi tidak untuk zaman sekarang dimana semua orang sudah menggunakan sneakers termasuk para pemimpin dunia. Belum lagi soal intonasi suara dan bahasa tubuh yang harus diterima oleh Audiens. Dunia yang berkembang sangat cepat dan semua info tersebar disemua digital platform telah merubah dunia kita sekarang terhadap kemampuan seseorang dalam membawakan dirinya di publik. Kenapa demikian? Karena warganet saat ini sudah melihat ribuan contoh menarik seseorang melakukan Public Speaking, sehingga mereka memiliki perbandingan/ekpektasi dengan apa yang mereka lihat dari seseorang ketika tampil berbicara. Hal ini sangat berbeda ketika kita hidup sebelum era digitalisasi masuk (2004), dimana figur-figur yang berbicara menarik tidak terlihat oleh publik pada umumnya. Contoh berikutnya dari pengaruh besar dunia digital adalah soal bergesernya durasi dalam First Impression. Dulu, kesan pertama terjadi dalam 20 menit, setelah Generasi Digital lahir (Millenial) menjadi 8 detik. Sekarang begitu Generasi Z memenuhi dunia ini, kesan pertama terjadi begitu singkat hanya dalam hitungan 3 detik pertama. Bisa dibayangan bila seseorang ingin tampil bicara tanpa mempertimbangkan semua aspek di atas?