Oleh Erwin Parengkuan
Coba perhatikan baik-baik setiap orang yang berbicara kepada kita. Amati Bahasa tubuh, terutama ekspresi wajah mereka. Mulai dari mata dan bergeraknya bibir. Seperti kita tahu, mata adalah pancaran jiwa yang sangat dekat alirannya dengan apa yang dipikirkan seseorang dan apa yang mereka rasakan dari hatinya. Ketika kita sudah tidak lagi memiliki sebuah ketakutan dalam berkomunikasi, tentu kita akan mempunyai perhatian yang penuh kepada mereka yang sedang melakukan interaksi kepada kita. Bayangkan hubungan yang begitu erat antara seseorang yang sedang berbicara (komunikator) dengan yang sedang mendengarkan (komunikan). Bila kita luput memperhatikan rambu-rambu yang terpancar dari mata dan gerakan bibir, juga tekanan suara, tentu akan banyak potensi kegagalan dalam membaca apa yang mereka sesungguhnya ingin ucapkan dan rasakan.
Kemarin, seorang kawan memberikan video di WA group, terhadap anak-anak yang sedang bermain games di kamar salah satu teman kami. Ketiga anak ini berusia 15 tahun, mereka adalah sahabat karib seperti kami para orang tuanya. Video dimulai dari pintu yang dibuka oleh teman kami, seorang ibu yang bertanya mereka sedang apa, dll. Begitu video itu dilihat oleh beberapa kawan kami, beberapa dari orang tua mereka mengatakan “kok anak-anak itu mukanya jutek?”. Tarikan bibir mereka yang menjawab sekedarnya sangat klop dengan tatapan mata mereka. Walau kata-kata yang mereka ucapkan sangat normatif “kami dengan main games!”
Contoh diatas menunjukkan betapa pentingnya sebuah perhatian penuh kepada lawan bicara kita. Sayangnya, dunia yang makin tidak menyenangkan ini membuat kita kerap kali lalai memperhatikan signal-signal yang terpancar dari wajah lawan bicara, apalagi mencerna tekanan suara mereka. Bahwa ekspresi wajah juga bahasa tubuh adalah sebuah komunikasi yang sangat jujur yang diberikan kepada seseorang termasuk kita diminta untuk cermat mencerna tekan suara seseorang apakah datar, rendah, antusias atau penuh tekanan tinggi tanda emosi yang tidak stabil saat itu.
Dalam setiap kesempatan berbagi di kelas, saya melihat, kondisi ini makin jelas tergambar. Seseorang yang pusing karena tekanan hidup dan ribetnya urusan kantor, belum lagi yang sudah menikah mempunyai segudang masalah dan tantangan yang datang tanpa henti. Beberapa cara terbaik yang dapat kita lakukan untuk dapat menangkap semua signal-signal tersebut, selain kita harus fokus, kita juga harus mengatakan kepada diri kita bahwa saatnya saya berkonsentrasi menangkap semua ekspresi wajah berikut tekanan suaranya. Karena kalau kata-kata bisa menjadi sangat manipulatif. Misalnya ketika kita bertandang ke rumah kawan pada saat jam makan siang, dan tuan rumah nenawarkan ajakan makan siang, tapi karena kita sungkan, kata-kata yang akan kita ucapkan tentu berbeda dengan isi hati dan pikiran kita yang sedang lapar.
Hal yang sama juga ketika kita sedang menelpon seseorang, dimana kita tidak dapat melihat ekspresi wajah mereka, apa yang anda tangkap dari tekanan suara di seberang sana? Intonasi suara yang senang? datar? atau terengah-engah?
Setiap komunikasi yang kita lakukan tidak luput dari semua aspek yang barusan saya utarakan kepada anda. Berpihaklah kepada pengamatan yang jeli kepada semua orang di depan anda, 100% agar semua yang mereka sampaikan melalui ekspresi wajah, tatapan mata tertarik, takut, menjauh dengan juga menganalisa tekanan suara, akan memberikan gambaran yang jelas tentang suasana hati dan pikiran seseorang, sehingga hasilnya andapun akan semakin taktis untuk lihai dan menilai apakah komunikasi yang anda lakukan harus diteruskan, hentikan, atau segera mengganti topik yang berbeda.