by admin | Dec 18, 2025 | Leadership
Oleh Erwin Parengkuan
Sangat sedih dan kecewa melihat apa yang terjadi terhadap kualitas pemimpin di negara kita saat ini. Bagaimana mereka menanggapi dan berkomunikasi ketika bencana banjir yang menimpa masyarakat yang ada di Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara dengan jumlah korban lebih dari 1.000 jiwa belum lagi mereka yang dinyatakan hilang. Cuplikan demi cuplikan baik itu pidato atau wawancara mereka di televisi maupun di media sosial telah melukai perasaan kita dan sungguh malu melihat betapa dangkalnya cara berpikir seorang pemimpin dalam merespon bencana besar ini. Barusan sebuah cuplikan dari seorang Menteri yang datang ke lokasi bencana dengan mengendong beras dalam wawancaranya ia bercerita telah disapa oleh masyarakat ketika sedang olah raga di car free day “Bapak, kok tidak gendong beras lagi? Mana berasnya?” Beliau dengan bangganya menceritakan tentang pengalaman tersebut tanpa merasa ada yang salah dengan pertanyaan para warga.
Terlalu banyak ucapan maupun tindakan para pemimpin yang membuat kita geleng-gelang kepala termasuk cara berpikir mereka yang jauh dari nalar. Entah memang tidak kritis/peka atau memang NPD (narcistic personality disorder). Mulai dari seorang Bupati bersama keluarganya yang tetap menunaikan ibadah ke tanah suci ketika bencana datang yang telah meluluhlantakkan desa para warganya, belum lagi seorang Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana secara terang-terangan mengatakan bahwa bencana yang terjadi tidak semencekam yang terlihat di media sosial, juga ketika seorang Gubernur berucap bahwa daerahnya di Kalimantan Timur yang sudah jelas-jelas kehilangan 3.1 juta hektar akibat diforestasi tetap memiliki cadangan hutan yang luas, atau seorang wakil rakyat yang datang ke lokasi bencana dengan rompi berikut tertera nama dan partainya, dan masih banyak contoh-contoh lainnya yang membuat kita menarik nafas panjang dan tidak tahu harus berkata apa lagi.
Sejatinya seorang pemimpin mutlak memiliki empati, kecerdasan emosi, kecerdasan dalam berpikir kritis, cara berkomunikasi yang baik dan tetap menginjak bumi agar mudah dijangkau oleh masyarakat. Seorang pemimpin harus menjadi terang dan dapat memberikan inspirasi serta motivasi kepada masyarakat. Seperti dalam dunia pendidikan Indonesia, yang telah dirumuskan oleh tokoh pergerakan kemerdekaan kita, Ki Hadjar Dewantara yang juga merupakan Bapak Pendidikan Nasional dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam pedomannya meliputi 3 semboyan:
Ing Ngarso Sung Tulodo: Seorang guru/pemimpin harus dapat menjadi contoh yang baik
Ing Madyo Mangun Karso: Seorang pemimpin harus dapat membangkitkan niat dan motivasi
Tut Wuri Handayani: Seorang pendidik harus mengikuti dari belakang dan memberikan pengaruh yang baik agar murid menjadi mandiri
3 pedoman ini sekarang sangat jauh dari wajah para pemimpin kita, baik di pemerintahan maupun para politikus dan tidak heran jika saat ini negara kita semakin terbelakang, sedangkan dunia barat yang terkenal sangat majupun telah menggadang-gadang istilah tentang seorang kualitas seorang pemimpin hendaknya “leading from behind” atau seperti yang diucapkan oleh Ki Handjar Dewantara. Sayangnya tidak semua pemimpin menjalankan 3 fondasi penting ini dalam menjalankan perannya. Kitapun melihat begitu banyak perilaku yang berseberangan terjadi dalam interaksi sehari-hari. Padahal semua orang bisa bertumbuh dan memilih untuk bertumbuh. Bayangkan bila semua orang dunia ini sama-sama berkompetisi secara positif tentu akan menciptakan dunia yang nyaman untuk dihuni. Sehingga kita tidak perlu terus berharap kepada pemerintahan yang sekarang untuk berubah, nanti kita akan makin marah dan kecewa. Jadi berfokuslah kedalam diri agar mandiri dan berdaya yang menurut saya merupakan tindakan yang paling bijaksana dan tepat. Mari kita sama-sama belajar untuk tidak berharap serta mengatur ekspektasi agar tidak mudah dikecewakan. Kemandirian yang perlu kita tanamankan dalam diri sendiri akan menciptakan sebuah ketenangan daripada berharap dari luar yang nota bene tidak dapat kita kendalikan.
Semua orang adalah pemimpin untuk dirinya, terlepas dari apa yang terjadi di negara kita, bila kita tetap stay positive and relevant, niscaya akan banyak orang-orang yang sefrekuensi akan hadir dalam hidup kita yang akan menghasilkan sinergi besar terhadap sebuah perubahan mulai dari yang terkecil sampai terbesar. Buat kita semua saat ini, mulailah mempraktikkan 3 pedoman diatas yang sudah diwariskan. Sejatinya berkompetisi dengan diri sendiri merupakan hal yang menyenangkan karena kita sendiri yang akan mendapatkan manfaatnya dan akan terjadi peningkatan kapasitas diri seperti yang disampaikan oleh bapak psikologi Amerika Abraham Maslow tentang teorinya The Hierarchy of Needs.
by admin | Nov 26, 2025 | Self Development
Oleh Erwin Parengkuan
Pada tahun 1943 dua tahun sebelum Indonesia merdeka, seorang bapak psikologi dunia bernama Abraham Maslow lewat jurnal yang ia tulis “A Theory of Human Motivation” menuliskan tentang 5 kebutuhan manusia mulai dari yang paling bawah tentang kebutuhan yang berhubungan dengan fisik manusia; makanan, udara, tidur, dll sampai pada level teratas yaitu yang saya tulis dalam judul utama ini. Tdak heran bagaimana kala itu bangsa di Amerika menjadi negara adi kuasa yang kemudian beberapa tahun kebelakang sudah di susul oleh RRC.
Kalau kita perhatikan, setidaknya dari pengamatan saya banyak sekali orang-orang yang hidup dan karirnya berjalan ditempat dan tidak sampai seperti yang diutarakan oleh Maslow. Mengapa bisa demikian? Kendati dari kita lahir sampai beranjak dewasa, kita terus belajar dan belajar? Dulu ketika saya kecil, hidup sangat menyenangkan dan bebas bermain. Ketika mulai masuk bangku sekolah banyak pelajaran yang harus dihafalkan, belum lagi guru-guru yang galak dan tidak menarik cara mengajarnya serta kurang memotivasi. Akan tetapi kita bisa menyesuaikan dengan tuntutan tersebut bahkan banyak teman-teman juga mendapatkan nilai diatas rata-rata. Tapi yang saya amati kemudian, ketika kita sudah dewasa, mulai meniti karir, berkeluarga dll rupanya hidup tidak semenyenangkan ketika kita masih kecil. Tidak heran banyak orang lantai menjadi frustasi, tidak berkembang bahkan mundur.
Padahal semua orang memiliki kesempatan yang sama dengan modal mau terus belajar dan memiliki ketahanan metal baja yang rupanya tidak semua orang mau melakukan dan membayar harganya. Mereka-mereka yang berada di level tertinggipun ketika saya tanya di kelas apakah untuk sampai di level ini merupakan hal yang mereka bayangkan? Ternyata semua dari mereka mengatakan tidak!
Rupanya ada hal kecil yang berbeda yang dilakukan oleh mereka-mereka yang telah sukses mencapai self-actualization entah dalam karir, ataupun kehidupan yang berkelimpahan yaitu mencintai proses dengan langkah-langkah kecil. Saya jadi ingat ketika masih rajin weight training di gym dimana pelatih saya setiap beberapa minggu menambahkan beban lebih pada barbel saya. Awalnya tidak kuat, tapi ketika dipaksa dan dilakukan secara rutin, beban yang tadinya sangat berat menjadi ringan. Baik otak dan tubuh kita memiliki muscle yang kalau dirangsang akan terbentuk. Prinsip sederhana ini yang dilakukan oleh mereka-mereka yang telah berhasil mencapai best life. Jadi kitapun dapat meniru cara mudah ini dengan kedisiplinan. Niscaya akan sampai juga ke tujuan asal konsisten. Satu lagi, rupanya untuk bertumbuh kitapun wajib menukarnya dengan penderitaan. Menderita karena otot saya dipaksa yang akhirnya terbentuk juga. Menderita harus bangun lebih pagi agar olah raga rutin, menderita harus fokus mengerjakan banyaknya tugas sementara orang lain bersenang-senang merupakan sebuah pilihan.
Jadi rupanya kenapa tidak semua orang sampai ke puncak kesuksesan karena mereka malas, tidak mau menderita sehingga tidak ada pertumbuhan yang baik. Air jeruk untuk dapat kita nikmatipun harus diperas, wine yang diminumpun harus diremas/injak untuk menghasilan kualitas yang baik. Jadi hendaknya kita semua untuk mulai berpikir dengan kekuatan pikiran agar mau disiplin mencintai proses serta rela menderita karena kesuksesan adalah milik setiap orang bukan hanya segelintir orang saja.
by admin | Oct 28, 2025 | Self Development
Oleh Erwin Parengkuan
Dalam setiap sesi mengajar di kelas entah kami bicara tentang komunikasi, meningkatkan rasa percaya diri, jurus mahir presentasi dll selalu tidak bisa dilepaskan dari subjek yang malakukannya yaitu kita; manusia. Kita adalah pemeran utama dalam menjalankan kehidupan ini. Dalam 24 jam waktu yang kita miliki, kita memiliki kuasa penuh dalam memaknainya, meregulasikannya dan menindaklanjuti semua hal-hal yang kita akan kerjakan. Beberapa waktu ketika kita memiliki perhatian khusus kepada mereka-mereka yang super sibuk tapi bisa efektif memaksimalkan waktunya akan membuat kita bertanya-tanya “apa yang telah ia lakukan dengan waktunya sehingga semua yang dikerjakan bisa tercapai dan berdaya?”
Dalam sebuah sesi dengan para leader dari sebuah perusahaan pionir properti beberapa waktu yang lalu, ada satu kesempatan dimana saya membahas tentang hukum tarik-menarik ini. Istilah kerennya muncul ketika seorang penulis buku dari Australia bernama Rhonda Byrne pada tahun 2006 membuat “The Secret” berikut video yang dibundling dengan buku tersebut yang sangat laku dipasaran. Salah satu leader bertanya kepada saya tentang manifestasi. “Kenapa seseorang melalui keyakinan dalam dirinya, bisa mewujudkan apa yang ia inginkan?” demikian kira-kira pertanyaannya. Wah, sebuah pertanyaan menggelitik yang belum pernah saya dapatkan dalam kelas.
Sejatinya, setiap dari kita memang dapat mewujudkan dan melakukan apapun yang diinginkan di dunia ini, akan tetapi perlu disadari bahwa kita adalah manusia yang kompleks dengan segala macam spektrum kepribadian, perilaku bahkan cara seseorang mengomunikasikan sebuah pesan. Akarnya adalah kita yang harus dapat mengetahui diri kita dengan baik dan dapat menavigasinya, menjalankan yang diinginkan, bahkan melakukan pivot ketika kondisi tidak sesuai dengan harapan kita sebelum “bencana” besar datang. Saya mengatakan kepada leader tersebut untuk perlahan-lahan membuang perasaan negatif yang tersimpan dalam diri. Kenapa demikian?karena hukum tarik menarik akan menarik apapun yang ada dalam diri kita.Ketika perasaan kita terganggu tentu energi yang dilkeluarkan juga berbeda, lain halnya ketika kita bersemangat tentu akan membuat banyak orang yang kita jumpai terbawa rasa antusiasme yang kita pancarkan. “Kalau kamu “overthinking” (rupanya sang leader adalah tipe orang yang seperti ini) maka team yang kamu pimpinpun akan menjadi serba takut dalam menghasilkan inovasi baru!” ujar saya. Kitapun tahu, sebuah inovasi akan muncul ketika seseorang memiliki positive mental attitude.
Nah, kompleksitas yang ada dalam diri kita sebagai manusia yang hidup di era serba sinting ini menuntut kecakapan seseorang dalam memilah-milih “konsumsi” yang ingin ia masukkan dalam pikiran, perasaan serta tubuhnya. Ketika yang dimasukkan hanya yang baik, maka akan menghasilkan yang sama, juga berlaku sebaliknya. Hukum tarik menarik (the law of attraction) sudah ditemukan dari zaman Romawi yang kembali dipopulerkan oleh Byrne menjadi reminder buat siapapun kita. Maka buat sang leader tersebut saya mempertajamnya untuk tidak over thinking. Saya mengamati aura wajahnyapun yang terlihat suram tidak memancarkan energi yang positif. Saya menganjurkannya untuk mulai melakukan meditasi dan rutin olah raga. Rupanya kedua hal inipun sudah lama tidak ia lakukan, karena beban pekerjaan yang sangat mengganggu pikirannya lantasan tuntutan dan kompetisi yang semakin menantang dalam persaingan bisnis property.
Semua berasal dari diri kita dan semua juga kita yang harus mengaturnya kembali. Karena siapapun dari kita, memiliki otoritas yang penuh dalam memilih hal yang kita suka dan tidak suka. Sehingga ketika kesadaran ini ada maka setiap orangpun dapat menjadi lebih sukses dan bahagia sesuai yang mereka inginkan dan akan termanisfestasikan sesuai yang diharapkan.
by admin | Sep 28, 2025 | Professional Life
Oleh Erwin Parengkuan
Kemarin saya bertemu kawan lama dan membahas tentang topik ini secara casual. Teman saya adalah seorang pemimpin di sebuah portal online di Indonesia dia bilang ; “Kenapa ya Win, makin kesini makin banyak orang yang fake?” Wah, ini pembicaraan menarik sekali dalam hati saya. Kami sama-sama bertemu dengan orang baru setiap hari, berganti-ganti. Dan kami sepakat dalam pembicaraan itu jarang sekali menemui pribadi-pribadi yang” apa adanya” Entah mereka masih malu-malu, tidak memiliki kepercayaan diri, takut akan penilaian orang lain, atau dibungkus dengan jabatan yang tinggi harus berpura-pura dalam berinteraksi dan membangun relasi dengan orang yang dijumpainya.
Saat ini saya kebetulan sedang menulis buku tentang Personal Branding 2.0. Dulu, 11 tahun yang lalu, ketika buku dengan judul yang sama saya tulis, ada salah satu komponen penting didalamnya yaitu authenticity/otentik. Tetapi sekarang pemahaman publik tentang personal branding menjadi salah diartikan, yaitu pencitraan, yang banyak dilakukan oleh para pesohor, influencer, bahkan pejabat di negeri ini. Sedangkan kalau kita tela’ah lebih dalam, makna personal branding adalah menampilkan apa yang ada di dalam diri kita.
Begitu banyaknya tantangan pekerjaan, hidup dan dunia modern saat ini, termasuk apa yang kita konsumsi sehari-hari di media sosial adalah bentuk perwujudan bagaimana seseorang menampilkan dirinya dan menilai dirinya. Tetapi kalau yang ditampilkan hanya kulit luarnya saja maka sudah dapat dipastikan hal ini bukan mengacu kepada otentitas seseorang. Memang, sangat manusiawi tidak ada satupun dari kita yang ingin terlihat jelek, sehingga berpotensi seseorang untuk tidak menjadi apa adanya, dan lama-kelamaan kebiasaan ini akan berubah menjadi karakter/identitas seseorang. Padahal, menjadi orang-orang yang fake itu sangat melelahkan loh. Dan sejatinya siapapun kita memiliki keunikan yang harus ditampikan.
Mari kita bahas bagaimana seorang dapat menjadi otentik melalui penjelasan saya. Pertama jujurlah pada dirimu, tentang apa yang kamu miliki, yang berhubungan dengan kekuatan untuk menjadi modalitas seseorang menjadi PD, setelah itu, terbukalah dengan melihat kekurangan diri. Kitapun tahu, bahwa tidak ada manusia di dunia ini yang sempurna, maka terimalah dirimu apa adanya dan galilah potensimu agar lama kelamaan kekurangan diri kita menjadi berkurang. Berikutnya, miliki keberanian diri dan rasa penasaran yang tinggi untuk meningkatkan kapasitas diri dengan selalu melakukan self-exploration yang memerlukan usaha yang gigih dan dijalankan secara konsisten. Jadi dimanapun kita berada kita akan tetap menampilkan diri kita seutuhnya dengan mengetahui apa yang menjadi kekuatan kita.
Saat ini yang terjadi dengan kata pencitraan adalah seseorang melakukan kamuflase diri, entah dalam keseharian mereka, maupun di media sosial. Satu lagi yang terpenting menurut saya untuk membuat kita tetap menjadi otentik, yaitu dengan memiliki mindfulness tentang keberadaan diri kita, peran yang kita jalankan dan dapat menempatkan diri yang tepat dalam situasi yang berbeda-beda di hidup ini.
Ketika semua yang saya paparkan dijalankan dengan sungguh-sungguh, niscaya kita akan dekat dengan diri kita, tidak hanya menjadi otentik tapi mengenal betul, potensi-potensi apa lagi dalam diri kita yang perlu kita kembangkan. Sebenarnya masih banyak lagi elemen-elemen tambahan dalam menjadi otentik, jadi tunggu buku baru saya yang akan terbit tahun ini ya. Pasti akan kami informasikan selanjutnya. Be authentic, be real!
by admin | Sep 20, 2025 | Self Development
Oleh Erwin Parengkuan
“Seberapa cepat first impression akan tercipta kita kita melihat seseorang?” Pertanyaan ini selalu saya tanyakan di kelas ketika memulai materi tentang diri, entah itu Boosting Confidence, Personal Branding, Public Speaking dan Presentation Skills. Beragam jawaban saya dapatkan; 5 menit, 2 menit, 3 detik, jawaban terlontar ,mewakili beragam usia peserta. Makin senior mereka, biasanya mengatakan memerlukan waktu yang lebih lama, diatas 1 menit, akan tetapi buat generasi Z atau bahkan millennials mereka akan meyebutkan dalam hitungan detik.
Dalam sebuah tontonan rutin saya di Masterclass, platform berbayar yang menghadirkan para jagoan internasional di industrinya masing-masing, seorang seniman mengatakan seperti ini: “Perlu berapa waktu kita memutuskan mau dengar sebuah lagu, atau keputusan untuk menonton sebuah film, misalnya di Netflix?” Semua terjadi dibawah 8 detik, begitu cepat, demikian halnya dengan first impression. Banyak peserta yang senior akan terkaget-kaget dengan analisa ini, tetapi sangat masuk akal ketika kita bertemu dengan seseorang, dalam waktu hitungan detikpun kita akan menilai seperti apa orang tersebut menampilkan dirinya. Di waktu yang bersamaan, merekapun akan menilai kita juga.<>/p
Kesadaran seseorang untuk fokus dalam membangun impresinya menjadi sangat penting, itu yang terkadang dilupakan banyak orang ketika mereka hanya fokus terhadap tujuan dan bobot materi yang akan disampaikan. Sebuah impresi sangat berdampak dengan ingatan yang akan menempel didiri seseorang. Kita tentu mudah mengingat perasaan apa yang muncul ketika kita pertama kali menerima gaji? pertama kali bergandengan tangan dengan seseorang yang kita sukai, dan intimasi lainnya yang tercipta dari hubungan itu? Atau pertama kali kita gagal dalam sebuah presentasi!
Impresi yang timbul memang selalu dekat dengan perasaan manusia, senang, sedih, kecewa, marah, bahagia dll adalah momen-momen yang selalu kita lewati dalam hidup ini. Untuk seseorang dapat sukses berkomunikasi apalagi bertujuan untuk menaklukan audiens tentu kita harus memikirkan kesan pertama seperti apa yang akan kita tampilkan. Kesan pertama juga akan membuat seseorang akan dikenal atau diabaikan oleh audiensnya ketika mereka gagal membangun raport ini. Walaupun ada kalanya sebuah presentasi diawal yang gagal, bisa menjadi menarik perhatian pada bagian body content, tetapi hal ini sangat jarang terjadi. Seperti menentukan musik yang akan kita dengar, kalau ritme awalnya saja kita sudah tidak tertarik, kita tidak memiliki niat untuk terus mendengarkannya.
Strategi utama dalam membangun kesan pertama adalah sebuah perencanaan yang jelas akan kesan apa yang ingin kita bangun dan tampilkan. Kesan yang sudah jelas ini akan menjadi acuan dalam membangun relasi dan memberikan pengaruh. Ada kalanya sebagai manusia, emosi yang naik turun menjadi tantangan tersendiri. Untuk itu, taklukan dirimu, bentuk kesadaran yang tinggi ketika ingin tampil, buang semua pikiran negatif yang menghantui kita. Jadi sepenting itu sebuah perencanaan dalam membangun first impression yang ingin saya garisbawahi. Jangan sampai kita lalai hanya fokus kepada bobot tetapi melupakan gestur, intonasi suara, atau cara kita berpenampilan yang menjadi bagian utama dari lahirnya sebuah kesan. Oh ya, satu lagi yang penting, semua kesan yang kita tampilkan, mutlak 100% otentik bukan dibuat-buat ya.