Oleh Erwin Parengkuan

Founder, CEO of TALKINC, Writer, Certified Prof

“Ini kalau tidak diurusin bisa gawat sih mereka, lepas tanpa bimbingan, 70% pekerja kita isinya mereka semua!”
“Kami tuh banyak tahu, semua hal! saking banyaknya tahu kami sering bingung sendiri, mau mulai dari mana? Terlalu banyak pilihan!”
“Mas, saya perlu healing, boleh yaa?”

Tentu anda bisa tebak, 3 ucapan di atas siapa yang bicara dan kepada siapa? Sedihnya, kita terlalu banyak menuntut ke mereka, lupa kalau ngomong harus satu pesan dulu, tanya mereka kenapa itu penting, baru lanjutkan lagi diskusi itu, dst. Bukan membombardir mereka dengan pesan yang bertubi-tubi dan membuat mereka kabur dan minta langsung healing.

Saya sangat sering berjumpa mereka di kelas, berbagi jurus jitu cara komunikasi yang tepat dan ngobrol sama mereka. Bilangin mereka kenapa ini dan kenapa itu penting buat dilakukan dalam meningkatkan karir dan tentu untuk memiliki kemampuan berkomunikasi yang lebih mudah diterima lawan bicara, apalagi dengan yang lebih senior yang masih arogan dan (makin) mudah baper.

Pernah dalam sebuah sesi dengan mereka, para zillenial yang jumlahnya 24 orang, para management trainee yang terpilih untuk menjadi penerus perusahaan besar itu. Saya melontarkan pertanyaan terbuka untuk menerima tantangan mencocokkan penjelasan dari 4 terminologi yang sudah saya tulis di flipchart. Anak ini bergegas menyambut tantangan saya, sampai di depan kelas, dia lantas menggaruk-garuk kepalanya, dan bilang ke saya “Aduh saya lupa pak ini yang mana aja ya?” saya bilang “Loh saya kan tidak memintamu, kamu sendiri yang berinisiatif untuk maju ke depan, coba ingat-ingat apa yang tadi sudah ada dibenakmu?” ujar saya santai. Saya kemudian membalikkan pertanyaannya “Nah, kalau kamu mau tahu tidak pagi ini saya bangun jam berapa?” Dengan cepat ia menjawab “Enggak nanya!” Aduhhhhh!!!!!

Contoh yang sering terjadi, gesekan makin nyaring bunyinya. Wahai para senior dan orang tua, mari kita belajar pahami dunia mereka yang sangat berbeda dengan kita. Mereka sangat mudah rentan, bicara tanpa dipikir, pendek-pendek pula, tata bahasa yang salah macam anak Jaksel dll. Mereka mutlak kita bimbing, kita yang memang harus lebih bersabar untuk menuntun mereka. Dengan contoh tadi, memang kalau saya pikirkan lagi, bisa jadi anak ini memang tidak bermaksud berlaku seperti ini kepada saya yang notabene lebih tua seperti umur orang tua mereka dan facilitator di kelas. Sudah jelas anak ini hilang dari bimbingan dan tenggelam dengan derasnya timeline dan cepatnya internet connection.

Lantas apa yang harus kita lakukan agar dapat menjembatani jurang jauh ini agar semakin dekat? Saya punya 4 jurus yang dapat membantu anda wahai para pemimpin:

1.Speak with respect

Sadari bahwa tanpa mereka organisasi tidak akan terus berjalan dan berkesinambungan. Untuk itu kita perlu menurunkan ego, sing sabar sing ikhlas untuk bicara dengan mereka. Walaupun dalam konteks organisasi kita merasa semua orang harus dapat berbicara secara dewasa, tetapi alangkah baiknya kalau berinteraksi dan berkomunikasi dengan mereka, ‘kacamata’ kita mutlak dirubah yaitu sebagai kakak mereka bukan sebagai bos otoriter. Kita harus menyelami dunia mereka, menghargai apapun pendapat mereka. Dalam setiap sesi dengan mereka ada baiknya, emosi kita harus tetap netral dan bangkitkan minat penasaran ingin tahu apa yang ada dalam mindset mereka. Ingat semua masalah timbul karena kesalahan dalam membangun relasi dan berinteraksi.

2.Mingle with them

Beruntungnya para generasi X seperti saya yang masih baca koran dan aktif di media sosial sehingga lebih lentur untuk paham apa yang terjadi pada dunia digital saat ini. Kita harus mengerahkan effort untuk dapat nyambung dengan mereka, tidak mengunci akun instagram, pakai sneakers bukan oxford shoes, ikutan juga sesekali posting di insta story, nongkrong bareng dengan mereka. Seperti yang sering saya lakukan dengan anak-anak kantor yang semua millennials dan zillenials. Saya menempatkan diri bukan sebagai atasan, tetapi sebagai bapak mereka. Bila kami ingin hang-out, saya meminta mereka untuk menentukan tempat nongkrong yang asik dan tentu instagramable. Banyak sekali organisasi besar di seluruh dunia sekarang sudah tidak memberlakukan jam kantor, membuka sekat-sekat kantor menjadi co-working place, membuat “playground” bagi mereka di kantor, seperti menyediakan bean-bag untuk mereka istirahat,dll. Harus selalu ingat bahwa motto mereka “you only live once, working and pleasure at the same time.”

3.Building Raport and Finding Similarities

Effort berikutnya adalah membangun kanal-kanal pribadi dengan setiap orang di kantor, terutama mereka yang akan menjadi the next future leader, cari tahu sisi pribadi mereka, keluarganya, pacarnya dll dan temukan kesamaan yang akan membuat hubungan menjadi meaningful. Jadilah seorang mentor buat mereka, itu mutlak! Luangkan waktu khusus secara berkala dengan mereka, memonitor progress mereka.

4.Mutual respect for building a culture of trust

Sebagai leader tentu kita harus terus bertumbuh dan akhirnya menjadi role model mereka, jangan buat mereka takut karena jabatan kita. Pemimpin harus walk the talk, bukan cuma ngomong doang apalagi hanya memerintah. Seorang leader yang terpercaya adalah yang memiliki sifat hangat, menyenangkan dan memiliki keahlian serta wawasan luas dan dapat memberikan solusi terbaik. Sehingga mereka menghargai kita dan nyaman dengan kita.

4. jurus Ini 100% akan membuat produktifitas usaha semakin meningkat, tidak hanya untuk setiap pribadi didalamnya tapi tentu organisasi akan terus bertumbuh sesuai dengan tuntutan zaman, sejalan dengan core values, corporate culture and most importantly everybody happy!