by admin | May 25, 2021 | Information, News
Oleh Erwin Parengkuan
Pengalaman bertemu banyak individu yang sukses akan menambah
“jam terbang” kita agar lebih berpengetahuan lagi yang tentunya akan membuat
kita lebih percaya diri. Kemarin saya menjalankan sesi training dengan sebuah direktorat
di Kementerian RI, dalam sesi lunch break, seorang pejabat yang membuka sesi
pagi tadi, menghampiri dan duduk menemeni kami makan siang. Beliau bercerita
tentang pengalamannya belum lama ini dalam sebuah penilaian untuk naik jabatan,
dimana harus mengikuti sesi interview akan inovasi apa yang akan dilakukan agar
“lolos” naik jabatan. Si bapak kemudian bertanya kepada anaknya di rumah yang
sedang menempuh pendidikan akhir di sebuah Universitas Negeri bergengsi di
negeri ini, Ia bertanya tentang ide apa yang harus disampaikan pada wawancara
nanti berhubungan dengan inovasi. Seperti yang kita ketahui generasi Millenial
sangat kaya akan informasi dan mereka sangat peka teknologi. Kemudian si anak
menyarankan “fokus ke inovasi digital karena semua bisnis apapun harus pro
digital karena sesuai dengan tuntutan zaman.” Sang ayah kemudian mengangguk dan setuju akan
usulan sang anak.
Ketika si bapak meneruskan cerita ini kepada kami, dengan
cara bercerita yang berapi-api menguraikan momen ketika beliau di interview.
Gagasan dari si anak kemudian dielaborasi sesuai dengan kemampuannya yang PD.
Si bapak bercerita bahwa pihak penilai adalah mereka yang masih minim pengalaman
dan tidak tahu tentang pengetahuan dan bidang yang mereka tanyakan kepada pihak
yang lebih senior. Mereka hanya bertanya dari ide awal dan kembali menggali ide
tersebut. Si bapak meyampaikan jurus rahasianya yaitu fokus kepada konten yang
Ia sampaikan dan percaya diri, sehingga ketika pertanyaan berputar kepada
penjelasan yang sudah diucapkan, Ia tidak “blunder” dan tetap fokus dan teguh
dengan penjelasannya. Karena dalam setiap teknik interview, atau investigasi,
ketika kita mulai mengarang, pertanyaan incaran pasti membidik kata-kata anda
yang “mengambang” dan menjadi sasaran empuk. Mereka akan menyimpulkan bahwa anda
mengarang dan tidak konsisten dengan jawaban dan tentu penilaian akan menjadi
buruk, akhirnya kita tidak akan lulus dalam sesi interview/investigasi yang
berlangsung.
Pengalaman cerita di atas dapat disimpulkan bahwa percaya
diri adalah kunci dari semua aspek dalam kehidupan ini. Bayangkan kalau si
bapak tidak PD, apa jadinya dengan kenaikan jabatan beliau yang nanti sejak
lama? Hasil interview lolos dan si bapak naik jabatan, sedangkan beberapa
rekannya harus kembali mengulang proses interview sampai beberapa kali karena
ketidakyakinan mereka dalam berkomunikasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan
dari pihak penyelidik.
Persis dengan banyak tips yang sering kami sampaikan dalam
setiap training bahwa “mapping” peta lawan bicara menjadi esensial, kepada
siapa kita harus bicara, siapa mereka, bagaimana pengalaman mereka apakah
setara dengan kita atau di bawah kita. Tentu mengambil cerita di atas, si bapak
sudah melakukan PR-nya dengan baik, bahwa yang mewawancarainya tidak menguasai
bidang yang dilakukan, mereka hanya menggali dan kembali “memutar” pertanyaan
untuk mengetahui apakah jawaban betul dikuasai. Berbeda dengan kalau kita harus
menaklukkan lawan bicara, apalagi dengan jumlah orang yang “isi kepala” dan pengetahuannya berbeda-beda. Sehingga,
pengetahuan anda mutlak harus di atas mereka. Jadi, pastikan sudah ada
pemahaman yang dalam, data yang dan pengetahuan terbaru yang harus kita berikan
kepada mereka. Kalau tidak anda harus bersiap diremahkan oleh audiens anda.
Kemarin juga dalam sesi online dengan para “agen perubahan”
di sebuah Kementerian yang berbeda, seseorang bertanya kepada saya “bagaimana
kita bisa menguasai sebuah materi yang baru kita terima, sementara waktunya
sangat terbatas?” saya menjawab tidak ada cara lain selain memang harus
mempelajari dengan melakukan riset, walaupun waktu kita terbatas. Untuk itu,
kita dapat terlebih dahulu bertanya tentang konteks/tujuan pembicaraan yang akan
dibahas. Dari info minim itu, walau kita belum mendapatkan pokok detail
pembicaraannya apa, tapi kita harus “nyolong start” dengan segera mencarinya secara
general. Misalnya topik tentang perubahan iklim, nah, dari situ anda bisa
segera mencari isu-isu yang terjadi saat ini secara general, ambil fokus utama
yang menjadi problem, dan mengkurasi info yang ada dengan data terbaru serta
mencari alternatif solusi dari isu yang ada, sehingga ketika waktu datang, info
yang sudah kita miliki kemudian akan memperkaya wawasan, walau dengan limitasi
waktu, tapi kita sudah tahu dari hasil observasi yang sudah kita lakukan jauh
hari sebelumnya. Intinya inisiatif untuk bergerak duluan. Kita memang harus
lebih cerdas dari audiens kita, itu harga mati yang akan menaikkan “bobot” kita
sebagai juru bicara. Kalau kita anda malas, tidak ada inisiatif tentu akan “mati kutu” menghadapi audiens yang lebih
berpengetahuan dari anda.
by admin | May 7, 2021 | Uncategorized
Oleh Erwin Parengkuan
Kalau dihitung, ini adalah jam dalam satu minggu dimiliki
oleh semua orang. Mulai dari anak kecil dengan waktu bermain yang lebih banyak,
beranjak dewasa dan meniti karir. Dimana waktu bermain kita lantas menjadi sedikit
karena kita mengejar kehidupan yang baik. Semua itu kita jalani hingga detik
ini, baik secara sadar maupun tidak sadar. Saya terkadang kagum dengan mereka
yang dapat membagi waktunya dengan sangat amat efisien. Sebut saja orang-orang
dengan jabatan yang tinggi. Seperti Presiden, seperti para pemimpin itu dengan
jadwal yang padat detik demi detik, terkadang meeting dilakukan sambil berjalan
kesuatu tempat, untuk pindah ke lokasi lain. Tiba-tiba ada disatu tempat,
kemudian berpindah lagi, bertemu masyarakat, dan masih punya waktu dengan
dirinya, keluarga dan -bersenang-senang
dengan teman inti mereka.
Sebagian dari anda mungkin tahu juga kalau saya memiliki
saluran berbagi tidak hanya di website ini, tapi juga secara audio di podcast
yang sudah saya jalankan rutin selama 2 tahun ini. Saya terkadang berniat untuk
menghentikan podcast saya, tapi dari kegiatan yang saya lakukan, ada saja
cerita baru yang muncul kemudian saya bagikan serentak secara audio, tulisan
termasuk berbagi ke kelas online maupun offline.
Kita semua memiliki waktu yang sama, tapi terkadang tidak
pandai membaginya. Orang yang sibuk tentu pandai akan hal ini, tapi orang yang
banyak waktu luang, sepertinya tidak pandai dalam membagi waktu. Kegiatan rutin
yang dilakukan setiap orang hendaknya membantu mereka untuk punya management
waktu yang baik. Karena kegiatan yang kita lakukan akan terus berulang sampai
kapanpun, tapi rupanya tidak semua orang bisa efesien soal waktu, termasuk
ketika seseorang berbicara terkadang banyak sekali pemilihan kata yang
berulang, atau salah dalam menempatkan/memilih kata, sehingga pesan kemudian
menjadi bias.
Buku yang belum lama saya baca, bercerita tentang waktu.
Bagaimana kita bisa lebih disiplin dalam menjalankan dan memaknainya. Saya
berharap tulisan ini dapat membantu anda untuk lebih pandai dalam membagi waktu
yang kita miliki.
Ada 5 hal penting yang disampaikan dalam buku yang ditulis
oleh Harry M. Jesen Kraemer, Jr dalam bukunya “From Values to Action” berikut
pembagian waktu yang ia sampaikan:
Career : 50 jam (30%)
Family : 28 jam (17%)
Spirituality : 11 jam (7%)
Health/sleep : 55 jam (32%)
Fun/recreation/reading : 14 jam (8%)
Social responsibility/making difference : 10 jam (6%)
Ketika membaca buku ini saya lantas merefleksikan diri
terhadap waktu yang saya jalani, apakah semua uraian tersebut sudah saya
jalani. Soal berapa jumlah waktu/prosentase-nya tentu berpulang kepada setiap
orang akan fungsi dan tujuan hidupnya. Saya sangat sependapat dengan penulis
yang mengatakan bahwa hidup ini harus life balance, bukan work life balance,
karena 6 faktor ini bila kita jalankan akan membuat kita berdaya, berdampak
kepada diri dan orang lain. Tidak hanya sibuk mengejar karir.
Setiap kita memang mempunyai prioritas yang berbeda-beda,
tapi sejatinya setiap orang harus memaksimalkan dirinya seperti yang kita tahu
tentang teori dari Abraham Maslow “The Hierarchy of Needs.” Semakin tinggi
tingkat kedewasaan seseorang dalam menjalankan karirnya harus dapat hidup
seimbang. Tidak ada karir tentu tidak ada pendapatan, terlalu sibuk bekerja
tentu akan tidak ada interaksi sosial dengan lingkungan luar, tidak membaca
buku, tentu tidak ada wawasan baru, tidak tidur dan olah raga tentu fungsi
tubuh akan melemah sejalan dengan bertambahnya usia dan sulit berkonsentrasi.
Tidak punya waktu dengan keluarga tentu tidak ada support system yang akan
memotivasi kita dan membuat kita bahagia.
Kalau pengalaman saya, selalu memaksakan diri untuk terus
bertumbuh dengan 6 komponen diatas. Saya merasakan bahwa semakin hari semakin baik
dalam membagi waktu saya. Ini adalah tantangan yang harus kita jalankan, walau
kebayakan orang memang punya tendensi malas dan penunda. Itu tidak ada dalam
kamus saya. Seperti contoh, bila satu hari tidak ada kegiatan dalam bekerja.
Saya akan tetap membuat jadwal harian, crowd my calender! Pagi hari buat saya
jam 5 adalah waktu terbaik saya untuk menjalankan rutinitas berolah raga dan
baca buku. Mungkin 1 hal yang perlu saya tambahkan dari 6 komponen diatas
adalah makan sehat. Cheating day hanya weekend. Menjadi lengkap bila semua hal
ini kita jalankan dengan kesadaran diri tinggi untuk terus bertumbuh dan
kemudian memberikan dampak positif bagi orang lain/lingkungan. Seperti yang
dilakukan oleh orang-orang sukses mereka kemudian peduli kepada orang lain,
menjadi dermawan dan merasakan hidup ini menjadi berguna dan juga bermanfaat. Life
balance adalah kata yang tepat untuk kita saat ini dan di waktu mendatang.
by admin | Apr 22, 2021 | Information, News
Oleh Erwin Parengkuan
Apa yang telah terjadi dalam satu dekade ternyata bisa memberikan dampak sangat signifikan dalam kehidupan kita khususnya dalam dunia komunikasi. Tahun 1999, ketika handphone berubah fungsi menjadi smartphone dari penemuan muktahir Blackberry (BB), ternyata telah membuat kebiasaan baru manusia untuk lebih mobile dan sangat “attached.” Waktu itu, kita melihat banyak orang yang tidak bisa lepas dengan HP mereka, ketika “demam BB” menjangkiti para penggunanya, terutama mereka yang sudah bekerja, semua orang sangat sibuk BB-an. Ada yang terbentur kaca lobby kantor karena terlalu fokus dengan gawai mereka, bahkan ketika meeting mereka malah tidak terkoneksi dengan peserta meeting, dan muncul anekdot tentang BB “mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.” Teknologi kemudian semakin berkembang, seiring dengan munculnya media sosial/beragam pertemanan virtual, mulai dari friendster, FB, IG, Path, Linkedin, dll telah mengakibatkan perubahan sangat besar dalam interaksi manusia dulu dan sekarang, termasuk menurunnya “attention spending” dari setiap individu.
1 dekade kemudian, seorang figur pemimpin baru dengan gaya
komunikasi yang terbuka, lentur, dan fasih yaitu Presiden ke 44 Amerika Serikat
Barrack Obama hadir. Sangat kontras dengan gaya pemimpin zaman Orde Baru yang
kaku dan otoriter. Telah membuat semua pemimpin (di dunia ini) termasuk para
bos di dunia korporasi ingin meniru gaya komunikasi seperti Obama. Semua orang menginginkan
gaya komunikasi yang lebih terbuka seperti-nya, apalagi kedekatan secara emosi
antara masyarakat Indonesia dengan Obama yang pernah melewati masa kecil di
Jakarta, suka t bakso, sate dan nasi goreng membuat kita kemudian secara sadar
mengindolakannya.
Tentu tidak mudah untuk merubah kebiasaan setiap orang,
perlu kesadaran tinggi dan perlu “effort” yang besar. Merubah mental, sudut
pandang, intonasi suara, pilihan kata-kata yang lebih “sejuk” dan bahasa tubuh
yang terbuka dll adalah rentetan pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Apalagi
dalam seni berbicara, seseorang dituntut untuk dapat mengendalikan dirinya,
agar menyelaraskan gaya komunikasi yang inginkan banyak orang, bukan
sebaliknya.
10 tahun adalah rentan waktu yang telah merubah gaya komunikasi
dunia modern saat ini. Dulu tidak ada warganet/netizen, dulu tidak ada
orang-orang yang nyinyir, tapi sekarang dengan tekanan yang begitu besar dari
media sosial membuat kita melihat banyak perkataan yang tidak pantas bersliweran
di banyak timeline. Seseorang yang lebih muda bisa berkomentar buruk kepada
mereka yang lebih tua, walaupun tidak saling kenal. Semua orang seperti lantas
sangat ringan berceloteh, mengeluarkan isi perutnya. Sedangkan, contoh figur
terbaik komunikator yang ulung macam Obama, hanya menjadi sebuah figur yang
ideal.
Dulu, ketika Charles Darwin di abad 18 mengemukan tentang teori
evolusi manusia dan menyebutkan tentang survival of the fittest, bahwa hanya
mereka yang adaptif yang dapat bertahan hidup. Teori ini menjadi nyata dan
sangat relevan setelah Covid-19 memporak-porandakan tatanan ekonomi dunia saat
ini. Kita yang bertahan hingga saat ini adalah yang adaptif. Sehingga untuk
semua orang, dituntut untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman, lebih
terbuka akan input, terus bertumbuh dan bertumbuh.
>Pada awal bulan Maret 2021, perusahaan raksasa Microsoft
membeberkan sebuah fakta bahwa negara kita memiliki tingkat komunikasi yang
sangat buruk di media sosial. Dulu kita dikenal sebagai bangsa besar yang ramah,
tapi sekarang yang paling julid (nyiyir/kasar). Dalam rentan waktu 10 tahun-pun,
jati diri kita sebagai bangsa yang baik perlahan mulai runtuh, diikuti dengan
komentar yang julid di situs media sosial Microsoft membuat perusahaan ini
harus menutup aksesnya untuk sementara atas derasnya komen yang negatif atas
fakta yang mereka sampaikan. Mendengar berita ini, saya pribadi sangat malu dan
miris. Kemana masyarakat Indonesia yang ramah itu?
Mari kita bentuk (lagi) gaya komunikasi yang santun, ramah
dan meyenangkan. Termasuk bagi para pemimpin di perusahaan agar dapat meninggalkan
gaya otoriter mereka dan menciptakan garis yang horizontal bukan vertikal, agar
setara dan selaras dengan siapapun. Mari kita juga tinggalkan ego dalam
berkomunikasi, tinggalkan juga masalah kita ketika berbicara kepada siapapun. Agar
dengan mudah kita bisa fokus kepada mereka yang kita ajak bicara. Ketika semua
orang mempunyai kesadaran yang baik, tentu ini akan mengembalikan reputasi kita
sebagai bangsa yang santun dan ramah. Mudah kok dijalankan.
by admin | Mar 29, 2021 | Information, News
Tidak ada satu manusia di dunia ini yang tidak suka
dilayani. Ketika kita melayani lawan bicara kita, mereka merasa diistimewakan oleh
kita dan kemudian relasi menjadi lebih erat. Dalam sebuah buku berjudul “Five
Love Languages” karya Garry Chapman bahwa kita manusia mempunyai 5 bahasa cinta
yang berbeda-beda. Salah satunya adalah Bahasa Pelayanan (acts of service).
Buku ini sangat populer dan akan membantu setiap pembaca mengetahui bentuk
cinta seperti apa yang diharapkan oleh lawan bicara kita/pasangan/anak/lawan
bicara. Adapun 4 bahasa cinta lainnya adalah sentuhan, penghargaan, waktu dan
hadiah. Buku ini diterbitkan di awal tahun 1992 dan sampai sekarang masih
releven.
Saya akan fokus kepada judul tulisan ini, karena kita semua
mempunyai tujuan yang sama untuk membangun sebuah hubungan yang harmonis,
terlepas dari penjelasan 5 bahasa cinta diatas, tetap setiap orang ingin
dilayani. Apalagi budaya Jawa yang sangat kental di Indonesia, dimana para
leader yang masih bercokol di jajaran tinggi sebuah organisasi masih mengusung
peninggalan budaya ini. Saya mengambil contoh dalam pekerjaan saya ketika salah
seorang rekan yang merupakan pemimpin perusahaan berencana untuk menggunakan
jasa kami untuk melatih para karyawannya, saya tidak serta merta memberikan
tanggung jawab ini kepada team marketing di kantor. Karena saya yakin, rekan
saya ini mempunyai ekspektasi keterlibatan saya dalam rencana kerjasama ini.
Kerap kali kita dihadapkan dengan situasi seperti ini, kapan
kita harus melayani lawan bicara dll? Apakah lebih baik kita delegasikan kepada
sekertaris, team atau orang lain? Ketika sebuah hubungan sudah terjalin baik
seperti antara saya dengan rekan tersebut, sejatikan saya-lah orang yang paling
tepat untuk melayani mereka. Ketika akhirnya pelatihan sudah berakhir-pun
karena saya yang diminta untuk mengajarkan teamnya, saya langsung melakukan
kontak dan menyampaikan penilaian saya atas proses belajar mengajar di kelas
online tersebut. Rekan saya sangat puas dan team saya segera akan mengirimkan
report hasil pelatihan tersebut. Jadi ada proporsi kapan bagian saya melayani,
dibagian yang mana? Kapan team yang melakukan pelayanan sesuai dengan fungsi
masing-masing.
Kita tentu tahu, banyak leader yang sukses mereka memiliki
values yang sangat banyak. Values adalah nilai teguh/prinsip yang dipegang oleh
seseorang dalam menjalankan kehidupan dan pekerjaannya. Dari dulu saya sangat
disiplin, ini adalah contoh sebuah values, bila ada janji atau ucapan kepada
orang lain saya selalu akan berusaha semaksimal mungkin untuk menepatinya dan
bila ada hal yang tidak sesuai, sayapun orang pertama yang akan mengabarkan
mereka. Begitupun mungkin hal ini dilakukan oleh anda. Semakin disiplin kita,
semakin baik performa diri seseorang. Saya jadi ingat perkataan seseorang
kepada saya ketika saya baru memulai karir “apapun yang kamu lakukan pasti akan
sukses asalkan kamu turun tangan langsung.” Perkataan ini sangat menancap dalam
ingatan saya dan menjadi salah satu values yang saya pegang erat-erat hingga
saat ini. Tantangan dan godaan/distraksi yang saat ini kita hadapi memang
begitu banyak, sehingga terkadang kita luput melakukan pelayanan. Seperti
banyak orang berjanji ingin mengabarkan kita, tapi mereka tidak melakukannya.
Atau yang paling mudah ketika kita berkomunikasi via tulisan ketika mereka
membacanya, mereka tidak merespon kita. Ini adalah contoh kecil dari sebuah
respon/pelayanan yang krusial menurut saya. Bila kita fokus kepada hal utama
yang harus dijalankan, kita pasti akan bekerja lebih efektif. Sejatinya
kita-lah yang paling bertanggung jawab untuk membuat diri kita lebih baik dari
waktu ke waktu. Bila kita gagal, tidak ada (juga) satu orangpun yang akan lebih
baik memotivasi diri kita selain kita sendiri. Kita memang dituntut untuk
semakin hari semakin matang dan bijaksana. Kapan saatnya kita melakukan
pelayanan yang tepat kepada orang lain, juga pelayanan kepada diri sendiri.
Kapan kita harus lebih fokus kepada orang lain dan mengukur mana perhatian
kecil,sedang dan besar yang penting harus dilakukan. Analisa ini menjadi mutlak
menurut pendapat saya, agar hubungan harmonis dengan siapapun terbangun dengan
perhatian dan pelayanan yang kita berikan menjadi berharga buat semua pihak,
dan tidak berat sebelah. Disamping itu kita juga harus pandai dalam melihat
hal-hal mikro maupun makro, agar kita tidak terjebak melayani hal yang kecil
tapi ternyata itu tidak memberikan dampak yang signifikan dalam membangun
relasi kita dengan siapapun.
by admin | Feb 22, 2021 | Information, News
Oleh Fernando Edo
Bad PR. Iya, belakangan kata-kata ini menjadi alasan salah satu merk lokal menjadi viral. Namun kalau diperhatikan, bukan kali ini saja sebuah perusahaan mengambil Langkah yang kurang tepat dalam berkomunikasi entah itu untuk internal atau pesan tersebut untuk dikonsumsi orang banyak. Padahal mungkin maksud dan tujuan perusahaan adalah untuk menjaga kredibilitas suatu perusahaan, tapi sayangnya itu menjadi boomerang.
Di era sosial media ini, istilah pembeli adalah raja harus direvisi karena menurut saya selain kita layani pembeli dengan maksimal, kita juga harus bisa membina hubungan dengan mereka. Jadi saya ganti dengan Pembeli adalah Teman Baik. Layani mereka dengan tulus, jujurlah jika ada kendala dalam sebuah proses bisnis kita. Persaingan di semua industri bisnis semakin ketat, semua menawarkan harga yang terjangkau dan produk atau jasa yang terpercaya. Namun,menurut penulis ada satu kata kunci dalam berbisnis, Bagaimana anda sebagai penjual berkomunikasi dengan pembeli.
Beberapa waktu lalu, saya membeli earphone di toko online dan cukup terkejut Ketika membuka kemasan ada secarik kertas dengan bunyi seperti ini :
Dear Kakak, terimakasih sudah berbelanja di toko aku semoga barang yang kakak beli awet ya. Oh Ya, adik sangat berharap kakak dapat memberikan bintang 5 jika barang yang kakak pesan sesuai dengan pesanan ya. Salam hangat, adik tercinta.
Wow, sebuah cara dalam mencari pelanggan setia bisa dilakukan dalam hal yang sederhana.
Saya juga teringat, beberapa tahun lalu makan di hotel bintang 5 dengan konsep “fine dining”.
Pada saat meminta waiters untuk menaburkan lada di potongan daging saya, ternyata yang ditaburkan adalah garam dan itu memang cukup merusak rasa dari makanan saya. Saya kembali memanggil waitersnya dan ia meminta maaf lalu diganti dengan yang baru. Selang beberapa menit, datang Manager Restaurant Kembali meminta maaf dan memberikan potongan harga atas kesalahan tim nya sambil menanyakan apakah ada yang kurang dari segi pelayanan dan makanan?. Jika memang ada sebuah kesalahan, akui dan minta maaf lah dengan tulus. Pembeli pasti akan dengan senang hati memaafkan dan melupakan kesalahan penjual apalagi disertai dengan potongan harga.
Berkaca dari pengalaman itu, sebuah masukan atau saran adalah hal sangat berharga dari sebuah bisnis. Karena sebagai penjual, harus memiliki cara pandang seorang pembeli dan bukan mempertahankan sudut pandang lalu seakan sebuah saran menjadi citra buruk bagi suatu bisnis. Sebuah bisnis dapat berdiri dan bertahan karena pelanggan yang selalu datang dan sudah memiliki ikatan emosi dengan sebuah layanan yang prima. Apakah anda sudah memiliki cara berkomunikasi yang baik dalam berbisnis ? apakah anda sudah melayani pelanggan anda layaknya “one of your best friend” ?