The Law of Attraction

Oleh Erwin Parengkuan

Dalam setiap sesi mengajar di kelas entah kami bicara tentang komunikasi, meningkatkan rasa percaya diri, jurus mahir presentasi dll selalu tidak bisa dilepaskan dari subjek yang malakukannya yaitu kita; manusia. Kita adalah pemeran utama dalam menjalankan kehidupan ini. Dalam 24 jam waktu yang kita miliki, kita memiliki kuasa penuh dalam memaknainya, meregulasikannya dan menindaklanjuti semua hal-hal yang kita akan kerjakan. Beberapa waktu ketika kita memiliki perhatian khusus kepada mereka-mereka yang super sibuk tapi bisa efektif memaksimalkan waktunya akan membuat kita bertanya-tanya “apa yang telah ia lakukan dengan waktunya sehingga semua yang dikerjakan bisa tercapai dan berdaya?”

Dalam sebuah sesi dengan para leader dari sebuah perusahaan pionir properti beberapa waktu yang lalu, ada satu kesempatan dimana saya membahas tentang hukum tarik-menarik ini. Istilah kerennya muncul ketika seorang penulis buku dari Australia bernama Rhonda Byrne pada tahun 2006 membuat “The Secret” berikut video yang dibundling dengan buku tersebut yang sangat laku dipasaran. Salah satu leader bertanya kepada saya tentang manifestasi. “Kenapa seseorang melalui keyakinan dalam dirinya, bisa mewujudkan apa yang ia inginkan?” demikian kira-kira pertanyaannya. Wah, sebuah pertanyaan menggelitik yang belum pernah saya dapatkan dalam kelas.

Sejatinya, setiap dari kita memang dapat mewujudkan dan melakukan apapun yang diinginkan di dunia ini, akan tetapi perlu disadari bahwa kita adalah manusia yang kompleks dengan segala macam spektrum kepribadian, perilaku bahkan cara seseorang mengomunikasikan sebuah pesan. Akarnya adalah kita yang harus dapat mengetahui diri kita dengan baik dan dapat menavigasinya, menjalankan yang diinginkan, bahkan melakukan pivot ketika kondisi tidak sesuai dengan harapan kita sebelum “bencana” besar datang. Saya mengatakan kepada leader tersebut untuk perlahan-lahan membuang perasaan negatif yang tersimpan dalam diri. Kenapa demikian?karena hukum tarik menarik akan menarik apapun yang ada dalam diri kita.Ketika perasaan kita terganggu tentu energi yang dilkeluarkan juga berbeda, lain halnya ketika kita bersemangat tentu akan membuat banyak orang yang kita jumpai terbawa rasa antusiasme yang kita pancarkan. “Kalau kamu “overthinking” (rupanya sang leader adalah tipe orang yang seperti ini) maka team yang kamu pimpinpun akan menjadi serba takut dalam menghasilkan inovasi baru!” ujar saya. Kitapun tahu, sebuah inovasi akan muncul ketika seseorang memiliki positive mental attitude.

Nah, kompleksitas yang ada dalam diri kita sebagai manusia yang hidup di era serba sinting ini menuntut kecakapan seseorang dalam memilah-milih “konsumsi” yang ingin ia masukkan dalam pikiran, perasaan serta tubuhnya. Ketika yang dimasukkan hanya yang baik, maka akan menghasilkan yang sama, juga berlaku sebaliknya. Hukum tarik menarik (the law of attraction) sudah ditemukan dari zaman Romawi yang kembali dipopulerkan oleh Byrne menjadi reminder buat siapapun kita. Maka buat sang leader tersebut saya mempertajamnya untuk tidak over thinking. Saya mengamati aura wajahnyapun yang terlihat suram tidak memancarkan energi yang positif. Saya menganjurkannya untuk mulai melakukan meditasi dan rutin olah raga. Rupanya kedua hal inipun sudah lama tidak ia lakukan, karena beban pekerjaan yang sangat mengganggu pikirannya lantasan tuntutan dan kompetisi yang semakin menantang dalam persaingan bisnis property.

Semua berasal dari diri kita dan semua juga kita yang harus mengaturnya kembali. Karena siapapun dari kita, memiliki otoritas yang penuh dalam memilih hal yang kita suka dan tidak suka. Sehingga ketika kesadaran ini ada maka setiap orangpun dapat menjadi lebih sukses dan bahagia sesuai yang mereka inginkan dan akan termanisfestasikan sesuai yang diharapkan.

First Impression

Oleh Erwin Parengkuan

“Seberapa cepat first impression akan tercipta kita kita melihat seseorang?” Pertanyaan ini selalu saya tanyakan di kelas ketika memulai materi tentang diri, entah itu Boosting Confidence, Personal Branding, Public Speaking dan Presentation Skills. Beragam jawaban saya dapatkan; 5 menit, 2 menit, 3 detik, jawaban terlontar ,mewakili beragam usia peserta. Makin senior mereka, biasanya mengatakan memerlukan waktu yang lebih lama, diatas 1 menit, akan tetapi buat generasi Z atau bahkan millennials mereka akan meyebutkan dalam hitungan detik.

Dalam sebuah tontonan rutin saya di Masterclass, platform berbayar yang menghadirkan para jagoan internasional di industrinya masing-masing, seorang seniman mengatakan seperti ini: “Perlu berapa waktu kita memutuskan mau dengar sebuah lagu, atau keputusan untuk menonton sebuah film, misalnya di Netflix?” Semua terjadi dibawah 8 detik, begitu cepat, demikian halnya dengan first impression. Banyak peserta yang senior akan terkaget-kaget dengan analisa ini, tetapi sangat masuk akal ketika kita bertemu dengan seseorang, dalam waktu hitungan detikpun kita akan menilai seperti apa orang tersebut menampilkan dirinya. Di waktu yang bersamaan, merekapun akan menilai kita juga.<>/p

Kesadaran seseorang untuk fokus dalam membangun impresinya menjadi sangat penting, itu yang terkadang dilupakan banyak orang ketika mereka hanya fokus terhadap tujuan dan bobot materi yang akan disampaikan. Sebuah impresi sangat berdampak dengan ingatan yang akan menempel didiri seseorang. Kita tentu mudah mengingat perasaan apa yang muncul ketika kita pertama kali menerima gaji? pertama kali bergandengan tangan dengan seseorang yang kita sukai, dan intimasi lainnya yang tercipta dari hubungan itu? Atau pertama kali kita gagal dalam sebuah presentasi!

Impresi yang timbul memang selalu dekat dengan perasaan manusia, senang, sedih, kecewa, marah, bahagia dll adalah momen-momen yang selalu kita lewati dalam hidup ini. Untuk seseorang dapat sukses berkomunikasi apalagi bertujuan untuk menaklukan audiens tentu kita harus memikirkan kesan pertama seperti apa yang akan kita tampilkan. Kesan pertama juga akan membuat seseorang akan dikenal atau diabaikan oleh audiensnya ketika mereka gagal membangun raport ini. Walaupun ada kalanya sebuah presentasi diawal yang gagal, bisa menjadi menarik perhatian pada bagian body content, tetapi hal ini sangat jarang terjadi. Seperti menentukan musik yang akan kita dengar, kalau ritme awalnya saja kita sudah tidak tertarik, kita tidak memiliki niat untuk terus mendengarkannya.

Strategi utama dalam membangun kesan pertama adalah sebuah perencanaan yang jelas akan kesan apa yang ingin kita bangun dan tampilkan. Kesan yang sudah jelas ini akan menjadi acuan dalam membangun relasi dan memberikan pengaruh. Ada kalanya sebagai manusia, emosi yang naik turun menjadi tantangan tersendiri. Untuk itu, taklukan dirimu, bentuk kesadaran yang tinggi ketika ingin tampil, buang semua pikiran negatif yang menghantui kita. Jadi sepenting itu sebuah perencanaan dalam membangun first impression yang ingin saya garisbawahi. Jangan sampai kita lalai hanya fokus kepada bobot tetapi melupakan gestur, intonasi suara, atau cara kita berpenampilan yang menjadi bagian utama dari lahirnya sebuah kesan. Oh ya, satu lagi yang penting, semua kesan yang kita tampilkan, mutlak 100% otentik bukan dibuat-buat ya.

Stop and Think

Oleh Erwin Parengkuan

Bertemu dengan banyak peserta dalam kelas dengan dinamika dan tantangannya masing-masing sungguh menyenangkan. Banyak sekali kendala yang mereka alami ketika harus tampil bicara atau public speaking. Berbagai macam keluhan seperti blank, grogi, tidak pede, kesulitan menemukan kata yang tepat hingga harapan untuk dapat memengaruhi audiens/lawan bicara.

Semua peserta di kelas memiliki ekspektasi yang sama untuk dapat maksimal berbicara, sayangnya ketika saya tanya satu-persatu apakah diantara mereka ada yang rutin membaca buku? jawabannya tidak! lantas bagaimana dapat menyihir audiens kalau kosa kata saja terbatas? Ini seperti istilah yang disampaikan oleh Albert Einstein; “Kegilaan adalah melakukan hal yang sama berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda.” Masyarakat Indonesia dengan populasi melebihi 280jt jiwa pada tahun 2025 ini, dengan perbandingan 1:1000 antara orang yang rajin membaca buku dan tidak. Bayangkan rendahnya literasi kita dibanding negara-negara lainnya. Sungguh menyedihkan! Tidak heran masyarakat kita, apalagi ditambah dengan sosial media yang hanya menyuguhkan berita pendek-pendek menjadi asupan harian, seolah-olah mengerti tentang sebuah informasi, tetapi bila ditanya lebih mendalam tidak mengerti akar permasalahannya.

Sejatinya, kata-kata adalah bensin utama kita dalam berkomunikasi, ketika seseorang tidak memiliki kosa kata yang kaya dan beragam ia akan terus menggunakannya dalam rangkaian kalimat yang dibuatnya, tentu tidak akan dapat memengaruhi audiens yang lebih luas dengan intelektualitas mereka. Tetapi masih banyak sekali peserta di kelas yang berharap, tanpa mau meluangkan waktu untuk membaca buku. Buku-buku yang tersebar di dunia ini, terbagi atas 2 kategori buku, fiksi dan non fiksi. Buku fiksi yang memiliki peminat lebih besar bila dikonsumsi akan membuat seseorang mendapatkan kata-kata yang lebih banyak mengandung emosi. Sedangkan buku non fiksi akan membantu kita mengasah otak kita akan banyaknya ilmu-ilmu baru yang kita belum ketahui.

Niat yang besar, bila dilakukan, misalnya setiap hari meluangkan waktu 10 menit saja akan menghabiskan satu buku dalam satu bulan, dalam satu tahun ada 12 buku, dst, yang kita baca dari para penulis hebat di dunia ini. Buku non-fiksi sudah terbukti ampuh untuk membentangkan cakrawala berpikir kita dan juga mengahasilkan kosa kata yang kaya dan beragam. Yang saya rasakan ketika rutin membaca buku adalah membuat muscle memory lebih besar. Daya ingat lebih panjang, selain membaca buku juga memperbesar empati karena kita bersedia membaca buku dari penulis dimana kita juga akan mendalami pola pikir mereka.

Ketika kita memiliki wawasan baru, pengetahuan baru, kemampuan berpikir kritispun akan meningkat, dan secara langsung akan membuat kita lebih pede, apalagi kita tahu minimnya minat baca di negeri ini akan membuat kita diatas rata-rata kebanyakan orang yang kita jumpai. Kalau ada orang yang berbicara terbata-bata, mengulang kalimat yang sama untuk konteks yang berbeda, sehingga membuat salah persepsi, salah ucap, dan salah-salah lainnya, sudah pasti orang tersebut tidak/jarang membaca buku.

Jadi mau mulai kapan akan rutin membaca buku? itulah kalimat yang setiap mengajar selalu saya sampaikan kepada para peserta yang berbeda-beda di kelas.

Influencing Others By Providing Powerful Feedback

As time goes by, humans must lead within their circles. Starting from leading in the kindergarten line, being parents for our kiddo, to leading your team towards the company’s objectives. I don’t believe that someone is born as a leader. You, who are reading this article, can also be a leader. The question is: how much eagerness do you put into it?
Sacrifice for everything you want, or else everything you want will become your sacrifice. One of the things that I have learned until this is how my observation (as I enjoy being a listener) turn into positive feedback for myself and others. However, being judgmental and giving feedback are related.
I found two methods on how to give positive feedback without being judgmental that you can implement.

1. The GROW model by Max Landsberg (For performance reviews)
GOAL
Ensure and believe that we have a common goal and the same direction. Different ways but one direction.
REALITY
You must listen and fully understand the challenges people face in achieving the goal. Remember to ask the question, ‘Do you think/feel…?’ instead of ‘I think…
OPTION
Asking for their opinion to get a genuine answer while avoiding disagreement reactions. At this time, we are trying to read carefully and identify what the problem is, and then provide other options to achieve the goal.
WILL
The people will not agree to the new option if there’s no benefit for them or if it’s forced. An inspirational conversation needs to be built so that people trust and believe in the option.

2. Feedback Sandwich
Start with a compliment.
Always express gratitude and appreciation by giving positive feedback on what they did. Small compliments can make people feel appreciated.
Present positive options. Afterward, ask for their opinion on what they did and request permission to share your point of view and perspectives of others.
Positive closing. Conclude your feedback by motivating and encouraging them
In practical terms, I use a combination of these methods. The GROW method is what I used to use when I was in a corporate setting, providing feedback in professional situations such as performance reviews for my Sales/RM Team. However, the feedback sandwich is something I utilize in every situation, including when I am facilitating. Offering compliments or positive comments to people can increase endorphin levels. Comments like ‘I like your smile,’ ‘I like your color blazer,’ or ‘How did you get those unique sneakers?’ are the kinds of remarks that can prompt someone to engage in conversation with you and feel appreciated.
Sometimes, differences or conflicts arise from misunderstandings, especially when we don’t know people well. A personal touch is necessary to understand people’s thoughts and feelings. This is what makes us unique, intelligent human beings rather than artificial entities.
However, providing feedback to others is essential for the betterment of all of us in a positive way, and avoiding causing pain to others. So, are you still willing to give painful feedback to others?

Written by Fernando Edo
Edited by Alyezca Disya

SELF CONCEPT: Siapa saya?

Oleh Erwin Parengkuan

Sebuah curhatan dari sesi minggu lalu telah membuat saya menyimpan pemikiran ini untuk beberapa hari, rasanya setiap orang harusnya sudah tahu siapa dirinya dan konsep diri seperti apa yang ingin ia tampilkan, tetapi ketika dalam sesi itu, seorang leader yang bisa dibilang memiliki jabatan tinggi dan selalu bertemu dengan network yang luas ternyata dengan terbuka mengatakan “Saya tidak tahu siapa diri saya? Saya sering bertanya ke dalam diri, siapa saya? Tetapi selalu kebingungan untuk menemukan jawabannya!” Dari tampak luar leader ini terlihat tangguh juga tenang. Tapi siapa yang tahu isi hati seseorang?

Bisingnya hiruk-pikuk dunia ini telah membuat kita lebih banyak melihat ke luar daripada ke dalam diri. Kegalauan semacam ini tentu bukan hal baru, semakin banyak kita terus melihat ke luar, akan semakin sulit kita menentukan konsep diri kita. Contoh di atas tidak menyinggung soal seseorang yang masuk kategori people pleaser, melainkan murni ketika hidup kita terlalu bising dan dikelilingi oleh orang-orang yang tidak otentik tentu semakin besar potensi kelalauan tentang konsep diri ini.

Menurut saya, ada banyak kesempatan yang dapat kita ambil untuk menemukan tentang cara membuat konsep diri, sebelum saya uraikan, 4 faktor penyebab ini dapat memicu seseorang tidak mengetahui siapa dirinya:

• Dikelilingi oleh orang-orang yang palsu
• Gaya hidup hedonis
• Tidak memiliki waktu dengan dirinya
• Dan terlalu takut dibilang jelek oleh orang lain.

Beberapa waktu yang lalu juga seorang teman curhat kepada saya, ia mengatakan hal yang hampir sama dengan contoh di atas. Ia merasa lelah karena terlalu banyak mengikuti permintaan orang lain, melayani orang lain bahkan kerap melupakan dirinya sendiri. Rupanya semakin bising hidup kita, semakin kesulitan seseorang untuk bertanya ke dalam tentang konsep dirinya.

5 langkah berikut ini dapat membantu Anda yang mungkin masih memerlukan bantuan dalam membentuk konsep diri yang utuh:

1. Kekuatan Diri
Tuliskan hal-hal yang menjadi kekuatan diri kita. Hal yang kita yakini 100% ada dalam diri kita. Bukan sebuah pencapaian tetapi sebuah tindakan/perilaku yang selalu kita lakukan secara alami muncul dari dalam diri. Misalnya saya adalah seseorang yang cepat belajar, terbuka, dll

2. Meditasi
Tidak bisa dipungkiri, berbicara dengan diri sendiri, mendengarkan diri sendiri akan kita dapatkan dalam momen meditasi. Hening dan diam untuk 5 menit, atau bahkan waktu yang lebih. Memiliki waktu dengan meditasi setiap hari, akan membantu kita lebih tenang dalam menghadapi berbagai macam tuntutan dari dunia ini. Cobalah tentukan berapa lama waktu kita akan meditasi dan fokus kepada nafas kita. Ambil waktu terbaik, entah pagi hari sebelum berkegiatan atau malam hari sebelum tidur. Segala sesuatu yang kita lakukan dengan hening, seperti membaca buku, dalam kesendirian menikmati indahnya alam termasuk dalam bentuk meditasi

3. Lingkungan Positif
Teliti siapa saja orang-orang disekeliling kita. Apakah mereka adalah teman-teman yang tulus kepada kita? Tulislah 5 orang terdekatmu, coba liat hal baik apa yang telah kita berikan kepada mereka, begitupun sebaliknya. Bila tidak ada, bisa jadi kita berada dalam lingkungan pertemanan yang tidak sehat

4. Memiliki Mentor
Carilah seorang mentor yang dapat melatih kita dalam mengasah kemampuan. Atasan di kantor dapat kita minta waktunya seminggu sekali selama 30 menit untuk membantu kita membukakan potensi diri. Atau kalau tidak ada yang dapat diandalkan, carilah di lingkungan sosial lainnya. Seorang mentor yang baik adalah seseorang yang mengacu kepada sebuah kebaikan

5. Tujuan Hidup
Kalau keempat faktor diatas sudah kita jalankan, mulailah membuat catatan dalam jurnal kita tentang tujuan hidup yang akan kita capai. Tujuan jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Sesekali luangkan waktu untuk kembali melihatnya bahkan merevisinya.

Dengan 5 langkah membentuk konsep diri tersebut, diharapkan kita lebih mengenal siapa diri kita sebenarnya. Tidak ada lagi kebingungan dan muncul pertanyaan “Siapa saya?”, beranilah untuk menunjukkan diri dengan bangga dan menyatakan “ini loh saya”.

Editor: Alyezca Disya Rahadiz

Impostor Syndrome: Rasa Tidak Yakin Dengan Kemampuan Sendiri

Ditulis oleh: Irina Dewi – TALKINC Facilitator

Rasa tidak yakin dengan kemampuan diri adalah hal yang biasa dialami oleh para profesional. Tetapi merasa diri sendiri penipu dengan menihilkan kompetensi dan pencapaian diri, apalagi menganggap bahwa semua yang dicapai adalah faktor kebetulan? Hati-hati, mungkin dirimu menghadapi yang namanya Impostor Syndrome!

Impostor syndrome sebetulnya bukan istilah baru, meskipun gaungnya baru terasa di 5 tahun terakhir. Istilah ini pertama kali muncul pada tahun 1978 melalui sebuah artikel yang ditulis oleh dua orang psikolog bernama Pauline Rose Clance dan Suzanne Imes, berjudul “The Impostor Phenomenon in High Achieving Women: Dynamics and Therapeutic Intervention.’ Di artikel ini dijelaskan bahwa Impostor Syndrome adalah sebuah pola psikologis di mana seseorang meragukan kemampuan dan pencapaiannya, merasa diri tidak kompeten, meskipun ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa kita adalah orang yang kompeten dan memiliki pencapaian yang cukup. Orang yang mempunyai impostor syndrome sering percaya bahwa prestasi yang dicapai hanyalah sebuah ‘kebetulan’, bukan sebuah hasil dari usaha keras dan kemampuan yang dimiliki. Meskipun jurnal ini berfokus pada perempuan, tapi riset lanjutan juga menunjukkan bahwa sindrom ini kerap juga terjadi pada laki-laki.

Gejala impostor syndrome diantaranya adalah keraguan diri yang berlebihan, cenderung meremehkan prestasi dan mengatribusikan kesuksesan diri kepada faktor eksternal seperti keberuntungan, kekhawatiran bahwa orang lain akan menemukan bahwa kita sebenarnya tidak kompeten, sering merasa perlu terus membuktikan diri sendiri kepada orang lain secara berlebihan, dan sering menunda pekerjaan karena takut terlihat tidak sempurna. Kalau beberapa gejala ini ada di dirimu, tenang, kamu nggak sendirian kok. Saya juga mengalaminya. Meskipun sudah bergelut di bidang komunikasi selama 20 tahun lebih, saya kadang merasa tidak punya cukup kompetensi untuk mengajar komunikasi. Yes, I’ve been practicing communication as a professional for more than 20 years, but teaching is a whole new ball game and I often felt that I was fooling everyone. Ketika saya mencoba mencari tahu lebih dalam mengenai sindrom ini, saya menemukan bahwa beberapa orang sukses yang saya kagumi juga mengakui mengalami sindrom ini seperti Maya Angelou, Neil Gaiman, bahkan Michele Obama, padahal kompetensi mereka tidak usah dipertanyakan lagi.

How to overcome it? Kalau kamu merasa memiliki sindrom ini, bagus. You’ve already taken the first step, because you’re becoming aware of it. Langkah pertama adalah menyadari tantangan diri sebelum mencoba memperbaikinya. Untuk saya, hal yang saya lakukan dalam menghadapi sindrom yang sangat kontra produktif ini adalah dengan meredam suara-suara negatif di dalam kepala saya, berhenti meremehkan kompetensi dan prestasi diri, tidak membandingkan diri dengan orang lain, dan banyak berdialog dengan orang-orang yang menyadari kelebihan-kelebihan saya. Be kind to yourself. Dan yang paling penting, stop menunda pekerjaan. Menunda pekerjaan adalah kebiasaan yang sering dilakukan orang yang mengidap impostor syndrome karena terobsesi dengan kesempurnaan. Fokus ke progres dan proses, bukan ke hasilnya saja.

Kalau ingin tahu lebih banyak mengenai Impostor Syndrome ada beberapa literatur yang bisa kamu baca, seperti:
1. The Impostor Syndrome: Becoming an Authentic Leader, Harold Hillman,
2. The Reality of Impostor Syndrome: Overcoming Internalized Barriers to Professional Development, Josephine E. Pemberton, Suzanne J. Imes.
3. Chasing the High: An Entrepreneur’s Mindset Through Imposter Syndrome, Michael G. Dash.