by admin | May 20, 2024 | Self Development
As time goes by, humans must lead within their circles. Starting from leading in the kindergarten line, being parents for our kiddo, to leading your team towards the company’s objectives. I don’t believe that someone is born as a leader. You, who are reading this article, can also be a leader. The question is: how much eagerness do you put into it?
Sacrifice for everything you want, or else everything you want will become your sacrifice. One of the things that I have learned until this is how my observation (as I enjoy being a listener) turn into positive feedback for myself and others. However, being judgmental and giving feedback are related.
I found two methods on how to give positive feedback without being judgmental that you can implement.
1. The GROW model by Max Landsberg (For performance reviews)
GOAL
Ensure and believe that we have a common goal and the same direction. Different ways but one direction.
REALITY
You must listen and fully understand the challenges people face in achieving the goal. Remember to ask the question, ‘Do you think/feel…?’ instead of ‘I think…
OPTION
Asking for their opinion to get a genuine answer while avoiding disagreement reactions. At this time, we are trying to read carefully and identify what the problem is, and then provide other options to achieve the goal.
WILL
The people will not agree to the new option if there’s no benefit for them or if it’s forced. An inspirational conversation needs to be built so that people trust and believe in the option.
2. Feedback Sandwich
Start with a compliment.
Always express gratitude and appreciation by giving positive feedback on what they did. Small compliments can make people feel appreciated.
Present positive options. Afterward, ask for their opinion on what they did and request permission to share your point of view and perspectives of others.
Positive closing. Conclude your feedback by motivating and encouraging them
In practical terms, I use a combination of these methods. The GROW method is what I used to use when I was in a corporate setting, providing feedback in professional situations such as performance reviews for my Sales/RM Team. However, the feedback sandwich is something I utilize in every situation, including when I am facilitating. Offering compliments or positive comments to people can increase endorphin levels. Comments like ‘I like your smile,’ ‘I like your color blazer,’ or ‘How did you get those unique sneakers?’ are the kinds of remarks that can prompt someone to engage in conversation with you and feel appreciated.
Sometimes, differences or conflicts arise from misunderstandings, especially when we don’t know people well. A personal touch is necessary to understand people’s thoughts and feelings. This is what makes us unique, intelligent human beings rather than artificial entities.
However, providing feedback to others is essential for the betterment of all of us in a positive way, and avoiding causing pain to others. So, are you still willing to give painful feedback to others?
Written by Fernando Edo
Edited by Alyezca Disya
by admin | Jun 16, 2023 | Self Development
Oleh Erwin Parengkuan
Sebuah curhatan dari sesi minggu lalu telah membuat saya menyimpan pemikiran ini untuk beberapa hari, rasanya setiap orang harusnya sudah tahu siapa dirinya dan konsep diri seperti apa yang ingin ia tampilkan, tetapi ketika dalam sesi itu, seorang leader yang bisa dibilang memiliki jabatan tinggi dan selalu bertemu dengan network yang luas ternyata dengan terbuka mengatakan “Saya tidak tahu siapa diri saya? Saya sering bertanya ke dalam diri, siapa saya? Tetapi selalu kebingungan untuk menemukan jawabannya!” Dari tampak luar leader ini terlihat tangguh juga tenang. Tapi siapa yang tahu isi hati seseorang?
Bisingnya hiruk-pikuk dunia ini telah membuat kita lebih banyak melihat ke luar daripada ke dalam diri. Kegalauan semacam ini tentu bukan hal baru, semakin banyak kita terus melihat ke luar, akan semakin sulit kita menentukan konsep diri kita. Contoh di atas tidak menyinggung soal seseorang yang masuk kategori people pleaser, melainkan murni ketika hidup kita terlalu bising dan dikelilingi oleh orang-orang yang tidak otentik tentu semakin besar potensi kelalauan tentang konsep diri ini.
Menurut saya, ada banyak kesempatan yang dapat kita ambil untuk menemukan tentang cara membuat konsep diri, sebelum saya uraikan, 4 faktor penyebab ini dapat memicu seseorang tidak mengetahui siapa dirinya:
• Dikelilingi oleh orang-orang yang palsu
• Gaya hidup hedonis
• Tidak memiliki waktu dengan dirinya
• Dan terlalu takut dibilang jelek oleh orang lain.
Beberapa waktu yang lalu juga seorang teman curhat kepada saya, ia mengatakan hal yang hampir sama dengan contoh di atas. Ia merasa lelah karena terlalu banyak mengikuti permintaan orang lain, melayani orang lain bahkan kerap melupakan dirinya sendiri. Rupanya semakin bising hidup kita, semakin kesulitan seseorang untuk bertanya ke dalam tentang konsep dirinya.
5 langkah berikut ini dapat membantu Anda yang mungkin masih memerlukan bantuan dalam membentuk konsep diri yang utuh:
1. Kekuatan Diri
Tuliskan hal-hal yang menjadi kekuatan diri kita. Hal yang kita yakini 100% ada dalam diri kita. Bukan sebuah pencapaian tetapi sebuah tindakan/perilaku yang selalu kita lakukan secara alami muncul dari dalam diri. Misalnya saya adalah seseorang yang cepat belajar, terbuka, dll
2. Meditasi
Tidak bisa dipungkiri, berbicara dengan diri sendiri, mendengarkan diri sendiri akan kita dapatkan dalam momen meditasi. Hening dan diam untuk 5 menit, atau bahkan waktu yang lebih. Memiliki waktu dengan meditasi setiap hari, akan membantu kita lebih tenang dalam menghadapi berbagai macam tuntutan dari dunia ini. Cobalah tentukan berapa lama waktu kita akan meditasi dan fokus kepada nafas kita. Ambil waktu terbaik, entah pagi hari sebelum berkegiatan atau malam hari sebelum tidur. Segala sesuatu yang kita lakukan dengan hening, seperti membaca buku, dalam kesendirian menikmati indahnya alam termasuk dalam bentuk meditasi
3. Lingkungan Positif
Teliti siapa saja orang-orang disekeliling kita. Apakah mereka adalah teman-teman yang tulus kepada kita? Tulislah 5 orang terdekatmu, coba liat hal baik apa yang telah kita berikan kepada mereka, begitupun sebaliknya. Bila tidak ada, bisa jadi kita berada dalam lingkungan pertemanan yang tidak sehat
4. Memiliki Mentor
Carilah seorang mentor yang dapat melatih kita dalam mengasah kemampuan. Atasan di kantor dapat kita minta waktunya seminggu sekali selama 30 menit untuk membantu kita membukakan potensi diri. Atau kalau tidak ada yang dapat diandalkan, carilah di lingkungan sosial lainnya. Seorang mentor yang baik adalah seseorang yang mengacu kepada sebuah kebaikan
5. Tujuan Hidup
Kalau keempat faktor diatas sudah kita jalankan, mulailah membuat catatan dalam jurnal kita tentang tujuan hidup yang akan kita capai. Tujuan jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Sesekali luangkan waktu untuk kembali melihatnya bahkan merevisinya.
Dengan 5 langkah membentuk konsep diri tersebut, diharapkan kita lebih mengenal siapa diri kita sebenarnya. Tidak ada lagi kebingungan dan muncul pertanyaan “Siapa saya?”, beranilah untuk menunjukkan diri dengan bangga dan menyatakan “ini loh saya”.
Editor: Alyezca Disya Rahadiz
by admin | Jun 13, 2023 | Self Development
Ditulis oleh: Irina Dewi – TALKINC Facilitator

Rasa tidak yakin dengan kemampuan diri adalah hal yang biasa dialami oleh para profesional. Tetapi merasa diri sendiri penipu dengan menihilkan kompetensi dan pencapaian diri, apalagi menganggap bahwa semua yang dicapai adalah faktor kebetulan? Hati-hati, mungkin dirimu menghadapi yang namanya Impostor Syndrome!
Impostor syndrome sebetulnya bukan istilah baru, meskipun gaungnya baru terasa di 5 tahun terakhir. Istilah ini pertama kali muncul pada tahun 1978 melalui sebuah artikel yang ditulis oleh dua orang psikolog bernama Pauline Rose Clance dan Suzanne Imes, berjudul “The Impostor Phenomenon in High Achieving Women: Dynamics and Therapeutic Intervention.’ Di artikel ini dijelaskan bahwa Impostor Syndrome adalah sebuah pola psikologis di mana seseorang meragukan kemampuan dan pencapaiannya, merasa diri tidak kompeten, meskipun ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa kita adalah orang yang kompeten dan memiliki pencapaian yang cukup. Orang yang mempunyai impostor syndrome sering percaya bahwa prestasi yang dicapai hanyalah sebuah ‘kebetulan’, bukan sebuah hasil dari usaha keras dan kemampuan yang dimiliki. Meskipun jurnal ini berfokus pada perempuan, tapi riset lanjutan juga menunjukkan bahwa sindrom ini kerap juga terjadi pada laki-laki.
Gejala impostor syndrome diantaranya adalah keraguan diri yang berlebihan, cenderung meremehkan prestasi dan mengatribusikan kesuksesan diri kepada faktor eksternal seperti keberuntungan, kekhawatiran bahwa orang lain akan menemukan bahwa kita sebenarnya tidak kompeten, sering merasa perlu terus membuktikan diri sendiri kepada orang lain secara berlebihan, dan sering menunda pekerjaan karena takut terlihat tidak sempurna. Kalau beberapa gejala ini ada di dirimu, tenang, kamu nggak sendirian kok. Saya juga mengalaminya. Meskipun sudah bergelut di bidang komunikasi selama 20 tahun lebih, saya kadang merasa tidak punya cukup kompetensi untuk mengajar komunikasi. Yes, I’ve been practicing communication as a professional for more than 20 years, but teaching is a whole new ball game and I often felt that I was fooling everyone. Ketika saya mencoba mencari tahu lebih dalam mengenai sindrom ini, saya menemukan bahwa beberapa orang sukses yang saya kagumi juga mengakui mengalami sindrom ini seperti Maya Angelou, Neil Gaiman, bahkan Michele Obama, padahal kompetensi mereka tidak usah dipertanyakan lagi.
How to overcome it? Kalau kamu merasa memiliki sindrom ini, bagus. You’ve already taken the first step, because you’re becoming aware of it. Langkah pertama adalah menyadari tantangan diri sebelum mencoba memperbaikinya. Untuk saya, hal yang saya lakukan dalam menghadapi sindrom yang sangat kontra produktif ini adalah dengan meredam suara-suara negatif di dalam kepala saya, berhenti meremehkan kompetensi dan prestasi diri, tidak membandingkan diri dengan orang lain, dan banyak berdialog dengan orang-orang yang menyadari kelebihan-kelebihan saya. Be kind to yourself. Dan yang paling penting, stop menunda pekerjaan. Menunda pekerjaan adalah kebiasaan yang sering dilakukan orang yang mengidap impostor syndrome karena terobsesi dengan kesempurnaan. Fokus ke progres dan proses, bukan ke hasilnya saja.
Kalau ingin tahu lebih banyak mengenai Impostor Syndrome ada beberapa literatur yang bisa kamu baca, seperti:
1. The Impostor Syndrome: Becoming an Authentic Leader, Harold Hillman,
2. The Reality of Impostor Syndrome: Overcoming Internalized Barriers to Professional Development, Josephine E. Pemberton, Suzanne J. Imes.
3. Chasing the High: An Entrepreneur’s Mindset Through Imposter Syndrome, Michael G. Dash.