tess
Belief System
oleh Erwin Parengkuan
Dalam sebuah pelatihan dengan 30 peserta yang semuanya adalah generasi Zillenials selama 2 hari penuh, saya berkesempatan mengenal mereka lebih dekat lagi. Menyelami pikiran dan ketakutan-ketakutan mereka, tepatnya ketika nanti akan ditempatkan di area kerja yang baru, bertemu dengan para senior level serta kekhawatiran tentang nasib karir mereka.
Ketika sesi terakhir, kami meminta mereka satu persatu untuk tampil presentasi tanpa slides dan menyampaikan materinya selama maksimal 2 menit. Ini adalah waktu yang paling saya nantikan karena saya akan melihat bagaimana mereka telah menerima materi dengan baik, adakah diantara mereka yang memiliki kemampuan komunikasi yang terbaik.
Seorang anak maju ke depan dan mulai menceritakan tentang pengalaman mengambil double degree di luar negeri. “Mulanya saya sangat ragu, apakah saya dapat berdikari tanpa dampingan keluarga di negara orang? Perasaan cemas itu semakin meningkat menjelang keberangkatan saya. Saya sangat risau, karena saya adalah satu-satunya anak perempuan di keluarga. Selama bersekolah saya selalu diantar jemput oleh orang tua. Mereka sangat melindungi saya dan sayapun nyaman dibuatnya. Tetapi ketika sampai kepada keputusan mengambil sekolah di LN, mereka membebaskan saya. Di sisi lain, ada perasaan penasaran, apakah saya betul bisa lepas dari keluarga saya? Bagaimana nanti kalau saya sakit, siapa yang akan merawat saya? Kalau ada yang tidak beres di tempat saya tinggal, kepada siapa saya meminta bantuan?” Demikian celoteh si anak Z ini kepada kami di kelas. Saya sangat menikmati ceritanya dengan alur yang baik, dan tentu penasaran akan bagaimana kelanjutan kisahnya.
“Akhirnya, ketika saya sudah sampai di negara itu, sudah masuk ke universitas yang saya impikan, sudah mendapatkan tempat tinggal yang tidak jauh dari kampus, ternyata semua yang saya takutkan tidak terjadi. Ini seperti kata hati saya ketika saya memutuskan untuk meninggalkan keluarga. Dalam hati saya bilang, kalau “ujian kecil” ini saja saya tidak bisa melewati, bagaimana dengan karir saya selanjutnya?”
Ternyata memang betul, sebuah keyakinan memang harus kita yang menciptakannya. Harus kita yang meyakininya. Kita harus memiliki kemampuan untuk memvisualisasikan bayangan itu dalam sebuah gambaran yang jelas, semakin jelas kita bayangkan, akan semakin mudah kita meraihnya! Ketika kita yakin, semua tindakan akan berjalan dengan baik. Bila kita percaya, semua akan terjadi seperti apa yang kita bayangkan. Belief System adalah suatu sikap yang ditunjukkan saat seseorang merasa mampu dan yakin. Ketika perasaan ini dipupuk maka akan menghasilkan sebuah kebenaran. Ketika kita berpikir negatif tentu hasilnya akan sama, begitupun sebaliknya. Ketika muncul perasaan ragu hendaknya kita langsung menganalisanya, apakah hal tersebut memiliki fakta yang kuat atau itu hanya sebuah ketakutan belaka/asumsi. Ketika proses ini kita jalankan terus, kita juga akan memiliki kemampuan untuk mengubah sebuah ketakutan menjadi sebuah usaha yang akan memberikan sebuah hasil. Bila hasilnya belum sesuai tentu kita akan mencari jalan keluar terbaik dan akan berjalan seperti apa yang sudah kita dipercayai, dan apa yang kita akan raih akan semakin jelas wujudnya.
Memaksimalkan Belief System sebagai modal keyakinan untuk menjadi terbaik dari diri kita menurut saya mutlak 100%. Berbagi faktor akan terus bermunculan, seperti pengaruh pola asuh, kemudian melihat figur yang dapat kita jadikan sebuah contoh, seberapa besar informasi akurat yang kita peroleh, termasuk lingkungan sosial akan memberikan kontribusi penting. Ketika proses ini tidak mendukung atas pembentukan yang akan kita yakini, hendaknya kita pandai-pandai menilainya dengan segera membuang yang buruk dan kembali mencari jalan terbaik, termasuk dalam mencari lingkungan yang lebih sehat yang dapat mempertebal system kepercayaan kita. Jangan lupa untuk terus memasukkan sugesti positif ke dalam diri secara terus menerus dengan melakukan self talk, self reflection, self control, self evaluation, dan self motivation. Seperti cerita manarik dari salah satu peserta di kelas saya. Oh ya satu lagi jangan lupa, bahwa kita adalah tuan untuk diri kita sendiri dan hanya kitalah yang dapat membuat diri kita sukses ataupun gagal dan semua ini berasal dari Belief System kita. Seperti kata sebuah tagline “Nothing is impossible!”
The Fundamental of Public Speaking
oleh Erwin Parengkuan
Menekuni profesi sebagai pengajar Public Speaking tanpa saya sadari sudah menginjak tahun ke 19, sama halnya dengan organisasi TALKINC ini. Dari begitu panjangnya perjalanan yang sudah saya lalui, berbagai tantangan berbagi di kelas sudah saya lewati. Peserta yang memiliki antusiasme yang tinggi, minat belajar yang muncul dari kebutuhan, atau karena diminta atasan atau orangtua, membuat saya merekam berbagai macam cara mereka mengutarakan pikiran, perasaannya, dan pendapatnya di depan kelas. Disitulah dinamika berbicara di depan publik dengan individu yang berbeda-beda, isi kepala, audiens yang juga berbeda-beda dengan tujuan pesan yang ingin kita sampaikan diterima 100% dengan baik, tanpa adanya distorsi apapun. Apakah semuanya berhasil menyampaikan pendapat dengan tepat?
Public Speaking atau cara berkomunikasi adalah sebuah landasan utama yang terpenting bagi kita umat manusia, tanpanya kita akan kesulitan untuk menyampaikan pesan apapun yang ada di kepala. Jadi Public Speaking adalah sebuah cara bagaimana seseorang mengutarakan/mengartikulasikan sebuah pesan agar jelas dan runut. Disinilah letak sebuah seni yang dulu kita banyak ketahui tentang 3 faktor yang harus dimiliki seseorang dalam berkomunikasi yaitu bahasa tubuh, suara dan kata-kata, seperti penelitian yang dilakukan oleh seorang professor Albert Mehrabian pada era sebelum digital datang. Saya tidak akan membahas itu karena memerlukan begitu banyak komponen pendukung didalamnya yang harus diasah terus menerus. Kali ini saya justru akan mengajak anda melihat sebuah hal utama dibalik itu yang perlu dimiliki.
Saya menyimpulkan bahwa Public Speaking sejatinya adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan dirinya. Bagaimana kita dapat mengatur ego kita dalam berkomunikasi, tidak dominan, tidak merasa paling benar, dan tidak otoriter. Dalam sebuah buku yang saya baca di tulis oleh pemenang Nobel Daniel Kahneman, ia menuliskan sebuah kesimpulan tentang “thinking fast and slow” bagaimana otak kita berpikir secara cepat dan lambat dalam mengambil sebuah keputusan yang memengaruhi cara kita dalam menentukan hal apapun. Begitupun halnya dalam seni berbicara, kita harus dapat mengendalikan diri kita, hanya kita yang dapat mengendalikannya.
Kemampuan seseorang dalam mengendalikan dirinya adalah sebuah fundamental dalam Public Speaking. Kita tentu tahu bahwa kecakapan seseorang dalam membawakan dirinya akan menciptakan sebuah relasi yang sangat indah. Saling menghargai, saling melindungi, saling menyayangi, dan peduli terhadap sesama. Hal inilah yang harus terlebih dahulu kita pahami, kuasai dan miliki dalam diri kita. Jadi akan jelas terlihat, mulai dari pemilihan kata-kata yang diucapkan seseorang, jelas terasa bagaimana ia memandang dirinya dan memandang orang lain. Kalau kata-kata, suara, bahasa tubuh bahkan cara berpenampilan yang kita lihat, dengar dan rasakan itu tidak mengena dihati kita, maka akan terlihat bagaimana hubungan yang akan terjadi selanjutnya.
Semua kata-kata yang kita ucapkan akan jadi pengukur yang jelas, bagaimana tingkat kepahaman dari apa yang kita ucapkan, akan terasa juga dan membekas di hati. Kata-kata seperti “masak gitu aja kamu enggak tahu!” melambangkan seseorang yang menganggap dirinya lebih baik dari orang lain, yang berimbas lawan bicara merasa direndahkan. Kemudian, dampak selanjutnya tidak akan terjadi sebuah komunikasi yang baik bila kalimat-kalimat seperti ini terus dikumandangkan, belum lagi intonasi dan bahasa tubuh yang mengiringinya memperkuat pesan tersebut.
Komunikasi adalah sebuah seni dalam membangun hubungan. Sepatutnya pemahaman fundamental ini dulu. Dan mulai sekarang, mari kita mengenal diri lebih baik, menguasai diri ,menghargai diri dan menghargai lawan bicara. Mulailah melihat kedalam diri sebelum kita melakukan komunikasi atau Public Speaking, agar terjadi hubungan yang selaras dan saling menghargai karena semua orang ingin diperlakukan dan diperhatikan dengan baik. Baru setelah itu kita latih intonasi dengan tepat, cocokan dengan bahasa tubuh, tekanan suara serta berpenampilan yang sesuai.
The Power of Words
Seorang profesor bernama Mehrabian di akhir tahun 1970 melakukan penelitian terhadap dampak dalam berkomunikasi yang kemudian menjadi acuan dasar manusia untuk menyampaikan sebuah pesan. Dari penelitian yang melibatkan 1000 responden itu, kata-kata yang kita ucapkan memberikan dampak hanya 7%, sisanya 38% adalah tekanan suara dan selebihnya adalah bahasa tubuh.
Penelitian ini sampai sekarang masih kita gunakan, walaupun sudah sedikit berubah seiring datangnya era digital. Sehingga saya menambahkan porsi gaya penampilan seseorang di dalam komponen-komponen tersebut. Menjadi kata-kata 10%, suara 20%, penampilan 10% dan bahasa tubuh 60%, seperti yang saya tuangkan dalam buku saya “Strategi Sukses Berkomunikasi Secara Efektif” terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2019. Mengacu dari teori sang profesor, tetap kata-kata memberikan dampak yang kecil. Pun demikian, kata-kata adalah senjata kita dalam menyampaikan sebuah pesan. Kata-kata yang tepat dapat membuat seseorang suka ataupun benci kepada kita. Membuat seseorang mengingat apa yang kita ucapkan atau mengabaikannya.
Pada artikel sebelumnya, saya juga telah membahas tentang pentingnya kita memiliki kemampuan kosa kata yang kaya dan beragam. Sayangnya kesadaran ini masih rendah pada masyarakat kita. Kita terlalu minim perbendaraan kata sehingga dengan hadirnya era digital yang kebanyakan mengumbar kata, akhirnya kata-kata yang sering kita gunakan terinspirasi dari jargon-jargon di sosmed, membuat kata-kata yang kita ambil, terdengar menjadi umum dan tidak berdampak.
Untuk itu pentingnya kita harus memiliki kepandaian memilih kata yang tepat agar dapat diingat dan dapat memberikan pengaruh kuat dalam menghasilkan sebuah tindakan yang kita harapkan dari sebuah tujuan komunikasi. Mulailah membiasakan diri dengan kemahiran merangkai kata yang tepat. Menggabungkan kata yang umum dengan kata yang jarang digunakan orang tetapi dapat di mengerti.
Sebuah kata-kata yang powerful banyak mengandung emosi. Bukan kata-kata seperti ketika kita akan memotivasi lawan bicara dengan berucap “kamu pasti bisa” melainkan memikirkan sekiranya lawan bicara kita akan tergerak bila kita masuk ke sisi emosinya terlebih dahulu kemudian menggabungkan dengan kata yang memotivasi. Contoh “saya paham kesulitan yang kamu hadapi dalam menjalankan tugas baru ini, seperti dalam setiap proses pembelajaran, tentu proses ini akan panjang dan berliku, akan tetapi kami percaya kamu dapat memberikan yang terbaik agar kinerja kamu dapat membawamu kepada jenjang karir yang lebih tinggi!”
Ada narasi yang kita persiapkan melalui tabungan kata-kata yang sudah tersimpan di memori kita. Kata-kata yang terlalu pendek, apalagi umum, terdengar biasa dan hanya lewat di telinga lawan bicara. Miliki waktu setiap hari untuk membaca banyak tulisan/narasi yang beragam adalah sebuah obat mujarab.
Mulai aktif menulis juga akan mengasah kemampuan merangkai kata. Saya sendiri melakukannya secara rutin, dan bila melihat sebuah jargon atau sepenggal kata yang saya temukan, saya kemudian akan membuat kalimat yang berbeda dan mencatat pada notes saya. Ketika kita terus mengasah dan mencatatnya, kita akan semakin mahir dalam menyusun kata-kata yang powerful dan jangan lupa untuk membaca kemampuan isi kepala lawan bicara kita. Agar tepat dan membantu mereka berpikir dan tergerak.