Dalam sebuah sesi training selama dua hari dengan para leader dari sebuah brand lokal, seorang bos mengeluh kepada saya tentang salah satu leadernya yang selalu menonjol dalam setiap training, akan tetapi ketika kembali bekerja, ia tidak seperti apa yang ditampilkan di dalam kelas. Anak buahnya sering kebingungan dengan sikap dan keputusan yang diambilnya.
Saya bertemu dengan anak ini selama dua hari, saya mencoba untuk netral agar dapat melakukan observasi apa yang terjadi. Memang anak ini menonjol di kelas, perawakannya yang menarik, rapih dan aktif di dalam kelas. Ketika sesi tampil ia pun menunjukkan keterampilannya dalam presentasi. Saya mengamati dengan seksama, ternyata ada bahasa tubuh yang terlihat dipaksakan. Terutama dari gestur tangan ketika ia mulai berbicara, sebuah hentakan yang tidak alami dan juga tekanan suara yang terdengar dipaksakan dari beberapa penggalan kata yang ia ucapkan sehingga kesannya saya seperti melihat seorang orator berbicara dengan meletup-letup.
Cerita saya diatas tadi menunjukkan tentang bagaimana setiap orang harus memiliki kesadaran yang utuh dalam membawakan dirinya termasuk dalam presentasi. Apalagi saya sudah mendapatkan insight dari atasannya. Ketika kita memiliki kesadaran yang utuh dalam setiap interaksi dengan siapapun, kita akan dapat mengetahui apakah hubungan yang sudah kita lakukan sudah sesuai datang dari hati, atau kita justru memilih untuk tidak alami/berpura-pura?
Kalau kita bahas tentang kelima indera manusia, indera perasa merupakan bagian terpenting dalam komunikasi yang dapat tersimpan begitu lama tentang kesan apa yang ditimbulkan seseorang dalam keseharian mereka, termasuk ketika kita bekerja dan beraktivitas. Kita juga sejatinya dapat merasakan keberadaan seseorang apakah yang ia lakukan itu tulus datang dari hatinya atau dibuat-buat. Apalagi untuk para pemimpin yang memiliki kesempatan sangat besar untuk selalu diamati oleh anak buahnya. Berkomunikasi dengan hati tentu akan terasa di hati dan dapat membuat organisasi yang dipimpinnya menjadi lebih produktif dan memperluas target market.
Begitulah makna mendalam tentang komunikasi yang sesungguhnya. Karena ketika kita memulainya dengan hati, akan ada empati dan semua orang akan merasa dihargai sehingga akan membuat suasana keterbukaan yang baik dan kondusif dalam setiap organisasi.
Ketika hari kedua berlangsung, anak ini bertanya kepada saya tentang apakah kita harus bersikap sama dalam setiap kesempatan, sama yang dimaksud adalah menampilkan diri kita yang jujur dan terbuka, tanpa ada tendensi apapun kepada siapapun? Saya menjawab tentu apa yang kita tampilkan dalam keseharian, di pekerjaan harus menggambarkan diri kita sesungguhnya, sehingga kita tidak akan lelah mengatur diri kita dan selalu menjadi versi terbaik dalam diri kita setiap hari. Bayangkan kalau kita memiliki lebih dari 3 lingkungan, di keluarga, kantor dan pertemanan, kita memiliki “wajah” yang berbeda-beda maka akan sangat repotnya kita menempatkan diri yang pada akhirnya akan membuat diri kita jauh dari apa yang sesungguhnya ada dalam diri kita.
Saatnya belajar mengenal diri lebih baik, terbuka akan evaluasi diri, melakukan self check setiap saat setelah kita berbicara dan melihat dengan jernih bagaimana sikap dan cara kita berkomunikasi dengan siapapun tanpa terkecuali. Karena setiap orang akan senang berjumpa dengan orang yang tulus, jujur dan terbuka, disitulah indahnya sebuah hubungan yang akan terjalin dan semua orang akan berbicara dengan menghargai dirinya dan juga orang lain.