Membangun Relasi tanpa Ekspektasi

Manusia memiliki ragam karakter dan tentu banyak faktor yang mempengaruhi dalam terbentuknya karakter yang dimiliki, salah satunya lingkungan atau tuntutan pekerjaan. Terdapat seorang pemimpin yang sangat senior, dimana ia 5 tahun lagi akan mengakhiri masa pensiun dan telah mededikasikan waktu dan tenaganya di perusahaan awal ia bekerja sampai mencapai posisi puncak sebagai seorang Chief Financial Officer. Orang-orang yang berkutat dengan angka dalam pekerjaannya, rata-rata identik dengan orang yang kaku dan sangat teratur. Tentu, apalagi berhubungan dengan perusahaan besar yang dipimpinnya. Tidak ada satu angka pun yang boleh salah karena akan berimbas dengan kefatalan dan kerugian besar bagi perusahaan. Kaku, tegas dan ekspresi wajah yang cenderung datar. Jadi demikianlah yang terlihat dari coachee saya. Untuk itu ia membutuhkan sesi coaching ini agar membantunya menjadi figur yang mewakili perusahaannya untuk dapat berbagi cerita di forum-forum besar.

Pada awal sesi, sangat terlihat memang kaku, dingin dan bicara apa adanya. Sangat tidak cocok ketika kualitas ini dibawa sampai ke atas panggung, tentu menjadi tidak menarik dan membosankan. Sesi demi sesi berjalan, kekakuan demi kekakuan itu semakin memudar. Kalimat dalam judul ini, muncul spontan dari saya ketika kami bicara tentang membangun sebuah relasi tanpa ekspektasi. Saya sendiri kaget dengan kalimat yang terucap. Coba bayangkan, bagaimana bisa seseorang dalam membangun sebuah relasi tidak memiliki ekspektasi?

Waktu itu saya tanpa sengaja melihat wawancara seorang senior yang usianya 97 tahun dengan seorang reporter di jalan yang bertanya ; “Apa rahasianya bisa memiliki umur yang panjang?” (ia terlihat bugar tidak seperti usianya), dan menjawab bahwa “Untuk umur panjang harus dapat melepaskan keterikatan, sesuatu yang tidak dapat kita ubah, harus kita lepaskan sehingga kita bisa menerima apapun yang kita lihat dan harapkan dari orang lain.” Mungkin, pernyataan ini yang menempel dalam ingatan saya sehingga ketika sesi coaching itu berlangsung sehingga dengan ringan hal tersebut terlontar begitu saja.

Coachee sayapun mempertanyakan — kenapa bisa begitu? Ketika kita dengan hati tulus untuk terbuka dan bercerita dari hati, kita akan dengan mudah melontarkan apa yang ada dari hati dan pikiran untuk dapat diterima oleh hati dan pikiran lawan bicara / audiens kita. Lantas, ketika kita tidak memiliki ekspektasi apapun melainkan hanya dengan niat berbagi, tentu kita akan lebih ringan menjalankan tugas kita di hidup ini, termasuk dalam berkomunikasi. Seperti pepatah mengatakan “giving without expecting!” sebuah kata-kata yang powerful mengandung makna sangat dalam yang saat ini mutlak kita lakukan bersama.

Coba pikirkan kalimat tersebut dan refleksikan baik-baik, banyaknya persinggungan yang terjadi dalam komunikasi di kehidupan kita terjadi karena kita kerap memiliki ekpektasi yang kepada orang lain, terutama kepada orang-orang terdekat ini. Dalam sebuah teknik coaching yang saya pelajari, bahwa kita tidak memiliki kuasa apapun kepada orang lain, dan jika orang lain ingin berubah tentu kesadaran ini harus datang dari dalam dirinya. We can’t change people but we adapt. Untuk itu, judul tulisan ini akan membantu kita lebih ringan dalam menjalani hidup dan tentunya lebih bahagia. Bila kita memiliki kegagalan dalam membangun relasi tentu kita akan menjadi kecewa dan marah. Hendaknya kita terus memberi tanpa berharap kembali, untuk hidup yang lebih sejahtera. Kalau hati dan pikiran kita sejahtera, kita akan menjalankan fungsi kita dengan maksimal dan terus berfokus kepada peningkatan diri kita. Kerena hanya itu yang dapat kita lakukan, mengendalikan diri dan memperbaiki diri secara terus menerus.

Ditulis oleh Erwin Parengkuan

Penyunting: Alyezca Disya Rahadiz

Testimoni Regular Class Public Speaking Professional Batch 87

Ketertarikan saya untuk mengikuti Public Speaking di TALKINC bermula sejak tahun lalu dan atas rekomendasi beberapa sahabat saya yang juga seorang MC. Saya tertarik mengembangkan kemampuan berbicara di depan public dengan audience dengan terstruktur. Saya mencoba mencari informasi kelas Public Speaking di TALKINC dan akhirnya terealisasikan di Batch 87 yakni Public Speaking Professional dengan pertemuan tatap muka (offline).

Teknik pengajaran di TALKINC mengharuskan peserta untuk praktik setiap minggu dan membuat kami menjadi lebih terarah dari minggu ke minggu. Semua materi yang disampaikan dalam setiap encounter sangat menarik dan bermanfaat, Secara pribadi materi yag saya butuhkan untuk ditingkatkan adalah The Opening Speech dan Creating Impressive Presentation Slides.

Jika dihitung dalam komponen persen (%) maka the opening speech bernilai 10% akan tetapi dalam sebuah public speaking pentingnya opening speech tidak hanya sekedar memberikan ucapan “Selamat pagi” atau “Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”. Dalam opening speech memuat komponen Greetings, Introduction, Story Telling dan Interaction. Bagaimana menyisipkan bercerita mengenai sejarah, pengalaman pribadi ataupun cerita orang lain yang pernah kita dengar dan menjadi latar belakang materi presentasi yang akan kita sampaikan. Hal ini menjadi penarik agar audience tertarik mendengarkan materi yang disampaikan sampai selesai.

Selain itu, secara pribadi saya perlu untuk membuat materi presentasi menjadi tools yang menarik dan terstruktur. Dalam encounter 8 yang disampaikan oleh Mas Aurellio Kaunang menjelaskan bahwa presenter, tools dan audience harus menjadi satu synergy yang utuh. Dimana tools yakni materi presentasi menjadi perfect asistant dari seorang presenter. Seperti yang disampaikan Mas Aurellio: “pada akhirnya public speaking merupakan seni berkomunikasi yang disampaikan secara terstruktur dan materi presentasi harus dibuat secara ringkas, bermakna dan dengan visual yang berkesan bagi audience”.

Ditulis ole Deny Suhendi

The Monkey Mind vs The Monk Mind

Saya senang sekali dengan perbandingan analogi ini dan sangat tepat menggambarkan kehidupan dunia modern sekarang yaitu The Monkey Mind & The Monk Mind. Ketika kita sedang berhadapan dengan seseorang terkadang kita merasa kesulitan untuk fokus dan berkonsentrasi mendengarkan apa yang ia utarakan, ataupun ketika kita sedang mengerjakan sebuah tugas, terkadang pikiran kitapun terbang ke sana – kemari. Istilah the monkey mind adalah seekor monyet yang selalu loncat dari satu dahan ke dahan lainnya, persis mungkin dengan pikiran seseorang yang sulit konsentrasi, kerap resah. Sedangkan istilah the monk mind adalah para biksu yang memiliki pemikiran terarah hanya kepada satu dahan dan tidak kemana-mana.

Dalam sebuah sesi coaching dengan seorang CEO perusahaan besar di negara ini, ia mengatakan kepada saya bahwa kegiatan pagi sebelum memulai pekerjaannya dan saat malam untuk menutup harinya adalah berdoa selama masing-masing 20 menit, ia menghabiskan waktu setiap hari 40 menit untuk berdoa, tetapi dari penjelasannya, ia menyadari ketika berdoa, pikirannya selalu berpindah-pindah antara tugas, keinginan pribad,i dan urusan keluarga. Akhirnya kegiatan berdoa hanya sebagai sebuah syarat/ritual bahwa ia telah menjalankan rutinitas tersebut tanpa berkonsentrasi penuh.

Pikiran kita memang mudah berpindah-pindah, walaupun tubuh kita tidak. Kesulitan untuk fokus/konsentrasi akan banyak memberikan kerugian kepada seseorang. Mulai dari semua yang dijalankan hanya ada di permukaan saja, tidak mendalami 100%, dan tentunya hal ini akan berdampak buruk kepada relasi yang kita bangun dengan orang lain. Sering kali saya berhadapan dengan mereka-mereka yang memiliki the monkey mind. Apa yang saya berikan tidak dapat ditangkap 100% akhirnya, saya akan kembali mengulang-ulang semua yang sudah disampaikan. Hubungan menjadi tidak harmonis, tidak se-frekuensi karena lawan bicara kita tidak menyimak dengan baik.

Belajar dari mereka-mereka yang fokus, seperti monk, tentu akan membantu kita menjadi lebih mudah belajar banyak aspek yang tidak kita pahami di dunia ini. Belajar untuk mengerti apa yang lawan bicara sampaikan, memahami apa yang ingin diutarakan, bahkan dapat pula merasakan apa yang ia rasakan ketika kita dapat menahan pikiran kita untuk terus bersamanya. Hal ini akan lebih mudah membuat koneksi dengan lawan bicara kita.

Memangnya mudah? Tentu mudah bila kita ingin mencobanya. Cobalah perintahkan ke dalam diri ketika kita ingin memulai latihan ini, entah ketika kita sedang mengerjakan sebuah pekerjaan, berbicara dengan seseorang, bahkan ketika kita sedang diam. Intruksikan ke diri kita untuk diam dan berkonsentrasi dan mendengarkan dengan seksama, mengamati tanpa menginterupsi, mengamati tanpa membiarkan pikiran kita kepada tuduhan atau asumsi yang ada dalam kepala kita dalam situasi apapun. Saya termasuk orang yang dulu sulit fokus, apalagi gangguan smartphone yang betul-betul sebuah godaan terbesar dan malapetaka, jauhkan diri kita dari semua distraksi itu dan mulailah berlatih, sedikit demi dikit. Contoh mudah dalam keseharian yang saya lakukan, misalnya ketika banyak WA yang harus saya buka dan jawab, saya akan memilih dulu mana yang lebih penting, ketika saya sudah memilih membuka 1 WA, dan membaca dan menemukan saya harus melakukan follow up kepada orang lain, saya tidak akan menunggu, melainkan menyelesaikannya sampai tuntas, membalasnya kembali, baru membuka WA yang lain dan begitu selanjutnya. Saya menemukan sebuah pola untuk teknik menjawab ini yang sangat mudah. One step at the time.

Rasakan manfaat dan dampaknya ketika kita bisa lebih konsentrasi. Kita akan menjadi pribadi yang lebih tenang, tidak mudah memotong pembicaraan orang lain bahkan menjadi pribadi yang menyenangkan karena kita mau mendengar apa yang diutarakan orang lain kepada kita. Memiliki the monk mind adalah sebuah penghargaan kepada diri kita sendiri dan tentu penghargaan kepada orang lain. Bahwa semua orang yang kita jumpai itu berharga dan penting yang tentunya kita akan membuka diri lebih dalam agar dapat memahami banyak aspek yang tidak kita ketahui dari apa yang kita lihat dan dapatkan di dunia ini.

Ditulis oleh Erwin Parengkuan

Materi Favorite dari Public Speaking Professional Class

Pengalaman saya dalam mengikuti kelas “Public Speaking Professional” di TALKINC benar-benar luar biasa! Terutama ketika kami sampai pada sesi mengenai “The Closing Speech” yang diajarkan oleh Lala Tangkudung. Materi ini menjadi favorite saya karena Lala Tangkudung adalah fasilitator yang sangat kompeten dalam mengajar. Beliau mampu dengan sangat baik mengupas satu per satu dari materi-materi sebelumnya, memastikan kami memahaminya dengan baik. Sesi tersebut benar-benar memberikan pemahaman mendalam tentang bagaimana mempertajam kemampuan public speaking dalam waktu singkat, bahkan dalam 3 menit.

Kelas “Public Speaking Professional” di TALKINC juga berhasil menciptakan lingkungan yang mendukung proses pembelajaran. Selama sesi tersebut, para peserta benar-benar merasa termotivasi dan mendapatkan dukungan yang dibutuhkan untuk mengembangkan keterampilan berbicara di depan umum. Kombinasi antara materi yang lengkap dan pengajaran yang interaktif membuat kami merasa lebih percaya diri dalam berkomunikasi.

Saya sangat merekomendasikan kelas “Public Speaking Professional” di TALKINC kepada siapa saja yang ingin meningkatkan kemampuan berkomunikasi mereka. Ini adalah investasi yang sangat berharga untuk siapa pun yang ingin menjadi lebih baik dalam berbicara di depan umum. Sesi “The Closing Speech” bersama Lala Tangkudung adalah salah satu contoh bagus bagaimana kelas ini memberikan pengalaman pembelajaran yang berkualitas dan relevan.

Ditulis oleh Dinto P.

“Best Leaders With The Right Mindset”: Menyulam Kualitas, Menyemai Keberhasilan

“Pemimpin itu harus pria, harus yang tua, harus yang senior, harus yang paling lama bekerja, harus yang paling pintar, harus yang paling berkuasa” adalah stigma-stigma banyak orang menegenai seorang pemimpin yang terbentuk dan beredar di Indonesia saat ini. Emang boleh seterbatas ini dalam menjadi pemimpin?
Hal yang menarik untuk dibahas dan terjawab pada buku yang berjudul “Best Leaders With The Right Mindset” karangan ke-11 Mas Erwin Parengkuan. Buku ini baru saja launching pada Rabu (29/11) di Gramedia Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Menghadirkan narasumber yakni Mba Ajeng Raviando untuk mengupas buku ini dari sudut pandang seorang Psikolog Professional.

Mas Erwin menyadari bahwa tantangan dan kompleksitas zaman ini menuntut adanya pemimpin yang memiliki kualitas. Kualitas tidak berkaitan dengan stigma-stigma di awal tulisan ini yakni “si paling”, tapi menyoroti nilai-nilai yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Bagi Mas Erwin, pemimpin bukan sosok otoriter karena akan menyandera kebebasan & kreativitas individu, melainkan memancarkan wibawa, ketegasan, dan pribadi yang menyenangkan.

Lebih dari itu, nilai-nilai teguh menjadi fondasi esensial, karena pemimpin masa depan yang bernas harus mampu memandu dengan moralitas yang tinggi. Kesadaran akan aspek humanis juga menjadi landasan penting dalam pandangan Mas Erwin, menggarisbawahi bahwa seorang pemimpin sejati harus memahami dan peduli terhadap kebutuhan dan aspirasi anggota yang dipimpinnya.

Buku “Best Leaders With The Right Mindset” mengupas tuntas kualitas yang harus dimiliki seorang pemimpin ini, dilengkapi juga oleh banyak best practices dan berbagai contoh kepemimpinan yang sukses dalam menginspirasi, juga memberikan dorongan yang memotivasi baik dalam skala kecil maupun besar. Buku ini dipertajam dengan melibatkan dua pihak ahli neuroscience yakni: Dr. Nico Wanandy, Ph. D. dan Dr. Riza Arief Putranto, Ph. D. bahwa pemimpin yang sukses ialah dapat mengendalikan egonya, karena ego memengaruhi pola pikir serta hormon yang dapat mendikte seseorang.

Dengan demikian, mahakarya “Best Leaders With The Right Mindset: Jurus Ampuh Mengalahkan Ego, Menavigasi Tim, dan Mengembangkan Bisnis” bertujuan untuk menginspirasi dan membekali generasi masa kini dengan pemimpin-pemimpin yang tidak hanya kompeten secara profesional, tetapi diperkuat dengan nilai-nilai berkualitas serta mampu memberikan kontribusi positif yang besar bagi kemajuan masyarakat secara keseluruhan.