Materi Favorite dari Public Speaking Professional Class

Pengalaman saya dalam mengikuti kelas “Public Speaking Professional” di TALKINC benar-benar luar biasa! Terutama ketika kami sampai pada sesi mengenai “The Closing Speech” yang diajarkan oleh Lala Tangkudung. Materi ini menjadi favorite saya karena Lala Tangkudung adalah fasilitator yang sangat kompeten dalam mengajar. Beliau mampu dengan sangat baik mengupas satu per satu dari materi-materi sebelumnya, memastikan kami memahaminya dengan baik. Sesi tersebut benar-benar memberikan pemahaman mendalam tentang bagaimana mempertajam kemampuan public speaking dalam waktu singkat, bahkan dalam 3 menit.

Kelas “Public Speaking Professional” di TALKINC juga berhasil menciptakan lingkungan yang mendukung proses pembelajaran. Selama sesi tersebut, para peserta benar-benar merasa termotivasi dan mendapatkan dukungan yang dibutuhkan untuk mengembangkan keterampilan berbicara di depan umum. Kombinasi antara materi yang lengkap dan pengajaran yang interaktif membuat kami merasa lebih percaya diri dalam berkomunikasi.

Saya sangat merekomendasikan kelas “Public Speaking Professional” di TALKINC kepada siapa saja yang ingin meningkatkan kemampuan berkomunikasi mereka. Ini adalah investasi yang sangat berharga untuk siapa pun yang ingin menjadi lebih baik dalam berbicara di depan umum. Sesi “The Closing Speech” bersama Lala Tangkudung adalah salah satu contoh bagus bagaimana kelas ini memberikan pengalaman pembelajaran yang berkualitas dan relevan.

Ditulis oleh Dinto P.

“Best Leaders With The Right Mindset”: Menyulam Kualitas, Menyemai Keberhasilan

“Pemimpin itu harus pria, harus yang tua, harus yang senior, harus yang paling lama bekerja, harus yang paling pintar, harus yang paling berkuasa” adalah stigma-stigma banyak orang menegenai seorang pemimpin yang terbentuk dan beredar di Indonesia saat ini. Emang boleh seterbatas ini dalam menjadi pemimpin?
Hal yang menarik untuk dibahas dan terjawab pada buku yang berjudul “Best Leaders With The Right Mindset” karangan ke-11 Mas Erwin Parengkuan. Buku ini baru saja launching pada Rabu (29/11) di Gramedia Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Menghadirkan narasumber yakni Mba Ajeng Raviando untuk mengupas buku ini dari sudut pandang seorang Psikolog Professional.

Mas Erwin menyadari bahwa tantangan dan kompleksitas zaman ini menuntut adanya pemimpin yang memiliki kualitas. Kualitas tidak berkaitan dengan stigma-stigma di awal tulisan ini yakni “si paling”, tapi menyoroti nilai-nilai yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Bagi Mas Erwin, pemimpin bukan sosok otoriter karena akan menyandera kebebasan & kreativitas individu, melainkan memancarkan wibawa, ketegasan, dan pribadi yang menyenangkan.

Lebih dari itu, nilai-nilai teguh menjadi fondasi esensial, karena pemimpin masa depan yang bernas harus mampu memandu dengan moralitas yang tinggi. Kesadaran akan aspek humanis juga menjadi landasan penting dalam pandangan Mas Erwin, menggarisbawahi bahwa seorang pemimpin sejati harus memahami dan peduli terhadap kebutuhan dan aspirasi anggota yang dipimpinnya.

Buku “Best Leaders With The Right Mindset” mengupas tuntas kualitas yang harus dimiliki seorang pemimpin ini, dilengkapi juga oleh banyak best practices dan berbagai contoh kepemimpinan yang sukses dalam menginspirasi, juga memberikan dorongan yang memotivasi baik dalam skala kecil maupun besar. Buku ini dipertajam dengan melibatkan dua pihak ahli neuroscience yakni: Dr. Nico Wanandy, Ph. D. dan Dr. Riza Arief Putranto, Ph. D. bahwa pemimpin yang sukses ialah dapat mengendalikan egonya, karena ego memengaruhi pola pikir serta hormon yang dapat mendikte seseorang.

Dengan demikian, mahakarya “Best Leaders With The Right Mindset: Jurus Ampuh Mengalahkan Ego, Menavigasi Tim, dan Mengembangkan Bisnis” bertujuan untuk menginspirasi dan membekali generasi masa kini dengan pemimpin-pemimpin yang tidak hanya kompeten secara profesional, tetapi diperkuat dengan nilai-nilai berkualitas serta mampu memberikan kontribusi positif yang besar bagi kemajuan masyarakat secara keseluruhan.

Testimoni kelas public speaking Batch 89

Saya adalah orang yang sering takut salah ketika berbicara atau berkomunikasi, apalagi komunikasi tersebut dilakukan secara professional. Meskipun saya mengetahui dan menguasai apa yang ingin dibicarakan tetapi terkadang ketakutan tersebut membuat apa yang disampaikan kurang maksimal. Ketika saya mengetahui ada kelas public speaking, saya bersemangat untuk mengikuti kelas ini karena menurut saya kelas ini dapat membantu permasalahan saya ketika berbicara di publik secara professional.

Selama mengikuti kelas, semua fasilitator menjelaskan dengan detail dan memberikan contoh yang sangat membantu untuk diterapkan di dalam day to day communication dan public speaking. Menariknya, semua materinya dikemas dengan ringkas sehingga mudah untuk dipahami dan diingat.

Salah satu materi favorit saya selama di kelas adalah The Opening Speech. Materi tersebut memberikan pehamanan bagaimana cara membuka pembicaraan/presentasi dengan baik sehingga audience memiliki interest untuk mengetahui apa yang ingin kita sampaikan. Selain itu, alasan saya menyukai materi The opening speech, karena pada saat akan mulai presentasi atau berbicara saya sering merasa bingung dan takut salah ketika memulai presentasi tersebut, jika saya bisa melakukan opening dengan baik biasanya untuk penyampaian selanjutnya saya akan lebih tenang dan percaya diri dengan apa yang saya sampaikan. Dengan materi the opening speech yang salah satu materinya adalah GISI (Greetings, Introduction, Storytelling & Interaction) ini membantu saya dalam menyusun struktur dalam memulai sebuah presentasi/ pembicaraan.

Oleh Ayu Sinta

To Find Your BEST SELF

Memberikan hasil terbaik untuk diri sendiri dan terus bertumbuh, tidak ada kata menyerah! Saya sering sekali mengucapkan kata-kata ini dalam setiap pelatihan untuk para peserta. Mungkin Anda pun pernah atau sering mendengar kata-kata ini. Suatu Minggu pagi ketika saya memiliki hasrat yang besar untuk menulis rutin, saya masih kebingungan mau menulis apa, semacam virus “writer block” yang mati gaya, mau menulis tapi tidak tahu apa yang hendak ditulis. Perspektif saya, ingin menulis yang berbeda dari tulisan-tulisan terdahulu, tapi apa? Hingga saya duduk di pojok di tempat kesukaan untuk membaca buku di teras rumah sambil memandang tanaman yang tumbuh subur serta pohon besar aneka rupa ditemani kicau burung dan semilir angin dan mulailah saya meneruskan membaca buku dengan judul “The 5 am Club” karangan motivator terkenal Robin Sharma yang telah menjual bukunya laris manis hingga 15 juta eksemplar seluruh dunia. Dalam salah satu bab diceritakan percakapan antara seorang artist dan pengemis, dan pengemis ini mengatakan apa yang ia dapatkan dari sang guru: “To find your best self you must lose your weak self.” Membaca kata-kata ini saya langsung terbakar dan berbagai macam kekurangan diri mucul dalam benak saya. Sebuah kata-kata yang sederhana, sebuah perlawanan kata: Best dan Weak yang memang saling berkaitan. Jadi saya kemudian merefleksikan diri, bagaimana seseorang bisa menjadi best self tanpa membuang weak self?

Dalam berbagai pekerjaan yang kita lakoni, hubungan antar manusia selalu menjadi jembatan terbaik, entah di kantor, di rumah, di lingkungan, dimanapun, kita tidak bisa terlepas dari hubungan itu. Dan semua masalah yang timbulpun akan muncul karenanya, yaitu hubungan yang tidak harmonis akan menjadi pematik sebuah masalah. Ketika ini dibiarkan tentu nyala api akan berkobar semakin besar. Ada orang yang memilih untuk segera bertindak memadamkan api entah bagaimana cara penyelesaiannya, ada yang memilih untuk menghindar atau kabur dari situasi ini. Manusia memang kompleks, tetapi manusia juga diberikan kebebasan untuk memilih dan menentukan berdasarkan pilihannya. Ketika kita sudah paham tentang penyelesaian sebuah masalah, dan membereskannya kemudian kita akan menjadi lebih lega dan senang. Begitupun sebaliknya bila masalah tidak selesai-selesai, pikiran kita semakin terbebani, hidup menjadi lebih berat.

Sambil berjalan ke bawah mengambil sekotak buah saya di kulkas, pikiran saya langsung mengacu kepada tulisan ini, dan menumpahkannya kepada Anda. Saya lantas berpikir, terlepas dari permasalahan yang dihadapi dengan pihak lain, seseorang untuk dapat menjadi best self tentu harus mengenal dirinya terlebih dahulu, mengenal dirinya terlebih dahulu, harus betul-betul kenal, sifat, watak, perilaku, kompetensi yang kita punya, baik, buruknya dengan sungguh jujur. Saya tahu terkadang masih memiliki ekpektasi yang besar kepada orang-orang di sekitar saya, berharap mereka juga memiliki pemahaman yang sama dengan saya, tetapi saya sadar setiap orang tidak sama, sehingga saya harus membuang perasaan ingin mengendalikan mereka, terkadang saya suka terbawa emosi ketika sesuatu tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan, dan saya harus membuang emosi itu dan dapat segera mengendalikan dan mengatasinya. Jadi ketika kita jujur dengan kekurangan yang ada di diri kita, kita akan dengan mudah secara perlahan-lahan menghilangkannya.

Akan sangat sulit buat seseorang ingin menciptakan dirinya menjadi versi terbaik tetapi tidak memiliki kesadaran akan hal-hal yang lemah ada dalam diri dan tentu akan terus ada dan dipertahankan. Sebuah kalimat dari buku itu telah menjadi motivasi terbesar saya untuk tidak lengah akan kelemahan yang kita miliki, untuk di buang jauh-jauh… sehingga ada ruang baru untuk menciptakan best self kita. Sudahkah Anda merefleksikan apa yang menjadi kelemahan pada diri sendiri untuk menjadi your best self?

Oleh Erwin Parengkuan

Echo Chambers Tantangan dalam Komunikasi Efektif?

Apakah kamu dikelilingi dengan orang-orang yang selalu sependapat denganmu? Apakah di antara teman-teman terdekatmu tidak ada satupun orang yang punya pendapat berseberangan denganmu dalam hal politik, ekonomi, agama, dan isu sosial? Sekarang coba buka media sosialmu. Apakah pendapat dan sudut pandang konten media sosialmu cenderung seragam dan jarang berlawanan dengan pendapatmu secara sosial, ekonomi, dan politik? Apakah semuanya seperti mengkonfirmasi pandangan pribadimu? Kalau kamu menjawab YA di hampir semua pertanyaan tadi, besar kemungkinannya bahwa kamu terjebak dengan yang dikenal dengan istilah Echo Chamber.

Istilah echo chamber pertama kali muncul tahun 2007 dari penulis dan aktivis Amerika, Cass Sunstein, dalam bukunya yang berjudul “Republic.com 2.0.” Echo chamber adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sebuah lingkungan di mana opini, pandangan, dan informasi, hanya menguatkan dan mengonfirmasi keyakinan yang sudah ada, dan mengabaikan pandangan alternatif atau berbeda. Dalam sebuah echo chamber kita cenderung berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pandangan yang sejalan dengan kita, mengonsumsi media atau sumber informasi yang mengkonfirmasi keyakinan kita, dan mempertahankan pemikiran kelompok yang homogen.

Apa bahayanya Echo Chamber? Dalam konteks komunikasi efektif, Echo chamber dapat memiliki dampak negatif pada kemampuan komunikasi kita. Ini alasannya:

1. Kurangnya eksposur pada pandangan yang berbeda. Ketika kita terjebak dalam echo chamber, kita cenderung hanya terpapar pada sudut pandang yang sejalan dengan keyakinan kita. Ini dapat menyebabkan ketidakmampuan untuk memahami pandangan yang berbeda atau untuk berkomunikasi secara efektif dengan orang-orang yang memiliki pandangan atau pendapat yang berbeda. Kita akan menjadi close minded ketika berhadapan dengan pandangan yang bersebrangan dengan kita.

2. Ketidakseimbangan informasi. Echo chambers cenderung menyediakan informasi yang hanya menguatkan keyakinan yang sudah ada. Ketika kita hanya terpapar pada sudut pandang yang sejalan dengan keyakinan kita, kita tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang argumen, data, atau fakta yang mendukung pandangan alternatif. Akibatnya, ketika berkomunikasi dengan orang-orang yang memiliki pandangan yang berbeda, kita tidak memiliki basis informasi yang cukup untuk memahami dan merespons argumen tersebut.

3. Kehilangan kemampuan mendengar dengan objektif. Echo chambers dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk mendengar sebuah opini berbeda dengan objektif dan terbuka. Kita cenderung memfilter informasi dan argumen yang tidak sejalan dengan keyakinan kita atau langsung menolaknya. Ini dapat menghambat kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik, karena komunikasi yang efektif membutuhkan kemampuan untuk mendengarkan dengan objektif, menghargai perspektif orang lain, dan merespons secara terbuka.

Untuk memperbaiki kemampuan komunikasi, penting untuk kita melangkah keluar dari echo chamber, dengan cara:

1. Diversifikasi sumber informasi. Upayakan untuk mengakses berbagai sumber berita dan informasi yang memiliki perspektif yang beragam. Jangan hanya mengandalkan satu sumber atau jenis media tertentu. Cari sumber-sumber yang mewakili sudut pandang yang berbeda dan yang menyajikan berbagai pendapat. Also, read more books with various point of views, so you can have your own critical thinking.

2. Berinteraksi dengan banyak teman dan kolega dengan pandangan yang berbeda, buka diri untuk mendengarkan dan berdiskusi. Ajukan pertanyaan, dengarkan argumen mereka, dan cobalah memahami perspektif mereka. Ini dapat membantu kita memperluas pemahaman dan melihat sudut pandang yang berbeda. Komunikasi yang baik melibatkan kemampuan untuk mendengarkan dan memahami sudut pandang orang lain.

3. Jika aktif di media sosial, pastikan bahwa lingkaran media sosialmu tidak terlalu homogen. Ikuti dan lakukan interaksi dengan orang-orang yang memiliki pandangan berbeda. Change your algorithm.

Ditulis Oleh : Irina Dewi