Public Speaking: #MulaiAjaDulu

Pada masa pandemik, semua berlomba untuk hidup sehat dengan cara berolahraga dan mengonsumsi makanan sehat. Saya termasuk yang ingin hidup sehat dengan berolahraga rutin. Karena saat PPKM tidak diperbolehkan keluar, saya menggantinya dengan olahraga di dalam rumah saya yang sangat strategis (toilet, meja makan, kamar berdekatan) jadi saya mencoba untuk melakukan push-up. Hari pertama target saya adalah 30x push-up dalam 5 menit dan berhasil walaupun dengan muka biru. Hari Kedua saya merasa sakit di bagian dada dan tangan sehingga memutuskan untuk “break” sampai hari kelima. Lalu saya berpikir untuk me–“reset” intensitas push up dimulai dari 20 dan naik tiap minggunya secara konsisten. Di akhir bulan Agustus, Saya sudah berhasil push-up sebanyak 140x dalam waktu 7 Menit tanpa “break”. Dan saya sadar ketika push-up ini menjadi satu kebiasaan, alam bawah sadar akan memerintahkan otak untuk harus melakukannya tanpa ada rasa beban.

Seperti judul tulisan ini yang saya ambil dari tagline marketplace yakni “mulai saja dulu” dengan usaha yang sangat kecil. Seringkali setiap peserta di kelas selalu bertanya bagaimana untuk mahir dalam “public speaking” atau ingin menjadi seorang pembawa acara di kantor. Itu semua bisa dimulai dari hal sederhana yang kemudian dilakukan secara konsisten. Misal, ajukan satu pertanyaan di setiap meeting jika Anda terbiasa hanya menjadi “follower”. You have to “Speak up” and express your idea. Ketika sudah terbiasa untuk mengajukan pertanyaan pada sesi meeting, maka akan berkembang tidak hanya mengajukan pertanyaan tetapi dapat mencetuskan memberi ide. Setelah terbiasa berani berbicara, maka coba beranikan diri untuk mengajukan diri menjadi pembawa acara di acara internal kantor. Terkadang memulai sesuatu terasa lebih berat, kenapa? Karena banyak ketakutan & kekhawatiran dalam pikiran diri yang padahal belum tentu terjadi. Ketika sudah mulai, maka kebiasaan lah yang akan membuat Anda menjadi mahir dalam satu spesifik keahlian yang Anda inginkan. Keluar dari zona nyaman memang hal yang paling menantang. Tapi percaya, itu akan membuat Anda menjadi pribadi yang tangguh dan bisa beradaptasi di era yang penuh dengan ketidakpastian ini.

Yuk, Mulai aja dulu!

Penulis: Fernando Edo – TALKINC Main Facilitator

Editor: Alyezca Disya Rahadiz

Just Another Monday

Oleh Erwin Parengkuan

Sebuah diskusi yang dalam dan menarik ketika saya membawakan sesi dengan para leader dari perusahaan platform digital, dimana kami membicarakan tentang bagaimana seseorang dapat berubah menjadi versi best-self terutama ketika pertama kali bertemu dengan orang baru dan ingin membangun relasi jangka panjang. Saya mengatakan bahwa salah satu hal terpenting adalah menjadi pribadi yang ‘pleasant’. Seorang peserta mengaku menemui kesulitan dalam memberikan apresiasi sebagai indikator seseorang dapat dibilang menyenangkan. Buat dirinya setiap hari adalah Just Another Monday! Bukan berarti ia tidak memerhatikan lawan bicara, tetapi ia merasa takut garing, dan takut salah kalau serta merta memberikan apresiasi itu, selain bukan kebiasaan sehingga ia menyimpannya dalam hati saja. Mungkin ada di antara Anda yang masih memiliki keraguan seperti itu. Menjalankan ritual business as usual ketika bertemu dengan orang baru, tidak ada bonding, dan tidak ada personal touch.

Apakah perilaku seperti ini akan diingat oleh lawan bicara? Tentu tidak! Umumnya semua orang yang logis akan melakukan hal yang sama terus menerus. Seperti salah seorang profesional mengatakan hal yang sama “Buat apa memberikan apresiasi kalau ternyata kita tidak dapat memberikan bobot dalam setiap ucapan yang kita lakukan dalam konteks pekerjaan?” saya kemudian memberikan pilihan kepada mereka. Pilih mana? Berbobot tapi tidak ada personal approach, atau menyenangkan tetapi tidak berbobot, atau menyenangkan dan berbobot?

Setiap orang memiliki harapan untuk selalu diperhatikan. Dalam sebuah jurnal tentang mental health issue yang baru saja dikeluarkan belum lama ini; mengatakan bahwa setelah pandemi berakhir banyak warga di US makin merasa kesepian dan akibatnya membuat mereka merasa hidup tidak ada artinya. Mereka menjadi frustasi, apatis dan mencoba mengakhiri hidupnya. Keadaan ini lebih mengkhawatirkan daripada penyakit generatif dll. Artinya sebagai mahluk sosial kita harus tetap menjalin relasi dengan semua orang, semakin dekat hubungan yang kita jalin akan semakin bahagia seseorang. Dalam riset ini juga mengungkapkan semakin lama kita berinteraksi hanya di media sosial, semakin membuat seseorang menjadi depresi kosong jiwanya.

Tidak ada di antara kita yang mau hidupnya tidak bahagia. Jadi cobalah mulai sekarang melatih diri untuk menjadi lebih perhatian kepada orang yang kita jumpai. Seorang peserta juga menyambar dengan sebuah pernyataan “Gimana kalau respon lawan bicara kita datar? atau ia tidak bergeming? Ini akan membuat kami lebih takut lagi dalam memberikan perhatian!” satu peserta lainnya di sesi itu melengkapi dengan penjelasan yang baik “Selama kita tulus menyampaikannya, kita tidak perlu khawatir dengan apresiasi yang kita berikan, terlepas orang itu akan menerima atau memberikan respon tidak seperti yang kita harapkan!”

Ada sebuah istilah yang sangat indah yaitu “giving without expecting” ini akan membantu siapapun untuk belajar menerima, memberi tanpa berharap yang tentu akan membuat kita tidak memiliki ekspektasi apapun kepada siapapun. Menurut saya pernyataan itu adalah sebuah filosofi yang sangat bijaksana. Kita akhirnya akan menjadi pribadi yang menyenangkan dimanapun kita berada, lebih ikhlas. Selama hal tersebut kita lakukan dari hati dan tidak berharap apapun, jiwa kita semakin besar, kita menjadi orang yang selalu juga berpikir besar dan pada akhirnya akan mengasah diri kita menjadi manusia unggul dengan mental yang kuat dan pikiran yang terus terbuka.

Mari kita teruskan niat baik ini agar jiwa kita terpenuhi untuk menjadi diri yang lebih baik dari waktu ke waktu. Kita tidak membiarkan mood menguasai diri kita dan memiliki kesadaran penuh untuk terus berbagi, sehingga hari Senin kita tidak seperti hari Senin kebanyakan orang.