SELF CONCEPT: Siapa saya?

Oleh Erwin Parengkuan

Sebuah curhatan dari sesi minggu lalu telah membuat saya menyimpan pemikiran ini untuk beberapa hari, rasanya setiap orang harusnya sudah tahu siapa dirinya dan konsep diri seperti apa yang ingin ia tampilkan, tetapi ketika dalam sesi itu, seorang leader yang bisa dibilang memiliki jabatan tinggi dan selalu bertemu dengan network yang luas ternyata dengan terbuka mengatakan “Saya tidak tahu siapa diri saya? Saya sering bertanya ke dalam diri, siapa saya? Tetapi selalu kebingungan untuk menemukan jawabannya!” Dari tampak luar leader ini terlihat tangguh juga tenang. Tapi siapa yang tahu isi hati seseorang?

Bisingnya hiruk-pikuk dunia ini telah membuat kita lebih banyak melihat ke luar daripada ke dalam diri. Kegalauan semacam ini tentu bukan hal baru, semakin banyak kita terus melihat ke luar, akan semakin sulit kita menentukan konsep diri kita. Contoh di atas tidak menyinggung soal seseorang yang masuk kategori people pleaser, melainkan murni ketika hidup kita terlalu bising dan dikelilingi oleh orang-orang yang tidak otentik tentu semakin besar potensi kelalauan tentang konsep diri ini.

Menurut saya, ada banyak kesempatan yang dapat kita ambil untuk menemukan tentang cara membuat konsep diri, sebelum saya uraikan, 4 faktor penyebab ini dapat memicu seseorang tidak mengetahui siapa dirinya:

• Dikelilingi oleh orang-orang yang palsu
• Gaya hidup hedonis
• Tidak memiliki waktu dengan dirinya
• Dan terlalu takut dibilang jelek oleh orang lain.

Beberapa waktu yang lalu juga seorang teman curhat kepada saya, ia mengatakan hal yang hampir sama dengan contoh di atas. Ia merasa lelah karena terlalu banyak mengikuti permintaan orang lain, melayani orang lain bahkan kerap melupakan dirinya sendiri. Rupanya semakin bising hidup kita, semakin kesulitan seseorang untuk bertanya ke dalam tentang konsep dirinya.

5 langkah berikut ini dapat membantu Anda yang mungkin masih memerlukan bantuan dalam membentuk konsep diri yang utuh:

1. Kekuatan Diri
Tuliskan hal-hal yang menjadi kekuatan diri kita. Hal yang kita yakini 100% ada dalam diri kita. Bukan sebuah pencapaian tetapi sebuah tindakan/perilaku yang selalu kita lakukan secara alami muncul dari dalam diri. Misalnya saya adalah seseorang yang cepat belajar, terbuka, dll

2. Meditasi
Tidak bisa dipungkiri, berbicara dengan diri sendiri, mendengarkan diri sendiri akan kita dapatkan dalam momen meditasi. Hening dan diam untuk 5 menit, atau bahkan waktu yang lebih. Memiliki waktu dengan meditasi setiap hari, akan membantu kita lebih tenang dalam menghadapi berbagai macam tuntutan dari dunia ini. Cobalah tentukan berapa lama waktu kita akan meditasi dan fokus kepada nafas kita. Ambil waktu terbaik, entah pagi hari sebelum berkegiatan atau malam hari sebelum tidur. Segala sesuatu yang kita lakukan dengan hening, seperti membaca buku, dalam kesendirian menikmati indahnya alam termasuk dalam bentuk meditasi

3. Lingkungan Positif
Teliti siapa saja orang-orang disekeliling kita. Apakah mereka adalah teman-teman yang tulus kepada kita? Tulislah 5 orang terdekatmu, coba liat hal baik apa yang telah kita berikan kepada mereka, begitupun sebaliknya. Bila tidak ada, bisa jadi kita berada dalam lingkungan pertemanan yang tidak sehat

4. Memiliki Mentor
Carilah seorang mentor yang dapat melatih kita dalam mengasah kemampuan. Atasan di kantor dapat kita minta waktunya seminggu sekali selama 30 menit untuk membantu kita membukakan potensi diri. Atau kalau tidak ada yang dapat diandalkan, carilah di lingkungan sosial lainnya. Seorang mentor yang baik adalah seseorang yang mengacu kepada sebuah kebaikan

5. Tujuan Hidup
Kalau keempat faktor diatas sudah kita jalankan, mulailah membuat catatan dalam jurnal kita tentang tujuan hidup yang akan kita capai. Tujuan jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Sesekali luangkan waktu untuk kembali melihatnya bahkan merevisinya.

Dengan 5 langkah membentuk konsep diri tersebut, diharapkan kita lebih mengenal siapa diri kita sebenarnya. Tidak ada lagi kebingungan dan muncul pertanyaan “Siapa saya?”, beranilah untuk menunjukkan diri dengan bangga dan menyatakan “ini loh saya”.

Editor: Alyezca Disya Rahadiz

Impostor Syndrome: Rasa Tidak Yakin Dengan Kemampuan Sendiri

Ditulis oleh: Irina Dewi – TALKINC Facilitator

Rasa tidak yakin dengan kemampuan diri adalah hal yang biasa dialami oleh para profesional. Tetapi merasa diri sendiri penipu dengan menihilkan kompetensi dan pencapaian diri, apalagi menganggap bahwa semua yang dicapai adalah faktor kebetulan? Hati-hati, mungkin dirimu menghadapi yang namanya Impostor Syndrome!

Impostor syndrome sebetulnya bukan istilah baru, meskipun gaungnya baru terasa di 5 tahun terakhir. Istilah ini pertama kali muncul pada tahun 1978 melalui sebuah artikel yang ditulis oleh dua orang psikolog bernama Pauline Rose Clance dan Suzanne Imes, berjudul “The Impostor Phenomenon in High Achieving Women: Dynamics and Therapeutic Intervention.’ Di artikel ini dijelaskan bahwa Impostor Syndrome adalah sebuah pola psikologis di mana seseorang meragukan kemampuan dan pencapaiannya, merasa diri tidak kompeten, meskipun ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa kita adalah orang yang kompeten dan memiliki pencapaian yang cukup. Orang yang mempunyai impostor syndrome sering percaya bahwa prestasi yang dicapai hanyalah sebuah ‘kebetulan’, bukan sebuah hasil dari usaha keras dan kemampuan yang dimiliki. Meskipun jurnal ini berfokus pada perempuan, tapi riset lanjutan juga menunjukkan bahwa sindrom ini kerap juga terjadi pada laki-laki.

Gejala impostor syndrome diantaranya adalah keraguan diri yang berlebihan, cenderung meremehkan prestasi dan mengatribusikan kesuksesan diri kepada faktor eksternal seperti keberuntungan, kekhawatiran bahwa orang lain akan menemukan bahwa kita sebenarnya tidak kompeten, sering merasa perlu terus membuktikan diri sendiri kepada orang lain secara berlebihan, dan sering menunda pekerjaan karena takut terlihat tidak sempurna. Kalau beberapa gejala ini ada di dirimu, tenang, kamu nggak sendirian kok. Saya juga mengalaminya. Meskipun sudah bergelut di bidang komunikasi selama 20 tahun lebih, saya kadang merasa tidak punya cukup kompetensi untuk mengajar komunikasi. Yes, I’ve been practicing communication as a professional for more than 20 years, but teaching is a whole new ball game and I often felt that I was fooling everyone. Ketika saya mencoba mencari tahu lebih dalam mengenai sindrom ini, saya menemukan bahwa beberapa orang sukses yang saya kagumi juga mengakui mengalami sindrom ini seperti Maya Angelou, Neil Gaiman, bahkan Michele Obama, padahal kompetensi mereka tidak usah dipertanyakan lagi.

How to overcome it? Kalau kamu merasa memiliki sindrom ini, bagus. You’ve already taken the first step, because you’re becoming aware of it. Langkah pertama adalah menyadari tantangan diri sebelum mencoba memperbaikinya. Untuk saya, hal yang saya lakukan dalam menghadapi sindrom yang sangat kontra produktif ini adalah dengan meredam suara-suara negatif di dalam kepala saya, berhenti meremehkan kompetensi dan prestasi diri, tidak membandingkan diri dengan orang lain, dan banyak berdialog dengan orang-orang yang menyadari kelebihan-kelebihan saya. Be kind to yourself. Dan yang paling penting, stop menunda pekerjaan. Menunda pekerjaan adalah kebiasaan yang sering dilakukan orang yang mengidap impostor syndrome karena terobsesi dengan kesempurnaan. Fokus ke progres dan proses, bukan ke hasilnya saja.

Kalau ingin tahu lebih banyak mengenai Impostor Syndrome ada beberapa literatur yang bisa kamu baca, seperti:
1. The Impostor Syndrome: Becoming an Authentic Leader, Harold Hillman,
2. The Reality of Impostor Syndrome: Overcoming Internalized Barriers to Professional Development, Josephine E. Pemberton, Suzanne J. Imes.
3. Chasing the High: An Entrepreneur’s Mindset Through Imposter Syndrome, Michael G. Dash.

Its not just about communication. Its about ‘build the relationship’

Tulisan ini tertuang dari sebuah pengalaman saya pada saat menjadi facilitator di sebuah “online class” dimana ada satu peserta yang memiliki pendapat bahwa berbicara itu menyampaikan pesan, ide dan perintah. Memang peserta tersebut tidak menceritakan secara detail apa yang dimaksud komunikasi dari pandangannya. Tapi, saya sudah bisa menarik kesimpulan bahwa arti dari komunikasi hanya sebatas itu.

Kalau TALKINC friends suka membaca artikel di website ini, Mas Erwin Parengkuan sudah membahas tuntas mengenai komunikasi itu seni membangun hubungan. Nah, sekaran saya Tanya, siapa di sini yang merasa beraaaatt sekaliii untuk memulai pembicaraan dengan orang lain? Hahaha mungkin ada yang mengaku dan tidak yaaa. Baik saya contohkan dengan diri saya ya.

Saya itu termasuk orang yang sulit (malas) untuk memulai pembicaraan dengan siapapun. Tapi karena pekerjaan yang mengharuskan saya untuk menjadi orang yang talk-active, saya paksa sehingga ini sudah menjadi kebiasaan setiap kali bertemu dengan orang baru. Memulai pembicaraan. Ada banyak buku / literasi yang menuntun kita bagaimana memulai percakapan. Bagi TALKINC Friends yang merasa “eh relate banget dengan saya nih”, boleh untuk dicoba yaa.

Saya selalu memulai percakapan dari keadaan sekitar mulai dari mengomentari topik sederhana seperti cuaca, kemacetan yang terjadi, atau bahkan tempat bertemu kita dengan lawan bicara. Mengapa dari topik-topik tersebut untuk memulai pembicaraan? Karena dari topik sederhana itu mudah dipahami dan dikomentari oleh banyak orang, dan saat itu kita sedang mencari “chemistry” dengan lawan bicara. Masuk ke tahap selanjutnya yaitu mencari persamaan seperti makanan kesukaan. Ya topik ini yang paling mudah dibawa ke dalam pembicaraan sebagai “ice breaking” sekaligus kita mencari persamaan dengan lawan bicara.

Pada saat saya bekerja menjadi Marketing Manager, tugas saya yaitu membuka kerjasama dengan berbagai pihak. Salah satunya adalah dengan produsen wine dan saya ditawari untuk mengikuti wine tasting. Wine tasting ini tentu acara khusus yang biasanya diikuti oleh orang-orang yang berhubungan dan memiliki pengetahuan banyak tentang wine. Malam itu juga saya belajar istilah dasar mengenai wine agar saya dapat in-line saat mengobrol tentunya. Pada saat wine tasting, saya harus bolak balik ke kamar kecil karena muka saya merah dan mencoba untuk cuci muka agar tidak terlihat. Karena ini untuk kepentingan bisnis saya berusaha untuk bertahan dan menemani produsen wine hingga larut malam. Selama wine tasting tidak ada pembicaraan bisnis sedikitpun. Selang beberapa hari, proposal kerjasama akhirnya disetujui dan kami pun bekerjasama. Apa maksud dari cerita ini? Terkadang kita perlu melakukan penyesuaian dalam mencapai tujuan kita — dalam kasus ini kesepakatan bisnis. Hal ini bukan berarti kita menjadi 180o orang yang berbeda ya.

Cerita lain berasal dari teman saya. Ia bercerita harus membeli raket tenis hanya karena keesokan harinya harus menemani client bermain tenis. Saat bermain tenis, Ia hanya sanggup bermain selama 15 menit karena memang belum pernah bermain tenis. Namun, dari situ timbul rasa respect dan segan dari client kepada teman saya sehingga kesepakatan bisnis pun tercapai. Inti dari ke dua cerita ini adalah alangkah akan lebih maksimal jika kita dapat menyentuh hati lawan bicara kita. Artinya kita memiliki keseriusan dalam dalam membangun hubungan.

Terdapat salah satu quotes dari Nelson Mandela yang memiliki makna bahwa ketika kita berbicara maka gunakan bahasa yang dapat menyentuh hati dari lawan bicara kita.

TALKINC Friends, mungkin Anda fasih berbagai bahasa asing. Tapi apakah “bahasa” yang Anda gunakan sesuai dengan lawan bicara Anda?

Penulis: Fernando Edo – TALKINC Main Facilitator

Editor: Alyezca Disya Rahadiz

Public Speaking: #MulaiAjaDulu

Pada masa pandemik, semua berlomba untuk hidup sehat dengan cara berolahraga dan mengonsumsi makanan sehat. Saya termasuk yang ingin hidup sehat dengan berolahraga rutin. Karena saat PPKM tidak diperbolehkan keluar, saya menggantinya dengan olahraga di dalam rumah saya yang sangat strategis (toilet, meja makan, kamar berdekatan) jadi saya mencoba untuk melakukan push-up. Hari pertama target saya adalah 30x push-up dalam 5 menit dan berhasil walaupun dengan muka biru. Hari Kedua saya merasa sakit di bagian dada dan tangan sehingga memutuskan untuk “break” sampai hari kelima. Lalu saya berpikir untuk me–“reset” intensitas push up dimulai dari 20 dan naik tiap minggunya secara konsisten. Di akhir bulan Agustus, Saya sudah berhasil push-up sebanyak 140x dalam waktu 7 Menit tanpa “break”. Dan saya sadar ketika push-up ini menjadi satu kebiasaan, alam bawah sadar akan memerintahkan otak untuk harus melakukannya tanpa ada rasa beban.

Seperti judul tulisan ini yang saya ambil dari tagline marketplace yakni “mulai saja dulu” dengan usaha yang sangat kecil. Seringkali setiap peserta di kelas selalu bertanya bagaimana untuk mahir dalam “public speaking” atau ingin menjadi seorang pembawa acara di kantor. Itu semua bisa dimulai dari hal sederhana yang kemudian dilakukan secara konsisten. Misal, ajukan satu pertanyaan di setiap meeting jika Anda terbiasa hanya menjadi “follower”. You have to “Speak up” and express your idea. Ketika sudah terbiasa untuk mengajukan pertanyaan pada sesi meeting, maka akan berkembang tidak hanya mengajukan pertanyaan tetapi dapat mencetuskan memberi ide. Setelah terbiasa berani berbicara, maka coba beranikan diri untuk mengajukan diri menjadi pembawa acara di acara internal kantor. Terkadang memulai sesuatu terasa lebih berat, kenapa? Karena banyak ketakutan & kekhawatiran dalam pikiran diri yang padahal belum tentu terjadi. Ketika sudah mulai, maka kebiasaan lah yang akan membuat Anda menjadi mahir dalam satu spesifik keahlian yang Anda inginkan. Keluar dari zona nyaman memang hal yang paling menantang. Tapi percaya, itu akan membuat Anda menjadi pribadi yang tangguh dan bisa beradaptasi di era yang penuh dengan ketidakpastian ini.

Yuk, Mulai aja dulu!

Penulis: Fernando Edo – TALKINC Main Facilitator

Editor: Alyezca Disya Rahadiz

Just Another Monday

Oleh Erwin Parengkuan

Sebuah diskusi yang dalam dan menarik ketika saya membawakan sesi dengan para leader dari perusahaan platform digital, dimana kami membicarakan tentang bagaimana seseorang dapat berubah menjadi versi best-self terutama ketika pertama kali bertemu dengan orang baru dan ingin membangun relasi jangka panjang. Saya mengatakan bahwa salah satu hal terpenting adalah menjadi pribadi yang ‘pleasant’. Seorang peserta mengaku menemui kesulitan dalam memberikan apresiasi sebagai indikator seseorang dapat dibilang menyenangkan. Buat dirinya setiap hari adalah Just Another Monday! Bukan berarti ia tidak memerhatikan lawan bicara, tetapi ia merasa takut garing, dan takut salah kalau serta merta memberikan apresiasi itu, selain bukan kebiasaan sehingga ia menyimpannya dalam hati saja. Mungkin ada di antara Anda yang masih memiliki keraguan seperti itu. Menjalankan ritual business as usual ketika bertemu dengan orang baru, tidak ada bonding, dan tidak ada personal touch.

Apakah perilaku seperti ini akan diingat oleh lawan bicara? Tentu tidak! Umumnya semua orang yang logis akan melakukan hal yang sama terus menerus. Seperti salah seorang profesional mengatakan hal yang sama “Buat apa memberikan apresiasi kalau ternyata kita tidak dapat memberikan bobot dalam setiap ucapan yang kita lakukan dalam konteks pekerjaan?” saya kemudian memberikan pilihan kepada mereka. Pilih mana? Berbobot tapi tidak ada personal approach, atau menyenangkan tetapi tidak berbobot, atau menyenangkan dan berbobot?

Setiap orang memiliki harapan untuk selalu diperhatikan. Dalam sebuah jurnal tentang mental health issue yang baru saja dikeluarkan belum lama ini; mengatakan bahwa setelah pandemi berakhir banyak warga di US makin merasa kesepian dan akibatnya membuat mereka merasa hidup tidak ada artinya. Mereka menjadi frustasi, apatis dan mencoba mengakhiri hidupnya. Keadaan ini lebih mengkhawatirkan daripada penyakit generatif dll. Artinya sebagai mahluk sosial kita harus tetap menjalin relasi dengan semua orang, semakin dekat hubungan yang kita jalin akan semakin bahagia seseorang. Dalam riset ini juga mengungkapkan semakin lama kita berinteraksi hanya di media sosial, semakin membuat seseorang menjadi depresi kosong jiwanya.

Tidak ada di antara kita yang mau hidupnya tidak bahagia. Jadi cobalah mulai sekarang melatih diri untuk menjadi lebih perhatian kepada orang yang kita jumpai. Seorang peserta juga menyambar dengan sebuah pernyataan “Gimana kalau respon lawan bicara kita datar? atau ia tidak bergeming? Ini akan membuat kami lebih takut lagi dalam memberikan perhatian!” satu peserta lainnya di sesi itu melengkapi dengan penjelasan yang baik “Selama kita tulus menyampaikannya, kita tidak perlu khawatir dengan apresiasi yang kita berikan, terlepas orang itu akan menerima atau memberikan respon tidak seperti yang kita harapkan!”

Ada sebuah istilah yang sangat indah yaitu “giving without expecting” ini akan membantu siapapun untuk belajar menerima, memberi tanpa berharap yang tentu akan membuat kita tidak memiliki ekspektasi apapun kepada siapapun. Menurut saya pernyataan itu adalah sebuah filosofi yang sangat bijaksana. Kita akhirnya akan menjadi pribadi yang menyenangkan dimanapun kita berada, lebih ikhlas. Selama hal tersebut kita lakukan dari hati dan tidak berharap apapun, jiwa kita semakin besar, kita menjadi orang yang selalu juga berpikir besar dan pada akhirnya akan mengasah diri kita menjadi manusia unggul dengan mental yang kuat dan pikiran yang terus terbuka.

Mari kita teruskan niat baik ini agar jiwa kita terpenuhi untuk menjadi diri yang lebih baik dari waktu ke waktu. Kita tidak membiarkan mood menguasai diri kita dan memiliki kesadaran penuh untuk terus berbagi, sehingga hari Senin kita tidak seperti hari Senin kebanyakan orang.