Ketika mengajar di salah satu Kementerian belum lama ini, seperti biasa salah satu yang harus dilakukan oleh peserta adalah “invidivual presentation,” biasanya materi ini menjadi menakutkan untuk mereka yang mengalami banyak tantangan dalam berkomunikasi. Bisa dibayangkan, setiap peserta di minta untuk mempraktikkan materi yang telah mereka dapatkan (mulai dari meningkatkan rasa percaya diri, struktur dalam berkomunikasi, total vocal hingga mengenal kepribadian kita dan lawan bicara/Understand-inc People) yang selama 2 hari ini mereka telah peroleh.

Ketika sedang breakout session, seorang bapak menghampiri saya dan berkata “mas Erwin boleh bicara dengan saya sebentar?” Singkat cerita, ia-pun memulai pembicaraannya, dikatakannya kenapa setiap bicara ia sering kali terbata-bata. Sayapun mendengar yang disampaikan, memang betul! Saya mengalami kesulitan untuk menangkap apa yang disampaikan. Artikulasi yang tidak jelas, ditambah bicara yang terlalu cepat, sehingga setiap kata tidak terdengar jelas, apalagi menangkap seluruh isi pesannya. Saya bilang : “coba bapak bicara lebih tenang, tidak perlu terburu-buru. Coba nikmati apa yang anda bicarakan. ” Kemudian ia kembali mengulang kalimatnya. Hasilnya lebih baik. Dan ini terjadi sampai 3 kali saya memintanya untuk tidak terburu-buru dan lebih tenang. Setelah itu, terdengar lebih baik lagi dan saya memberikan penghargaan atas perubahan yang telah dilakukannya. Ada senyum sedikit diwajahnya. Saya kembali berkata, “ayo pak teruskan kembali kalimatnya, tadi kan belum selesai.” Kemudian ia berhenti sejenak, wajahnya berubah gusar.

Saya merasakan ada hal lain yang ingin ia sampaikan, kemudian saya bertanya “bapak dalam kondisi baik hari ini?” dari raut wajahnya sangat jelas terlihat ia menyimpan kesusahan. Ia-pun hening..sayapun menunggu apa yang ingin dikatakannya. Selang berapa lama, ia kembali membuka mulut dengan artikulasi yang tidak jelas : “saya ada masalah rumah tangga, saya sering sekali ribut dengan pasangan saya, kami tidak akur. Juga antara saya dengan anak saya, mereka tinggal di Sumatra, saya di Jakarta dan saya selalu memikirkan masalah itu, saya selalu resah apalagi kalau harus bicara di depan orang banyak.

Saya minder, tidak percaya diri. Sepertinya orang-orang ini akan mentertawakan saya atas masalah yang saya hadapi !” Kemudian saya terdiam sejenak, berpikir untuk kalimat yang tepat harus diucapkan. “Saya mengerti apa yang bapak rasakan, kalau ingat masalah ini terus, tentu bapak akan sulit konsentrasi, sehingga apa yang akan bapak bicarakan kepada orang lain menjadi sulit dimengerti, bagaimana kalau tidak melulu lihat “kebelakang” pak, tapi apa yang dapat dilakukan untuk ke depannya, dan yakin Tuhan pasti akan campur tangan untuk masalah anda, minta padaNYA pak, pasti diberikan.” Si bapak kemudian mengulang kalimat saya: “iya minta kepadaNYA, pasti dibantu ya? masih dengan wajah yang gusar, dan kalimat yang terputus…

Dari cerita saya diatas, Si bapak sangat jujur/terbuka melihat dirinya, ia tidak dalam kondisi menyangkal, menerima dirinya apa adanya. Dan ini menjadi sangat penting sebelum kita berkomunikasi, bagaimana seseorang menyadari dirinya secara utuh, apa yang terjadi dan apa yang ditampilkan di muka umum, walau pengakuannya yang terbuka membuat saya shock.

Memang, apa yang kita rasakan, tidak luput dari kemampuan menilai diri kita, yang akan tergambar jelas di cara kita berkomunikasi khususnya bila kita memperhatikan dengan seksama ekspresi wajah seseorang dengan bahasa tubuhnya. Berdasarkan pengalaman saya, orang yang melihat dirinya rendah akan terlihat tidak percaya diri di depan umum, begitupun sebaliknya orang yang memandang dirinya lebih tinggi dari orang lain, akan terlihat juga dari caranya berkomunikasi.

Sehingga perlunya kita untuk menghargai apa yang sudah kita miliki, untuk ditingkatkan, tentunya fokus kepada kekuatan diri kita agar semua hal positif dalam diri terlihat dengan jelas di saat kita berkomunikasi.

Anda tentu sering mendengar motto “you are what you think,” seperti itulah otak kita bekerja, bila kita yakin melihat kemampuan diri kita, pasti semua tindakan akan mengarah ke hal yang kita yakini bisa, dan begitupun sebaliknya. Dan semua yang ditampilkan, mulai dari sikap tubuh, wajah, suara dan kata-kata akan jelas terlihat bagaimana seseorang memandang dirinya dan berkomunikasi dengan orang lain. Saatnya berpikir positif, dan melakukan penilaian yang relevan terhadap diri kita, terbuka, jujur, sehingga kita bisa menyesuaikan image kita yang sesuai dengan apa yang ingin ditampikan di muka umum.

Itu yang dapat saya bagikan dalam tulisan ini, diluar konteks komunikasi yang dimiliki manusia, ya memang ada kekuatan lain yaitu hubungan kita dengan Sang Pencipta, seberapa besar kepercayaan itu? Tentu akan membantu setiap orang untuk percaya akan kemampuan yang telah diberikanNYA, mari kita syukuri, mengasahnya, agar dengan semua “modal” yang kita miliki, meyakinkan dalam menampilkan citra diri kita yang sesuai di lingkungan, apa yang ingin ditampilkan mendapatkan penilaian yang sama dengan yang dilihat orang lain kepada kita. Sehingga antara self image dan social image terlihat sama.

Jakarta 7 Maret 2017