Oleh Erwin Parengkuan

Saya jadi ingat kegiatan rutin setiap minggu sewaktu masih SMP kami anak-anak diperbantukan memotong ayam untuk disajikan di restoran milik ibu, mengupas ayam rebus yang jumlahnya tidak sedikit. Kegiatan ini selalu berlangsung rutin, saya dan kakak saya kebagian masing-masing 5 ekor ayam rebus untuk dipotong kecil-kecil menyerupai dadu. Saya selalu mencoba untuk tekun menyelesaikan tugas mingguan ini. Ibu tidak mau ini dikerjakan oleh staffnya, saya juga tidak mengerti kenapa waktu itu. Mungkin beliau ingin kami anak-anak ikut terlibat dan belajar arti sebuah proses. Bayangkan hampir 1 jam setiap minggu saya berkutat dengan aroma ayam yang tidak saya suka, tangan berminyak mengupas kulit ayam, melepaskan daging dan tulangnya yang terkadang keras dan tajam. Karena saya tahu bahwa 1 jam akan selesai tugas yang sangat tidak menyenangkan ini, saya secara alami belajar mencintai sebuah proses.

Banyak hal-hal kecil dikehidupan kita tidak lepas dari kata disiplin. Disiplin untuk terus melakukan sebuah proses yang berulang dari waktu ke waktu. Walaupun saya termasuk tipe manusia yang sangat aktif, tidak bisa diam, dan pembosan. Tetapi, mengingat kejadian SMP mengupas ayam, saya kemudian mulai menjadi lebih disiplin dan tekun karenanya. Saya melihat proses bukan sebuah hal yang menyakitkan. Saya melihat sebuah hasil/result. Saya mengukur waktu tempuh dan kemudian menantikan sebuah hasil yang akan saya peroleh apapun wujudnya. Banyak hal dihidup ini bila dijalankan dengan sungguh-sungguh dan melihat hasil yang akan kita capai, kita akan belajar mencintai sebuah proses yang akan dilewati. Bagaimanapun hasil yang akan kita dapatkan, kita diminta untuk bertekun menjalaninya dengan sepenuh jiwa.

Saya kemudian tumbuh menjadi pribadi yang lebih disiplin. Waktu lepas SMA, saya merasa sangat bahagia karena tidak lagi harus menghafalkan sesuatu yang sama sekali tidak saya sukai. Saya menantikan pembelajaran dari “hidup baru” yang saya akan jumpai. Memilih jurusan kuliah yang saya suka (walapun akhirnya tidak tamat), ditambah, ada perasaan sangat bahagia ketika bertemu kelompok baru dimana waktu itu saya bergabung dengan sebuah organisasi kepemudaan yang berfokus kepada seni dan budaya. Dengan proses panjang penerimaan anggota saya setia melewati proses tersebut. Latihan fisik, mental dan berorganisasi saya jalani dengan sungguh-sungguh. Ibaratnya menjadi seperti kertas kosong yang membuka pikiran, perasaan dan tubuh untuk melebur bersama sebuah proses, waktu itu usia sayapun baru 17 tahun. Saya tidak berharap apapun dalam kegiatan yang saya tekuni seminggu sekali itu, tujuannya hanya ingin belajar dan belajar.

Bila kita bicara soal mental, tentu setiap orang mempunyai bobot mental yang berbeda-beda. Ada yang kuat seperti baja, tahan banting, ada yang memiliki mental tempe, mudah rapuh! Pertanyaannya apakah semua orang bisa mempunyai mental yang kuat seperti baja? Tentu jawabannya 100% bisa. Dengan banyak persyaratan yaitu yang utama motivasi kuat yang harus dimiliki setiap orang. Apa tujuan yang diharapkan?

Sayangnya, dunia kita yang sekarang serba instan, membuat banyak orang mudah menyerah, maunya serba cepat. Proses tetap harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar. Selain keteguhan mental yang harus seperti baja, tujuan yang jelas harus diikrarkan dan tinggal menjalaninya dengan belajar mencintai proses. Disitulah disiplin akan muncul perlahan tapi pasti. Kemahiran membuat kalkulasi waktu, mana yang penting untuk dilakukan, mana yang tidak, akan muncul dengan otomatis bila kita selalu meluangkan waktu untuk menganalisa diri dari proses yang sudah kita jalani. Harus rajin melakukan self-check, kalau bisa setiap hari seperti yang saya lakukan. Karena menurut saya hidup ini adalah sebuah tindakan yang tidak ada habisnya, termasuk pencarian menggali potensi diri, meningkatkan keahlian yang dipupuk dari kedisiplinan, dan tidak membiarkan perasaan kita menjadi lemah karenanya.