by admin | Oct 28, 2025 | Self Development
Oleh Erwin Parengkuan
Dalam setiap sesi mengajar di kelas entah kami bicara tentang komunikasi, meningkatkan rasa percaya diri, jurus mahir presentasi dll selalu tidak bisa dilepaskan dari subjek yang malakukannya yaitu kita; manusia. Kita adalah pemeran utama dalam menjalankan kehidupan ini. Dalam 24 jam waktu yang kita miliki, kita memiliki kuasa penuh dalam memaknainya, meregulasikannya dan menindaklanjuti semua hal-hal yang kita akan kerjakan. Beberapa waktu ketika kita memiliki perhatian khusus kepada mereka-mereka yang super sibuk tapi bisa efektif memaksimalkan waktunya akan membuat kita bertanya-tanya “apa yang telah ia lakukan dengan waktunya sehingga semua yang dikerjakan bisa tercapai dan berdaya?” 
Dalam sebuah sesi dengan para leader dari sebuah perusahaan pionir properti beberapa waktu yang lalu, ada satu kesempatan dimana saya membahas tentang hukum tarik-menarik ini. Istilah kerennya muncul ketika seorang penulis buku dari Australia bernama Rhonda Byrne pada tahun 2006 membuat “The Secret” berikut video yang dibundling dengan buku tersebut yang sangat laku dipasaran. Salah satu leader bertanya kepada saya tentang manifestasi. “Kenapa seseorang melalui keyakinan dalam dirinya, bisa mewujudkan apa yang ia inginkan?” demikian kira-kira pertanyaannya. Wah, sebuah pertanyaan menggelitik yang belum pernah saya dapatkan dalam kelas. 
Sejatinya, setiap dari kita memang dapat mewujudkan dan melakukan apapun yang diinginkan di dunia ini, akan tetapi perlu disadari bahwa kita adalah manusia yang kompleks dengan segala macam spektrum kepribadian, perilaku bahkan cara seseorang mengomunikasikan sebuah pesan. Akarnya adalah kita yang harus dapat mengetahui diri kita dengan baik dan dapat menavigasinya, menjalankan yang diinginkan, bahkan melakukan pivot ketika kondisi tidak sesuai dengan harapan kita sebelum “bencana” besar datang. Saya mengatakan kepada leader tersebut untuk perlahan-lahan membuang perasaan negatif yang tersimpan dalam diri. Kenapa demikian?karena hukum tarik menarik akan menarik apapun yang ada dalam diri kita.Ketika perasaan kita terganggu tentu energi yang dilkeluarkan juga berbeda, lain halnya ketika kita bersemangat tentu akan membuat banyak orang yang kita jumpai terbawa rasa antusiasme yang kita pancarkan. “Kalau kamu “overthinking” (rupanya sang leader adalah tipe orang yang seperti ini) maka team yang kamu pimpinpun akan menjadi serba takut dalam menghasilkan inovasi baru!” ujar saya. Kitapun tahu, sebuah inovasi akan muncul ketika seseorang memiliki positive mental attitude. 
Nah, kompleksitas yang ada dalam diri kita sebagai manusia yang hidup di era serba sinting ini menuntut kecakapan seseorang dalam memilah-milih “konsumsi” yang ingin ia masukkan dalam pikiran, perasaan serta tubuhnya. Ketika yang dimasukkan hanya yang baik, maka akan menghasilkan yang sama, juga berlaku sebaliknya. Hukum tarik menarik (the law of attraction) sudah ditemukan dari zaman Romawi yang kembali dipopulerkan oleh Byrne menjadi reminder buat siapapun kita. Maka buat sang leader tersebut saya mempertajamnya untuk tidak over thinking. Saya mengamati aura wajahnyapun yang terlihat suram tidak memancarkan energi yang positif. Saya menganjurkannya untuk mulai melakukan meditasi dan rutin olah raga. Rupanya kedua hal inipun sudah lama tidak ia lakukan, karena beban pekerjaan yang sangat mengganggu pikirannya lantasan tuntutan dan kompetisi yang semakin menantang dalam persaingan bisnis property.
Semua berasal dari diri kita dan semua juga kita yang harus mengaturnya kembali. Karena siapapun dari kita, memiliki otoritas yang penuh dalam memilih hal yang kita suka dan tidak suka. Sehingga ketika kesadaran ini ada maka setiap orangpun dapat menjadi lebih sukses dan bahagia sesuai yang mereka inginkan dan akan termanisfestasikan sesuai yang diharapkan.
				
					
			
					
				
															
					
					 by admin | Sep 28, 2025 | Professional Life
Oleh Erwin Parengkuan
Kemarin saya bertemu kawan lama dan membahas tentang topik ini secara casual. Teman saya adalah seorang  pemimpin di sebuah portal online di Indonesia dia bilang ; “Kenapa ya Win, makin kesini makin banyak orang yang fake?” Wah, ini pembicaraan menarik sekali dalam hati saya. Kami sama-sama bertemu dengan orang baru setiap hari, berganti-ganti. Dan kami sepakat dalam pembicaraan itu jarang sekali menemui pribadi-pribadi yang” apa adanya” Entah mereka masih malu-malu, tidak memiliki kepercayaan diri, takut akan penilaian orang lain, atau dibungkus dengan jabatan yang tinggi harus berpura-pura dalam berinteraksi dan membangun relasi dengan orang yang dijumpainya.
Saat ini saya kebetulan sedang menulis buku tentang Personal Branding 2.0. Dulu, 11 tahun yang lalu, ketika buku dengan judul yang sama saya tulis, ada salah satu komponen penting didalamnya yaitu authenticity/otentik. Tetapi sekarang pemahaman publik tentang personal branding menjadi salah diartikan, yaitu pencitraan, yang banyak dilakukan oleh para pesohor, influencer, bahkan pejabat di negeri ini. Sedangkan kalau kita tela’ah lebih dalam, makna personal branding adalah menampilkan apa yang ada di dalam diri kita.
Begitu banyaknya tantangan pekerjaan, hidup dan dunia modern saat ini, termasuk apa yang kita konsumsi sehari-hari di media sosial adalah bentuk perwujudan bagaimana seseorang menampilkan dirinya dan menilai dirinya. Tetapi kalau yang ditampilkan hanya kulit luarnya saja maka sudah dapat dipastikan hal ini bukan mengacu kepada otentitas seseorang. Memang, sangat manusiawi tidak ada satupun dari kita yang ingin terlihat jelek, sehingga berpotensi seseorang untuk tidak menjadi apa adanya, dan lama-kelamaan kebiasaan ini akan berubah menjadi karakter/identitas seseorang. Padahal, menjadi orang-orang yang fake itu sangat melelahkan loh. Dan sejatinya siapapun kita memiliki keunikan yang harus ditampikan.
Mari kita bahas bagaimana seorang dapat menjadi otentik melalui penjelasan saya. Pertama jujurlah pada dirimu, tentang apa yang kamu miliki, yang berhubungan dengan kekuatan untuk menjadi modalitas seseorang menjadi PD, setelah itu, terbukalah dengan melihat kekurangan diri. Kitapun tahu, bahwa tidak ada manusia di dunia ini yang sempurna, maka terimalah dirimu apa adanya dan galilah potensimu agar lama kelamaan kekurangan diri kita menjadi berkurang. Berikutnya, miliki keberanian diri dan rasa penasaran yang tinggi untuk meningkatkan kapasitas diri dengan selalu melakukan self-exploration yang memerlukan usaha yang gigih dan dijalankan secara konsisten. Jadi dimanapun kita berada kita akan tetap menampilkan diri kita seutuhnya dengan mengetahui apa yang menjadi kekuatan kita. 
Saat ini yang terjadi dengan kata pencitraan adalah seseorang melakukan kamuflase diri, entah dalam keseharian mereka, maupun di media sosial. Satu lagi yang terpenting menurut saya untuk membuat kita tetap menjadi otentik, yaitu dengan memiliki mindfulness tentang keberadaan diri kita, peran yang kita jalankan dan dapat menempatkan diri yang tepat dalam situasi yang berbeda-beda di hidup ini.
Ketika semua yang saya paparkan dijalankan dengan sungguh-sungguh, niscaya kita akan dekat dengan diri kita, tidak hanya menjadi otentik tapi mengenal betul, potensi-potensi apa lagi dalam diri kita yang perlu kita kembangkan. Sebenarnya masih banyak lagi elemen-elemen tambahan dalam menjadi otentik, jadi tunggu buku baru saya yang akan terbit tahun ini ya. Pasti akan kami informasikan selanjutnya. Be authentic, be real! 
				
					
			
					
				
															
					
					 by admin | Sep 20, 2025 | Self Development
Oleh Erwin Parengkuan
“Seberapa cepat first impression akan tercipta kita kita melihat seseorang?” Pertanyaan ini selalu saya tanyakan di kelas ketika memulai materi tentang diri, entah itu Boosting Confidence, Personal Branding, Public Speaking dan Presentation Skills. Beragam jawaban saya dapatkan; 5 menit, 2 menit, 3 detik, jawaban terlontar ,mewakili beragam usia peserta. Makin senior mereka, biasanya mengatakan memerlukan waktu yang lebih lama, diatas 1 menit, akan tetapi buat generasi Z atau bahkan millennials mereka akan meyebutkan dalam hitungan detik.
Dalam sebuah tontonan rutin saya di Masterclass, platform berbayar yang menghadirkan para jagoan internasional di industrinya masing-masing, seorang seniman mengatakan seperti ini: “Perlu berapa waktu kita memutuskan mau dengar sebuah lagu, atau keputusan untuk menonton sebuah film, misalnya di Netflix?” Semua terjadi dibawah 8 detik, begitu cepat, demikian halnya dengan first impression. Banyak peserta yang senior akan terkaget-kaget dengan analisa ini, tetapi sangat masuk akal ketika kita bertemu dengan seseorang, dalam waktu hitungan detikpun kita akan menilai seperti apa orang tersebut menampilkan dirinya. Di waktu yang bersamaan, merekapun akan menilai kita juga.<>/p
Kesadaran seseorang untuk fokus dalam membangun impresinya menjadi sangat penting, itu yang terkadang dilupakan banyak orang ketika mereka hanya fokus terhadap tujuan dan bobot materi yang akan disampaikan. Sebuah impresi sangat berdampak dengan ingatan yang akan menempel didiri seseorang. Kita tentu mudah mengingat perasaan apa yang muncul ketika kita pertama kali menerima gaji? pertama kali bergandengan tangan dengan seseorang yang kita sukai, dan intimasi lainnya yang tercipta dari hubungan itu? Atau pertama kali kita gagal dalam sebuah presentasi!
Impresi yang timbul memang selalu dekat dengan perasaan manusia, senang, sedih, kecewa, marah, bahagia dll adalah momen-momen yang selalu kita lewati dalam hidup ini. Untuk seseorang dapat sukses berkomunikasi apalagi bertujuan untuk menaklukan audiens tentu kita harus memikirkan kesan pertama seperti apa yang akan kita tampilkan. Kesan pertama juga akan membuat seseorang akan dikenal atau diabaikan oleh audiensnya ketika mereka gagal membangun raport ini. Walaupun ada kalanya sebuah presentasi diawal yang gagal, bisa menjadi menarik perhatian pada bagian body content, tetapi hal ini sangat jarang terjadi. Seperti menentukan musik yang akan kita dengar, kalau ritme awalnya saja kita sudah tidak tertarik, kita tidak memiliki niat untuk terus mendengarkannya.
Strategi utama dalam membangun kesan pertama adalah sebuah perencanaan yang jelas akan kesan apa yang ingin kita bangun dan tampilkan. Kesan yang sudah jelas ini akan menjadi acuan dalam membangun relasi dan memberikan pengaruh. Ada kalanya sebagai manusia, emosi yang naik turun menjadi tantangan tersendiri. Untuk itu, taklukan dirimu, bentuk kesadaran yang tinggi ketika ingin tampil, buang semua pikiran negatif yang menghantui kita. Jadi sepenting itu sebuah perencanaan dalam membangun first impression yang ingin saya garisbawahi. Jangan sampai kita lalai hanya fokus kepada bobot tetapi melupakan gestur, intonasi suara, atau cara kita berpenampilan yang menjadi bagian utama dari lahirnya sebuah kesan. Oh ya, satu lagi yang penting, semua kesan yang kita tampilkan, mutlak 100% otentik bukan dibuat-buat ya.
				
					
			
					
				
															
					
					 by admin | Sep 11, 2025 | TALKINC Inspiring Stories
Halo! Perkenalkan, saya Alya Rizqi dan saya ingin berbagi pengalaman yang berharga bagi saya dalam mengikuti kelas Professional Public Speaking di TALKINC.
Selama kurang lebih 2 (dua) tahun saya bekerja sebagai Marketing Communication Officer, saya merasa bahwa kemampuan berbicara di depan umum adalah hal yang secara fundamental penting untuk saya. Menyadari pentingnya hal ini, saya memutuskan untuk mengikuti kelas Professional Public Speaking di TALKINC. Pengalaman ini tidak hanya memperkaya wawasan saya dalam berbicara di depan umum, tetapi juga memberikan dampak positif yang signifikan dalam kehidupan profesional dan pribadi saya.

Seluruh kelas yang ada tentunya sangat berkesan dan membantu saya dalam membangun karisma serta attitude yang baik sebagai pembicara. Namun, terdapat dua sesi kelas yang paling saya sukai, yaitu kelas Closing bersama Mas Erwin Parengkuan dan kelas Body Language bersama Kak Bona Sardo. Tanpa disadari, kelas bersama Mas Erwin memberikan saya insight untuk menjadi pribadi yang mindful saat berbicara di depan umum. Ilmu seperti ini adalah ilmu yang mahal karena tidak hanya meningkatkan keterampilan berbicara, tetapi juga membentuk pola pikir yang lebih percaya diri dan terkendali. Selain itu, saya juga menyadari bahwa public speaking bukan hanya tentang berbicara, tetapi juga tentang mendengarkan dengan baik agar komunikasi lebih efektif dan bermakna.
Dari Kak Bona, saya belajar bahwa visual dan bahasa tubuh memegang peran krusial dalam public speaking. Cara kita membawakan diri; mulai dari ekspresi wajah, gestur, hingga penampilan, dapat memberikan kesan yang lebih kuat dan profesional. Senyuman, gerakan yang terarah, serta pemilihan pakaian yang sesuai tidak hanya menambah daya tarik, tetapi juga mencerminkan kepercayaan diri dan keterampilan dalam berkomunikasi.
Saya pun menyadari, untuk public speaker yang baik memerlukan proses dan teknik yang tepat. Namun, di awal perjalanan, banyak hal yang terasa asing dan membuat saya kurang nyaman sehingga hasilnya belum maksimal. Namun, dengan menghadapi ketidaknyamanan dan berlatih secara konsisten, saya yakin keterampilan public speaking saya akan semakin berkembang dan memberikan dampak positif, tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi setiap pendengar.
Terimakasih TALKINC atas ilmu dan pengalaman kelas Professional Public Speaking yang sangat membantu saya!
				
					
			
					
				
															
					
					 by admin | Aug 21, 2025 | Self Development
Oleh Erwin Parengkuan
Bertemu dengan banyak peserta dalam kelas dengan dinamika dan tantangannya masing-masing sungguh menyenangkan. Banyak sekali kendala yang mereka alami ketika harus tampil bicara atau public speaking. Berbagai macam keluhan seperti blank, grogi, tidak pede, kesulitan menemukan kata yang tepat hingga harapan untuk dapat memengaruhi audiens/lawan bicara. 
Semua peserta di kelas memiliki ekspektasi yang sama untuk dapat maksimal berbicara, sayangnya ketika saya tanya satu-persatu apakah diantara mereka ada yang rutin membaca buku? jawabannya tidak! lantas bagaimana dapat menyihir audiens kalau kosa kata saja terbatas? Ini seperti istilah yang disampaikan oleh Albert Einstein; “Kegilaan adalah melakukan hal yang sama berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda.” Masyarakat Indonesia dengan populasi melebihi 280jt jiwa pada tahun 2025 ini, dengan perbandingan 1:1000 antara orang yang rajin membaca buku dan tidak. Bayangkan rendahnya literasi kita dibanding negara-negara lainnya. Sungguh menyedihkan! Tidak heran masyarakat kita, apalagi ditambah dengan sosial media yang hanya menyuguhkan berita pendek-pendek menjadi asupan harian, seolah-olah mengerti tentang sebuah informasi, tetapi bila ditanya lebih mendalam tidak mengerti akar permasalahannya.
Sejatinya, kata-kata adalah bensin utama kita dalam berkomunikasi, ketika seseorang tidak memiliki kosa kata yang kaya dan beragam ia akan terus menggunakannya dalam rangkaian kalimat yang dibuatnya, tentu tidak akan dapat memengaruhi audiens yang lebih luas dengan intelektualitas mereka. Tetapi masih banyak sekali peserta di kelas yang berharap, tanpa mau meluangkan waktu untuk membaca buku. Buku-buku yang tersebar di dunia ini, terbagi atas 2 kategori buku, fiksi dan non fiksi. Buku fiksi yang memiliki peminat lebih besar bila dikonsumsi akan membuat seseorang mendapatkan kata-kata yang lebih banyak mengandung emosi. Sedangkan buku non fiksi akan membantu kita mengasah otak kita akan banyaknya ilmu-ilmu baru yang kita belum ketahui.
Niat yang besar, bila dilakukan, misalnya setiap hari meluangkan waktu 10 menit saja akan menghabiskan satu buku dalam satu bulan, dalam satu tahun ada 12 buku, dst, yang kita baca dari para penulis hebat di dunia ini. Buku non-fiksi sudah terbukti ampuh untuk membentangkan cakrawala berpikir kita dan juga mengahasilkan kosa kata yang kaya dan beragam. Yang saya rasakan ketika rutin membaca buku adalah membuat muscle memory lebih besar. Daya ingat lebih panjang, selain membaca buku juga memperbesar empati karena kita bersedia membaca buku dari penulis dimana kita juga akan mendalami pola pikir mereka.
Ketika kita memiliki wawasan baru, pengetahuan baru, kemampuan berpikir kritispun akan meningkat, dan secara langsung akan membuat kita lebih pede, apalagi kita tahu minimnya minat baca di negeri ini akan membuat kita diatas rata-rata kebanyakan orang yang kita jumpai. Kalau ada orang yang berbicara terbata-bata, mengulang kalimat yang sama untuk konteks yang berbeda, sehingga membuat salah persepsi, salah ucap, dan salah-salah lainnya, sudah pasti orang tersebut tidak/jarang membaca buku.
Jadi mau mulai kapan akan rutin membaca buku? itulah kalimat yang setiap mengajar selalu saya sampaikan kepada para peserta yang berbeda-beda di kelas.