The Search for the Truth

Oleh Erwin Parengkuan

Apakah anda setuju bahwa informasi yang kita terima merupakan info yang benar? Apakah tidak lebih bijaksana bila sebelum dipercayai kita perlu cerna terlebih dahulu benar tidaknya? Dan darimana kita dapat mengetahui kebenaran yang sesungguhnya? Sharing saya kali ini semoga dapat memberikan pandangan tentang arti sebuah kebenaran untuk kita pegang sebagai informasi yang valid. Ada sebuah istilah “scientific method” dimana kita diminta untuk tidak mudah mempercayai sesuatu yang benar (dari info atau diucapkan seseorang) mungkin itu tidak benar, atau sesuatu yang salah itu mungkin benar. Kalau mau disingkat penjelasan saya, adalah menjadi pribadi yang skeptis dalam urusan menerima informasi adalah penting. Dan kalau kita ingin mendapatkan jawaban yang benar tentu kita perlu melakukan proses pencarian infomasi ini, dan alur pencarian kebenaran ini bisa saja tidak berjalan lurus, bisa seperti kurva atau kusut seperti benang. Bahkan bila dicari, kita tidak akan menemukannya pada buku pelajaran. Dan kalau kita sudah menemukannya, pertanyaannya apakah masih relevan dunia saat ini? Seperti banyak buku yang beredar dicetak pada saat sebelum ada Covid-19 pandemic, sehingga banyak teori yang sudah tidak berlaku/relevan. Apakah anda percaya?

Sebuah contoh menarik berikut ini tentang teori gravitasi dan temuan para ilmuan terhadap beberapa planet yang ada. Seorang peneliti bernama William Herschel telah menemukan Planet baru bernama Uranus, sedangkan sebelumnya tidak terdeteksi. Lantas teori gravitasi oleh Isaac Newton muncul dan spekulasi timbul tentang berapa jumlah total planet? Sebuah teori bisa menjadi landasan para peneliti seperti teori Newton, sedangkan belum ada penelitian yang akurat di antariksa untuk mengitung apakah masih ada planet lain disana? Mereka skeptis dan kemudian mencarinya melalui proses yang panjang. Singkat cerita, kemudian dua ilmuwan bernama Le Verrier (seorang ahli matematika dari Perancis) dan John Couch Adam dari German, menemukan planet baru lainnya yaitu Planet Neptunus. Inti dari cerita ini adalah teori yang ada perlu diperkuat dengan konfirmasi dan diteliti dengan seksama. Di dunia modern seperti sekarang, contoh diatas sama seperti berita hoax yang semakin banyak dan mungkin sulit dibedakan oleh kebanyakan orang.

Bagaimana dengan informasi di media sosial yang sangat masif beritanya saat ini? Sangat sulit buat mereka yang naif untuk berpikir skeptis. Semua ditelan bulat-bulat seperti tahu bulat. Misalnya seseorang menuliskan title tentang dirinya sendiri sebagai seorang pakar, tetapi ketika kita teliti ternyata tidak/belum ada track record/diakui oleh industri. Atau belum lama ini di koran nasional seorang politikus menuliskan nama dirinya menjadi sebuah istilah, sedangkan istilah/terminologi tersebut tidak sepadan dengan nilai dirinya.

Dunia semakin bias, semakin banyak orang melakukan kampanye diri yang brutal, karena ego, karena tidak diakui dan ingin diakui, sedangkan kita kerap kali melupakan sebuah proses yang panjang dengan alur yang beraneka ragam prosesnya. Jadi untuk membiasakan diri menjadi lebih kritis dalam menerima sebuah informasi maka kita harus mulai mengambil sikap skeptis dan tidak mudah termakan berita, Menelusuri, mencari kebenarannya melalui proses yang panjang seperti cerita para ilmuan yang tidak mentah-mentah menerima sebuah teori yang bahkan sudah diakui dunia.
Menanggapi label yang dibuat oleh mereka-mereka yang belum diakui, justru mereka itu harus mengacu kepada proses panjang yang dapat dijadikan sebagai panduan untuk meningkatkan karir. Maka prestasi kecil, akan terus tercipta dan tentu akan mulai mendapat pengakuan, dan lama-lama akan membesar dst. Dan istilah/sebutan dari prestasi yang dibuat akan otomatis menjadi atribut yang diberikan industri/masyarakat, dimana seseorang akan semakin menjadi sukses tanpa harus membuatnya labelnya terlebih dahulu.

Kebutuhan Komunikasi Setiap Orang

Oleh Erwin Parengkuan

Bisingnya dunia saat ini dengan distraksi yang begitu masif membuat banyak orang semakin sulit berkomunikasi dengan baik. Sejujurnya semakin mereka sulit berbicara, semakin laku keras bisnis bicara seperti yang kami jalankan di Talkinc. Sedangkan kebutuhan bicara yang jelas dan terstruktur merupakan fondasi interaksi manusia semenjak beradab-adab yang lalu.

Ketika kami terjun langsung dalam setiap training, saya melihat dan menyimpulkan ada 2 masalah besar yang kerap dialami antara atasan dan bawahan dalam komunikasi dan jurang ini yang makin besar dari waktu ke waktu, khususnya kepada para pekerja di dunia profesional. Dari frontliners hingga para pucuk pimpinan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Para bawahan lebih kepada masalah tingkat kepercayaan diri yang rendah (takut salah, takut menyinggung perasaan dengan pemilihan kata yang tidak tepat). Sedangkan sang bos rata-rata urusan ego yang terlalu besar dalam berkomunikasi sehingga mereka masih terkesan otoriter dan tendensi hanya mau didengar saja. Belum lagi birokrasi yang berkepanjangan, semakin kusutnya komunikasi dalam setiap organisasi. Sikap apatis dan pasrah makin banyak terlihat dimana-mana. Bayangkan setiap orang berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya kerjasama yang baik.

Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan melakukan sesi group coaching kepada 4 orang pemimpin di perusahaan BUMN. Kontras sekali terlihat gaya kepemimpinan dan gaya berbicara yang berbeda antara mereka yang masuk kategori millennials dan kolonial. Kita tahu, perbedaan generasipun memberikan kontribusi yang besar terhadap kekusutan komunikasi. Salah satu pemimpin di kelas terlihat kaku dan otoriter. Bicaranya tegas, suaranya kencang dan sangat mahir memberikan instruksi. Sedangkan satu pemimpin yang datang dari generasi millennials, terlihat tidak PD dan takut salah. Padahal, seorang pemimpin masa kini dituntut harus lentur dan cekatan dalam melihat perubahan yang makin cepat. Mereka harus dapat membangun “jembatan” yang baik dengan para bawahannya dan memberikan dampak yang besar dalam setiap kesempatan berbicara dan saling menghargai sehingga organisasi yang dipimpinnya terus bertumbuh. Sebuah organisasi yang membidik target market anak muda, mutlak dapat berkomunikasi dengan “gaya” mereka, bukan yang kuno apalagi arogan. Tidak heran bisnis jalan di tempat karena tidak adanya kolaborasi dan rasa saling percaya yang baik satu sama lain.

Dalam kesempatan yang berbeda pada saat makan siang, seorang leader mengeluhkan kepada saya bahwa sulitnya menggerakkan team di bawahnya. Rupanya ketika kami makan, ia sedang menikmati tempe mendoan dan saya luput mengambilnya. Saya bilang “oh ada ya tempe mendoan?”

Sedangkan generasi yang lebih muda, tentu akan takut kepada atasan macam itu. Apalagi mereka maunya serba cepat, ringkas, bicara apa-adanya (dengan pemilihan kata yang apa adanya), belum lagi urusan tingkat kepercayaan diri yang merosot bila bertemu atasan yang kaku dan bossy. Jujur kondisi ini makin sering kami temui dalam setiap pelatihan. Wah, bagaimana kita bisa makin maju kalau urusan dasar berkomunikasi saja tidak dikuasai?

Kualitas manusiapun sekarang makin menurun, jabatan tidak melulu setara dengan kompetensi yang dimiliki. Terkadang materi yang kami berikan harus diturunkan levelnya berkenaan dengan hal tersebut. Menyedihkan! Pengalaman dan cerita ini, adalah bagian dari banyak pelatihan dimana dalam setiap training, rata-rata 80% peserta kami berdomisili di Jakarta. Ibukota negara dengan potensi manusia yang makin merosot. Bagaimana dengan mereka yang ada di daerah? Kota kecamatan? dll? Seperti juga yang saya alami mengajar keluar kota dengan para pemimpin di daerah yang memiliki gelar S2, ternyata tidak semua mampu berbahasa Inggris. Akhirnya kami harus mengganti materi semua dengan Bahasa Indonesia. Coba anda bayangkan 10 tahun kedepan seperti apa wajah organisasi bila setiap orang didalamnya masih berkutat masalah komunikasi?

Kesadaran untuk bertumbuh dan berkembang menjadi milik pribadi setiap orang, bila ini disadari penuh dan dilakukan terus menerus dengan analisa diri, dan belajar dari banyak konten bicara, melihat cara figur keren tampil, hendaknya dapat menjadi sebuah inspirasi yang nyata. Bila dicari sendiripun sangat banyak tutorial dan role model yang inspiratif, sehingga kita tahu akan hal-hal yang harus dimiliki untuk bicara menarik dan tentunya akan membuat kita menjadi lebih sukses. Jadi sangat tidak ada alasan untuk tetap berdiam diri dan bertahan kemampuan komunikasi yang saat ini dimiliki saja.

Confidence is a must

Oleh Erwin Parengkuan

Pengalaman bertemu banyak individu yang sukses akan menambah “jam terbang” kita agar lebih berpengetahuan lagi yang tentunya akan membuat kita lebih percaya diri. Kemarin saya menjalankan sesi training dengan sebuah direktorat di Kementerian RI, dalam sesi lunch break, seorang pejabat yang membuka sesi pagi tadi, menghampiri dan duduk menemeni kami makan siang. Beliau bercerita tentang pengalamannya belum lama ini dalam sebuah penilaian untuk naik jabatan, dimana harus mengikuti sesi interview akan inovasi apa yang akan dilakukan agar “lolos” naik jabatan. Si bapak kemudian bertanya kepada anaknya di rumah yang sedang menempuh pendidikan akhir di sebuah Universitas Negeri bergengsi di negeri ini, Ia bertanya tentang ide apa yang harus disampaikan pada wawancara nanti berhubungan dengan inovasi. Seperti yang kita ketahui generasi Millenial sangat kaya akan informasi dan mereka sangat peka teknologi. Kemudian si anak menyarankan “fokus ke inovasi digital karena semua bisnis apapun harus pro digital karena sesuai dengan tuntutan zaman.”  Sang ayah kemudian mengangguk dan setuju akan usulan sang anak.

Ketika si bapak meneruskan cerita ini kepada kami, dengan cara bercerita yang berapi-api menguraikan momen ketika beliau di interview. Gagasan dari si anak kemudian dielaborasi sesuai dengan kemampuannya yang PD. Si bapak bercerita bahwa pihak penilai adalah mereka yang masih minim pengalaman dan tidak tahu tentang pengetahuan dan bidang yang mereka tanyakan kepada pihak yang lebih senior. Mereka hanya bertanya dari ide awal dan kembali menggali ide tersebut. Si bapak meyampaikan jurus rahasianya yaitu fokus kepada konten yang Ia sampaikan dan percaya diri, sehingga ketika pertanyaan berputar kepada penjelasan yang sudah diucapkan, Ia tidak “blunder” dan tetap fokus dan teguh dengan penjelasannya. Karena dalam setiap teknik interview, atau investigasi, ketika kita mulai mengarang, pertanyaan incaran pasti membidik kata-kata anda yang “mengambang” dan menjadi sasaran empuk. Mereka akan menyimpulkan bahwa anda mengarang dan tidak konsisten dengan jawaban dan tentu penilaian akan menjadi buruk, akhirnya kita tidak akan lulus dalam sesi interview/investigasi yang berlangsung.

Pengalaman cerita di atas dapat disimpulkan bahwa percaya diri adalah kunci dari semua aspek dalam kehidupan ini. Bayangkan kalau si bapak tidak PD, apa jadinya dengan kenaikan jabatan beliau yang nanti sejak lama? Hasil interview lolos dan si bapak naik jabatan, sedangkan beberapa rekannya harus kembali mengulang proses interview sampai beberapa kali karena ketidakyakinan mereka dalam berkomunikasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pihak penyelidik.

Persis dengan banyak tips yang sering kami sampaikan dalam setiap training bahwa “mapping” peta lawan bicara menjadi esensial, kepada siapa kita harus bicara, siapa mereka, bagaimana pengalaman mereka apakah setara dengan kita atau di bawah kita. Tentu mengambil cerita di atas, si bapak sudah melakukan PR-nya dengan baik, bahwa yang mewawancarainya tidak menguasai bidang yang dilakukan, mereka hanya menggali dan kembali “memutar” pertanyaan untuk mengetahui apakah jawaban betul dikuasai. Berbeda dengan kalau kita harus menaklukkan lawan bicara, apalagi dengan jumlah orang yang  “isi kepala” dan pengetahuannya berbeda-beda. Sehingga, pengetahuan anda mutlak harus di atas mereka. Jadi, pastikan sudah ada pemahaman yang dalam, data yang dan pengetahuan terbaru yang harus kita berikan kepada mereka. Kalau tidak anda harus bersiap diremahkan oleh audiens anda.

Kemarin juga dalam sesi online dengan para “agen perubahan” di sebuah Kementerian yang berbeda, seseorang bertanya kepada saya “bagaimana kita bisa menguasai sebuah materi yang baru kita terima, sementara waktunya sangat terbatas?” saya menjawab tidak ada cara lain selain memang harus mempelajari dengan melakukan riset, walaupun waktu kita terbatas. Untuk itu, kita dapat terlebih dahulu bertanya tentang konteks/tujuan pembicaraan yang akan dibahas. Dari info minim itu, walau kita belum mendapatkan pokok detail pembicaraannya apa, tapi kita harus “nyolong start” dengan segera mencarinya secara general. Misalnya topik tentang perubahan iklim, nah, dari situ anda bisa segera mencari isu-isu yang terjadi saat ini secara general, ambil fokus utama yang menjadi problem, dan mengkurasi info yang ada dengan data terbaru serta mencari alternatif solusi dari isu yang ada, sehingga ketika waktu datang, info yang sudah kita miliki kemudian akan memperkaya wawasan, walau dengan limitasi waktu, tapi kita sudah tahu dari hasil observasi yang sudah kita lakukan jauh hari sebelumnya. Intinya inisiatif untuk bergerak duluan. Kita memang harus lebih cerdas dari audiens kita, itu harga mati yang akan menaikkan “bobot” kita sebagai juru bicara. Kalau kita anda malas, tidak ada inisiatif tentu  akan “mati kutu” menghadapi audiens yang lebih berpengetahuan dari anda.  

Tahun 1999 & Tahun 2009 Dalam konteks Komunikasi

Oleh Erwin Parengkuan

Apa yang telah terjadi dalam satu dekade ternyata bisa memberikan dampak sangat signifikan dalam kehidupan kita khususnya dalam dunia komunikasi. Tahun 1999, ketika handphone berubah fungsi menjadi smartphone dari penemuan muktahir Blackberry (BB), ternyata telah membuat kebiasaan baru manusia untuk lebih mobile dan sangat “attached.” Waktu itu, kita melihat banyak orang yang tidak bisa lepas dengan HP mereka, ketika “demam BB” menjangkiti para penggunanya, terutama mereka yang sudah bekerja, semua orang sangat sibuk BB-an. Ada yang terbentur kaca lobby kantor karena terlalu fokus dengan gawai mereka, bahkan ketika meeting mereka malah tidak terkoneksi dengan peserta meeting, dan muncul anekdot tentang BB “mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.” Teknologi kemudian semakin berkembang, seiring dengan munculnya media sosial/beragam pertemanan virtual, mulai dari friendster, FB, IG, Path, Linkedin, dll telah mengakibatkan perubahan sangat besar dalam interaksi manusia dulu dan sekarang, termasuk menurunnya “attention spending” dari setiap individu.

1 dekade kemudian, seorang figur pemimpin baru dengan gaya komunikasi yang terbuka, lentur, dan fasih yaitu Presiden ke 44 Amerika Serikat Barrack Obama hadir. Sangat kontras dengan gaya pemimpin zaman Orde Baru yang kaku dan otoriter. Telah membuat semua pemimpin (di dunia ini) termasuk para bos di dunia korporasi ingin meniru gaya komunikasi seperti Obama. Semua orang menginginkan gaya komunikasi yang lebih terbuka seperti-nya, apalagi kedekatan secara emosi antara masyarakat Indonesia dengan Obama yang pernah melewati masa kecil di Jakarta, suka t bakso, sate dan nasi goreng membuat kita kemudian secara sadar mengindolakannya.

Tentu tidak mudah untuk merubah kebiasaan setiap orang, perlu kesadaran tinggi dan perlu “effort” yang besar. Merubah mental, sudut pandang, intonasi suara, pilihan kata-kata yang lebih “sejuk” dan bahasa tubuh yang terbuka dll adalah rentetan pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Apalagi dalam seni berbicara, seseorang dituntut untuk dapat mengendalikan dirinya, agar menyelaraskan gaya komunikasi yang inginkan banyak orang, bukan sebaliknya.

10 tahun adalah rentan waktu yang telah merubah gaya komunikasi dunia modern saat ini. Dulu tidak ada warganet/netizen, dulu tidak ada orang-orang yang nyinyir, tapi sekarang dengan tekanan yang begitu besar dari media sosial membuat kita melihat banyak perkataan yang tidak pantas bersliweran di banyak timeline. Seseorang yang lebih muda bisa berkomentar buruk kepada mereka yang lebih tua, walaupun tidak saling kenal. Semua orang seperti lantas sangat ringan berceloteh, mengeluarkan isi perutnya. Sedangkan, contoh figur terbaik komunikator yang ulung macam Obama, hanya menjadi sebuah figur yang ideal.

Dulu, ketika Charles Darwin di abad 18 mengemukan tentang teori evolusi manusia dan menyebutkan tentang survival of the fittest, bahwa hanya mereka yang adaptif yang dapat bertahan hidup. Teori ini menjadi nyata dan sangat relevan setelah Covid-19 memporak-porandakan tatanan ekonomi dunia saat ini. Kita yang bertahan hingga saat ini adalah yang adaptif. Sehingga untuk semua orang, dituntut untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman, lebih terbuka akan input, terus bertumbuh dan bertumbuh.

>Pada awal bulan Maret 2021, perusahaan raksasa Microsoft membeberkan sebuah fakta bahwa negara kita memiliki tingkat komunikasi yang sangat buruk di media sosial. Dulu kita dikenal sebagai bangsa besar yang ramah, tapi sekarang yang paling julid (nyiyir/kasar). Dalam rentan waktu 10 tahun-pun, jati diri kita sebagai bangsa yang baik perlahan mulai runtuh, diikuti dengan komentar yang julid di situs media sosial Microsoft membuat perusahaan ini harus menutup aksesnya untuk sementara atas derasnya komen yang negatif atas fakta yang mereka sampaikan. Mendengar berita ini, saya pribadi sangat malu dan miris. Kemana masyarakat Indonesia yang ramah itu?

Mari kita bentuk (lagi) gaya komunikasi yang santun, ramah dan meyenangkan. Termasuk bagi para pemimpin di perusahaan agar dapat meninggalkan gaya otoriter mereka dan menciptakan garis yang horizontal bukan vertikal, agar setara dan selaras dengan siapapun. Mari kita juga tinggalkan ego dalam berkomunikasi, tinggalkan juga masalah kita ketika berbicara kepada siapapun. Agar dengan mudah kita bisa fokus kepada mereka yang kita ajak bicara. Ketika semua orang mempunyai kesadaran yang baik, tentu ini akan mengembalikan reputasi kita sebagai bangsa yang santun dan ramah. Mudah kok dijalankan.   

Acts of Service

Tidak ada satu manusia di dunia ini yang tidak suka dilayani. Ketika kita melayani lawan bicara kita, mereka merasa diistimewakan oleh kita dan kemudian relasi menjadi lebih erat. Dalam sebuah buku berjudul “Five Love Languages” karya Garry Chapman bahwa kita manusia mempunyai 5 bahasa cinta yang berbeda-beda. Salah satunya adalah Bahasa Pelayanan (acts of service). Buku ini sangat populer dan akan membantu setiap pembaca mengetahui bentuk cinta seperti apa yang diharapkan oleh lawan bicara kita/pasangan/anak/lawan bicara. Adapun 4 bahasa cinta lainnya adalah sentuhan, penghargaan, waktu dan hadiah. Buku ini diterbitkan di awal tahun 1992 dan sampai sekarang masih releven.

Saya akan fokus kepada judul tulisan ini, karena kita semua mempunyai tujuan yang sama untuk membangun sebuah hubungan yang harmonis, terlepas dari penjelasan 5 bahasa cinta diatas, tetap setiap orang ingin dilayani. Apalagi budaya Jawa yang sangat kental di Indonesia, dimana para leader yang masih bercokol di jajaran tinggi sebuah organisasi masih mengusung peninggalan budaya ini. Saya mengambil contoh dalam pekerjaan saya ketika salah seorang rekan yang merupakan pemimpin perusahaan berencana untuk menggunakan jasa kami untuk melatih para karyawannya, saya tidak serta merta memberikan tanggung jawab ini kepada team marketing di kantor. Karena saya yakin, rekan saya ini mempunyai ekspektasi keterlibatan saya dalam rencana kerjasama ini.

Kerap kali kita dihadapkan dengan situasi seperti ini, kapan kita harus melayani lawan bicara dll? Apakah lebih baik kita delegasikan kepada sekertaris, team atau orang lain? Ketika sebuah hubungan sudah terjalin baik seperti antara saya dengan rekan tersebut, sejatikan saya-lah orang yang paling tepat untuk melayani mereka. Ketika akhirnya pelatihan sudah berakhir-pun karena saya yang diminta untuk mengajarkan teamnya, saya langsung melakukan kontak dan menyampaikan penilaian saya atas proses belajar mengajar di kelas online tersebut. Rekan saya sangat puas dan team saya segera akan mengirimkan report hasil pelatihan tersebut. Jadi ada proporsi kapan bagian saya melayani, dibagian yang mana? Kapan team yang melakukan pelayanan sesuai dengan fungsi masing-masing.

Kita tentu tahu, banyak leader yang sukses mereka memiliki values yang sangat banyak. Values adalah nilai teguh/prinsip yang dipegang oleh seseorang dalam menjalankan kehidupan dan pekerjaannya. Dari dulu saya sangat disiplin, ini adalah contoh sebuah values, bila ada janji atau ucapan kepada orang lain saya selalu akan berusaha semaksimal mungkin untuk menepatinya dan bila ada hal yang tidak sesuai, sayapun orang pertama yang akan mengabarkan mereka. Begitupun mungkin hal ini dilakukan oleh anda. Semakin disiplin kita, semakin baik performa diri seseorang. Saya jadi ingat perkataan seseorang kepada saya ketika saya baru memulai karir “apapun yang kamu lakukan pasti akan sukses asalkan kamu turun tangan langsung.” Perkataan ini sangat menancap dalam ingatan saya dan menjadi salah satu values yang saya pegang erat-erat hingga saat ini. Tantangan dan godaan/distraksi yang saat ini kita hadapi memang begitu banyak, sehingga terkadang kita luput melakukan pelayanan. Seperti banyak orang berjanji ingin mengabarkan kita, tapi mereka tidak melakukannya. Atau yang paling mudah ketika kita berkomunikasi via tulisan ketika mereka membacanya, mereka tidak merespon kita. Ini adalah contoh kecil dari sebuah respon/pelayanan yang krusial menurut saya. Bila kita fokus kepada hal utama yang harus dijalankan, kita pasti akan bekerja lebih efektif. Sejatinya kita-lah yang paling bertanggung jawab untuk membuat diri kita lebih baik dari waktu ke waktu. Bila kita gagal, tidak ada (juga) satu orangpun yang akan lebih baik memotivasi diri kita selain kita sendiri. Kita memang dituntut untuk semakin hari semakin matang dan bijaksana. Kapan saatnya kita melakukan pelayanan yang tepat kepada orang lain, juga pelayanan kepada diri sendiri. Kapan kita harus lebih fokus kepada orang lain dan mengukur mana perhatian kecil,sedang dan besar yang penting harus dilakukan. Analisa ini menjadi mutlak menurut pendapat saya, agar hubungan harmonis dengan siapapun terbangun dengan perhatian dan pelayanan yang kita berikan menjadi berharga buat semua pihak, dan tidak berat sebelah. Disamping itu kita juga harus pandai dalam melihat hal-hal mikro maupun makro, agar kita tidak terjebak melayani hal yang kecil tapi ternyata itu tidak memberikan dampak yang signifikan dalam membangun relasi kita dengan siapapun.  

The impactful engagement through business

Oleh Fernando Edo


Bad PR. Iya, belakangan kata-kata ini menjadi alasan salah satu merk lokal menjadi viral. Namun kalau diperhatikan, bukan kali ini saja sebuah perusahaan mengambil Langkah yang kurang tepat dalam berkomunikasi entah itu untuk internal atau pesan tersebut untuk dikonsumsi orang banyak. Padahal mungkin maksud dan tujuan perusahaan adalah untuk menjaga kredibilitas suatu perusahaan, tapi sayangnya itu menjadi boomerang.


Di era sosial media ini, istilah pembeli adalah raja harus direvisi karena menurut saya selain kita layani pembeli dengan maksimal, kita juga harus bisa membina hubungan dengan mereka. Jadi saya ganti dengan Pembeli adalah Teman Baik. Layani mereka dengan tulus, jujurlah jika ada kendala dalam sebuah proses bisnis kita. Persaingan di semua industri bisnis semakin ketat, semua menawarkan harga yang terjangkau dan produk atau jasa yang terpercaya. Namun,menurut penulis ada satu kata kunci dalam berbisnis, Bagaimana anda sebagai penjual berkomunikasi dengan pembeli.

Beberapa waktu lalu, saya membeli earphone di toko online dan cukup terkejut Ketika membuka kemasan ada secarik kertas dengan bunyi seperti ini :


Dear Kakak, terimakasih sudah berbelanja di toko aku semoga barang yang kakak beli awet ya. Oh Ya, adik sangat berharap kakak dapat memberikan bintang 5 jika barang yang kakak pesan sesuai dengan pesanan ya. Salam hangat, adik tercinta.


Wow, sebuah cara dalam mencari pelanggan setia bisa dilakukan dalam hal yang sederhana.

Saya juga teringat, beberapa tahun lalu makan di hotel bintang 5 dengan konsep “fine dining”.

Pada saat meminta waiters untuk menaburkan lada di potongan daging saya, ternyata yang ditaburkan adalah garam dan itu memang cukup merusak rasa dari makanan saya. Saya kembali memanggil waitersnya dan ia meminta maaf lalu diganti dengan yang baru. Selang beberapa menit, datang Manager Restaurant Kembali meminta maaf dan memberikan potongan harga atas kesalahan tim nya sambil menanyakan apakah ada yang kurang dari segi pelayanan dan makanan?. Jika memang ada sebuah kesalahan, akui dan minta maaf lah dengan tulus. Pembeli pasti akan dengan senang hati memaafkan dan melupakan kesalahan penjual apalagi disertai dengan potongan harga.


Berkaca dari pengalaman itu, sebuah masukan atau saran adalah hal sangat berharga dari sebuah bisnis. Karena sebagai penjual, harus memiliki cara pandang seorang pembeli dan bukan mempertahankan sudut pandang lalu seakan sebuah saran menjadi citra buruk bagi suatu bisnis. Sebuah bisnis dapat berdiri dan bertahan karena pelanggan yang selalu datang dan sudah memiliki ikatan emosi dengan sebuah layanan yang prima. Apakah anda sudah memiliki cara berkomunikasi yang baik dalam berbisnis ? apakah anda sudah melayani pelanggan anda layaknya “one of your best friend” ?