Experiential Learning for a Life

Oleh Erwin Parengkuan

Setiap lini kehidupan ini adalah sebuah pembelajaran dan memudahkan seseorang untuk terus belajar, tidak heran sebutan pengalaman adalah guru terbaik selalu menjadi pengingat kita. Dalam buku yang sedang saya baca, mengikuti anjuran untuk terus bertumbuh, buku dengan judul sama dengan artikel ini, dimana saya baru membaca 1 bab yang panjang dengan berbagai macam teori pembelajaran akan saya sampaikan dan tentunya menambahkan dengan apa yang saya pahami dan pelajari dari kehidupan ini, dengan deretan tugas dan pekerjaan yang saya lakoni hingga saat ini.

Beberapa teori yang ada dalam buku yang ditulis dengan sempurna oleh David A. Kolb, seorang pendidik, cendikiawan dan peneliti yang sudah memiliki 50 tahun pengalaman, menjabarkan dalam buku ini bahwa 3 point penting tentang sebuah experiential learning mulai dari: pendidikan, pekerjaan dan pengembangan pribadi. Ketika kita memiliki 3 fundamental diatas, kita akan mudah menjalankan proses pembelajaran ini. Banyak sekali teori dengan pendekatan yang berbeda yang dipaparkan dalam buku ini oleh para peneliti/pendidik dari abad yang berbeda-beda. John Dewey mengatakan pendidikan adalah fondasi terpenting: experiental education, William James mengatakan tentang the state of mind, pure experience, yang terbebas dari pemahaman konseptual yang dimiliki seseorang, Mary Parker menambahkan unsur kreativitas yang harus dimiliki seseorang the law of relation, Kurt Lewin mengatakan unsur konsep perhitungan topography, berdasarkan kebutuhan, tujuan, memori, lingkungan, hambatan dan jalur hidup yang akan dilewati seseorang, termasuk Carl Jung dengan teori modern dan radikal mengatakan bahwa proses yang dilewati seseorang sesuai impian dan ketidaksadaran melihat simbol-simbol yang ada, individu yang terintegasi untuk sebuah imaginasi yang aktif, self talk, untuk proses yang diinginkan, dan beberapa peneliti yang lahir di abad 18, termasuk salah satu peneliti terakhir di tahun 1960-an Carl Roger mengatakan tentang self worth.

Begitu banyak pemaparan dan info yang dapat kita ambil untuk tujuan memanfaatkan kehidupan ini menjadi menguntungkan kita. Tenggoklah ke belakang, saat ini dan lihatlah jauh kedepan yang sudah kita lewati bersama, dapatkan, maknai, dan mengambil keuntungan dari semua peristiwa dalam hidup ini. Dalam salah satu pemaparan diatas, disebutkan bagaimana kita mengaktivasi rasa dan logika. Saya sangat sependapat akan hal itu. Membuat semua teori yang sangat logis dan masuk akal (di era teori tersebut) pada akhirnya kita harus pandai-pandai menyimpulkan dengan konteks relevansi, alias mana yang akan kita ambil adalah hanya yang paling relevan untuk dijalankan di saat ini. Semudah membagi teori/penelitian tersebut menjadi 2 bagian besar tentang RASA dan LOGIKA. Atau dalam salah satu buku yang saya tulis tentang komunikasi bahwa kata-kata yang kita utarakan harus mengandung 2 unsur feeling dan thinking secara berkesinambungan.

Saya sendiri sekarang lebih mendisiplikan diri untuk menambah durasi waktu dalam membaca buku yang sudah saya beli dan menunggu giliran untuk dibaca. Dan seperti yang disampaikan oleh David A. Kolb, 3 komponen yang diatas sudah saya sampaikan akan memberikan banyak manfaat dari pembelajaran yang kita lewati dalam kehidupan ini. Memaknai hidup dengan terus belajar akan otomatis membuat kita terus semangat menyambut pagi. Deretan kegiatan yang sudah direncanakan juga merupakan jalur tujuan hidup yang sudah kita rancang, kalau belum ada, saatnya untuk dibuat. Kapan waktu berekspresimen dengan tugas dan pekerjaan kita, tentang personal development kita, menghargai diri, bobot apa yang akan kita terus tingkatkan untuk terus mengasah otak dan diintegrasikan dengan lingkungan terdekat, keluarga, pasangan, anak, rekan kerja, dan sosial adalah sebuah kesadaran utama yang harus terus kita bangun.

Kapan waktu terbaik menggunakan feeling, thinking dan menggabungkan keduanya dalam kehidupan yang kita jalani, menghargai waktu yang kita miliki dan membuatnya menjadi bermakna. Buat saya itu adalah sebuah keharusan. Seperti sebuah kutipan dalam buku tersebut yang mengatakan: No pleasure, no learning. No learning, no pleasure.

Coming to our senses

Oleh Erwin Parengkuan

Ini judulnya ringan tapi bermakna dalam, kenapa karena tulisan saya ini akan bercerita tentang kita, tentang saya dan anda dan kita, tentu sebagai manusia dengan kelima indera yang kita miliki menjadi bagian penting dalam membangun sebuah hubungan. Indera Pengelihatan, Indera Pendengaran, Indera Perasa, Indera Penciuman dan Indera Pengecap. Kelima Indera ini saya sudah urutkan berdasarkan bagaimana kita berinterkasi dalam berkomunikasi. Dari kelima Indera ini, hanya 1 yang tidak kita gunakan, yaitu Indera Pengecap.

Mari kita mulai membahasnya, bicara soal Indera Pengelihatan, atau dalam komunikasi adalah Visual, cara manusia melihat tentu banyak berpengaruh dari mata, apa yang kita lihat dengan Indera yang memberikan dampak terbesar ini? bila kita melihat seseorang, tentu penampilan terlebih dahulu yang kita lihat sekaligus mengamati gerak-gerik tubuhnya. Bila penampilan kita umum, tentu kita tidak menonjol. Sekedar berpenampilan yang pantas dan sesuai buat saya itu sudah lebih dari cukup. Sedangkan bahasa tubuh seseorang yang kita amati akan membuat seseorang terlihat terbuka atau tertutup. Gerakan tubuh yang “sedikit” akan memberikan kesan yang berbeda dengan tubuh yang “ringan” dan rileks. Indera ini sekali lagi memberikan dampak terbesar dalam berkomunikasi. Seperti kita ketahui, kalau mengambil sebuah perumpamaan, film adalah sebuah contoh yang tepat. kenikmatan visual untuk mata kita sangat dimanjakan. Semakin jelas warna yang ditampilkan, akan menimbulkan kesan yang berbeda. Film dengan gambar yang tidak menarik, akan membuat mata kitapun lelah. Akhirnya menjadi tidak menarik mata.

Begitupun dengan Indera Pendengaran/auditory, dimana intonasi, tekanan suara yang kita dengar atau pancarkan akan memperkuat/memperlemah kesan seseorang. Telinga kita akan menangkap dengan jerih sebuah pesan. Apakah terdengar sesuai dengan yang terlihat? dan Indra Pengelihatan dan Indera Pendengaran akan senantiasa terus bersingungan. Lagi-lagi,  layaknya sebuah film dengan scoring music yang tepat menghasilkan efek sempurna dalam sebuah gambar. Indera Pendengaran berperan tidak terlalu besar dibandingkan dengan Indera Pengelihatan, dan kedua Indera ini menjadi penentu dalam dampaknya, akan tetapi paling mudah dilupakan. Misalnya tahun berlalu, kita tidak akan ingat visual dan auditory seseorang dibandingkan dengan Indera berikut ini.

Indera Perasa, kinesthetic begitu disebut, adalah Indera yang paling lama bertahan dalam ingatan kita. Artinya bila kita bicara? Apa yang kita rasakan? Takut? Senang? Gelisah? Tidak fokus? Terlalu bersemangat? Atau berlebihan? Indera Perasa ini yang akan tersimpan jauh lebih lama dalam diri setiap orang. Inipun termasuk strategi dalam membangun hubungan. Bagaimana kesan kita terhadap orang yang kita jumpai? Membangun hubungan memerlukan kemahiran dan keluwesan. Seperti memperlakukan siapapun yang kita jumpai seperti kawan kita, tentu kita akan tampil apa adanya tanpa dibuat-buat atau terpaksa, tentu kita akan sangat mudah membangunnya dan dengan sendirinya membuat sebuah relasi berjalan dengan natural. Kitapun sangat senang bertemu orang yang apa adanya “seperti warna asli-nya.” Buat saya, indera ini justru memegang peranan penting dalam interaksi/komunikasi umat di dunia ini apapun situasi maupun kondisi yang ada dalam hidup seseorang. Indera ini adalah “jitu” yang menjadi penentu kita dalam memilih perkawanan, dalam memilih hubungan. Bila kita sudah tidak “klop” lagi, tentu akan sangat sulit situasinya, dan seseorang akan memilih menghindar dari seseorang yang dianggap tidak membuat nyaman dirinya.

Sedangkan, Indera penciuman, menurut saya memegang peranan paling kecil dalam dampak berkomunikasi karena ini hanya melengkapi ketiga Indera yang baru kita dibahas. Bila kita wangi, atau tidak mengeluarkan bau menyengat dalam tubuh atau parfume yang kita kenakan, semua hubungan akan tepat dalam kondisinya.

7 Levels of Awareness

Sadar atau tidak sadar seseorang dalam berinteraksi/berkomunikasi memerlukan fondasi ini. Kemampuan mengendalikan diri yang sangat erat hubungannya dengan kata “Awareness.” Seberapa sadar kita ketika berbicara? Mengamati perubahan tekanan suara? Bahasa tubuh? Menangkap pesan dari lawan bicara? Yang akan menciptakan kemampuan membangun hubungan jangka panjang yang harmonis.  

Ketika mencari bahan untuk tulisan ini, saya menemukan sebuah 1 bentuk piramida dengan 7 level kesadaran manusia, yang saya kembangkan dan terjemahkan dengan pengalaman saya:

  1. Flight of Fight

Maksudnya adalah ketika kita menghadapi sebuah situasi, tingkat kesadaran seperti apa yang akan anda lakukan? Flight artinya ketika kita tidak tertarik, atau tidak berdaya, kecenderungannya akan meninggalkan situasi tersebut. Bila kebalikannya anda akan “Fight” artinya melawan dengan kondisi yang ada. Misalnya seseorang yang kita ajak bicara kemampuan dan keahliannya diatas kita, maka kita akan mencoba melawan diri dengan berusaha tetap memperhatikannya. Tapi ketika kita menyerah, itu artinya kita “Flight” tidak memperdulikan apa yang ia ucapkan dan tentu tingkat kesadaran ini menjadi paling rendah urutannya. Sama seperti insting hewan, melawan atau malah meninggalkan/kabur dari kondisi yang dialami.

  • Follow The Crowd

Kita pindah ke level berikutnya, yaitu kesadaran yang dilakukan sesuai dengan norma yang berlaku. Mengikuti aturan yang ada. Misalnya seseorang yang kita jumpai terlihat dominan, tapi kita tidak nyaman, dan kita tetap santun dan tidak melakukan tindakan yang di luar aturan main. Atau kata yang tepat yaitu “normatif” kita ikuti saja sikapnya, alias pasrah tanpa tindakan. Ini menurut saya sebuah kesadaran yang masih standart, belum ada tindakan yang menonjol yang kita lakukan. Hidup berjalan seperti apa adanya yang kita jalani. Tanpa perlawanan tanpa tindakan berarti.

  • Desire without Action

Level selanjutnya, yaitu kita sudah terpikir untuk melakukan sebuah tindakan,akan tetapi gagasan yang muncul dalam pikiran kita, hanya sebuah aspirasi. Kok rasanya susah dilakukan. It’s good to have, but I have no intention to take action. Nah level ini, mungkin cocok dengan istilah “omdo” sudah sadar tapi hanya sebatas omongan (ngomong doang). Menurut saya kebanyakan orangpun demikian, hanya berkomentar, berpikir tapi hanya sampai di situ saja. Akhirnya orang-orang seperti ini hanya menjadi pengamat/penonton dan tidak menghasilkan upaya apapun dalam kehidupannya termasuk interaksinya dengan orang lain. Misalnya anda sadar harus memulai pembicaraan terlebih dahulu dengan orang lain, tapi ketika situasi itu kita alami, kita malah diam, walau dalam pikiran sudah sadar untuk menyapa terlebih dahulu, tapi tidak ada kalimat yang keluar dari mulut anda, seperti “hallo pak/bu selamat pagi? Bagaimana kabarnya hari ini? Kemarin saya lihat di IG baru pindah rumah ya, bagaimana rumah barunya?”

  • Express Uniqueness

Nah, kesadaran ini akan membuat anda menjadi lebih menonjol dengan pemikiran yang sejalan dengan tindakan anda. Setiap manusia memang unik dan berbeda, penduduk dunia ini yang jumlahnya 7 Milyar lebih tidak ada satupun manusia yang mempunyai DNA yang sama. Ketika kita terkoneksi dengan lingkungan dan situasi, kita berani bicara dan menunjukkan siapa diri kita. Kondisi ini tentu sifatnya sangat individual. Terlepas dari ucapan dan tindakan kita apa tepat atau tidak, karena ini berpulang kepada setiap individu. Bisa saja kalau anda termasuk orang yang spontan tentu anda akan bicara bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan.

  • Give Self a Command and Keep It

Kesadaran selanjutnya adalah sebuah tindakan/ucapan yang terus menerus kita lakukan sehingga ini akan menciptakan sebuah ritme/pola dari semua yang kita jalani. Akhirnya kita menjadi terbiasa dengan ritme tersebut. Menjadi disiplin dengan apa yang kita jalani maupun miliki. Tapi apakah tindakan/ucapan yang kita lakukan itu benar atau tidak? Belum tentu jawabannya, karena kita harus meneruskan kesadaran kita sampai ke level teratas.

  • Real Learning

Kita mengenal istilah pengalaman adalah guru yang berharga dalam hidup ini. Dari pengalaman yang kita lalui, kesadaran apa yang timbul? Adakah “lesson learned” yang didapatkan? Bila kita reaktif dalam menjalani kehidupan ini? Apa hasil yang anda dapatkan?misalnya anda selalu berbicara dengan cepat (Level 4 dan 5) apakah impact yang didapatkan dengan berbicara cepat? Atau bertindak cepat? Adalah kesadaran itu timbul? Dan apa yang akan anda lakukan lebih baik? Banyak juga kita yang jarang melakukan “self evaluation.” Buat saya mengevaluasi diri harus dilakukan setiap saat, karena ini akan membuat kita menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Kesadaran level 6 ini menjadi rangkuman yang baik sesuai urutannya. Bila anda sudah sampai dititik ini, tentu referensi dan wawasan akan menuntun anda kearah yang jauh lebih baik/bertumbuh.

  • Respond vs React

Ini adalah level teratas di mana kita sudah bisa mengendalikan diri kita, kita sudah belajar dari pengalaman di level 6, kita sudah sadar mana dampak terbaik dari yang kita jalani, kita sudah melakukan analisa dan mengetahui lebih baik kita respond atau react? Misalnya ketika teman kita curhat dan bilang “aduh kenapa ya gue selalu gagal dalam percintaan?” Nah, kata apa yang akan anda sampaikan? Respon dengan kata yang bijak akan lebih baik daripada react. Karena react adalah hasil dari spontanitas yang muncul dan bisa menimbulkan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan. Bila kita respon, kita akan mengambil napas sejenak, berpikir dan bertindak/berucap dari kesadaran penuh yang positif dan membangun hubungan yang harmonis dengan siapapun atau apapun yang kita jalani.

Saatnya semua orang memiliki tingkat kesadaran yang lebih baik, lebih sadar bukan reaktif seperti menyaksikan debat kandidat Presiden Amerika antara Trump dan Bidan kemarin, dimana keduanya sangat reaktif bukan responsif. Oh ya, dari pengalaman saya termasuk melihat banyak hal di pekerjaan, umur seseorang tentu tidak ada hubungannya dengan tingkat kematangan emosi seseorang. Selain menyangkut soal kultur, budaya, karakter, dan kepribadian, ini semua harus diselaraskan dengan tujuan hidup kita, kepada siapa kita bicara dan untuk apa kita ada di dunia ini?  Sadar penuh dengan level 7 adalah mandatori, terlepas berapapun usia kita.    

3 Kualitas Utama Sebagai Seorang Komunikator Ulung

Oleh Erwin Parengkuan

Dalam sebuah sesi online dengan beberapa leader belum lama ini, salah seorang leader mengeluh kehilangan kepribadian yang ia telah miliki dulu karena setelah disadari ternyata “tekanan” di kantor telah membuatnya menjadi pribadi yang berbeda. Ia lantas merenung dan mengungkapkan ini di depan forum online. Sedih juga saya mendengarkan kejujuran ceritanya. Saya membandingkan dengan diri saya, yang kok ringan-ringan aja menjalankan hidup, dan tetap menjadi apa adanya. Bukan karena saya bebas masalah, karena tidak ada satupun manusia di dunia ini yang bebas masalah. Selama kita masih membuka mata, ya tentu masalah akan datang silih berganti. Saya bisa menjadi apa adanya karena selalu mengingat ucapan mendiang ayah saya “selama kamu tidak buat salah, tidak menyakiti lawan bicara, jangan pernah kau takut anak!”

Ketika seseorang terlalu didera dengan masalah hidup, masalah pekerjaan, kita kemudian menjadi seperti robot, alias template seperti slides presentasi yang dapat diambil bebas dimana-mana. Sayang sekali ketika seseorang tidak memiliki kesadaran akan pertumbuhan diri. Tidak mempunyai kendali atas dirinya dan mengaturnya (self management). Jujur, makin kesini saya melihat banyak orang makin bermasalah dengan dirinya, kalau anda berdalih karena Covid, bukanya 7 milyar lebih manusia di dunia ini juga mengalami hal yang sama dengan anda? cemas, kuatir akan masa depan, bagaimana kalau tertular? bagaimana dengan pekerjaan saya, keluarga saya? itu hanya salah satu contoh yang saya sampaikan untuk membuka tulisan ini. Jawaban terbaik adalah kita semua harus memiliki kesadaran penuh seperti tema ulang tahun Talkinc kali ini “AM I Fully Awake?” Apakah anda juga sadar? Akan tujuan hidup? Karena semua orang bila memiliki kesadaran akan menentukan/mendapatkan jawaban: untuk apa saya hidup di dunia ini? Apa tujuannya? Apa yang saya inginkan? Ketika semua pertanyaan dapat anda jawab, anda akan menjadi Otentik apa adanya. Itulah kualitas pertama dari judul tulisan saya. Bila kita tidak otentik, tentu sulit dalam menjalani kehidupan ini. Kalau terlalu jaim, kita akan terjebak dalam sesuatu yang sangat umum dalam berkomunikasi, tidak ada yang membedakan kita dengan kebanyakan orang. Dan lawan bicara menginginkan anda menjadi pribadi yang otentik, bukan palsu, apalagi ada agenda terselubung!

Kualitas kedua yang mutlak setelah seseorang kembali menemukan dirinya dengan proses kontemplasi, selftalk, meditasi, relaksasi. Me time dll. Kita dapat melihat diri kita lebih komperhensif lagi, yaitu membangun hubungan dengan kata Relevant! Relevan artinya adalah memenuhi ekspektasi lawan bicara,sesuai dengan harapan mereka, tidak keluar jalur, memberikan jawaban yang dibutuhkan dan mengikuti kaidah etika yang berlaku (common sense and common ground). Seorang kawan bercerita kepada saya, tante tertuanya dalam sebuah acara kedukaan di kuburan, diminta untuk memberikan pidato kepada semua keluarga dan relasi yang datang. Sayangnya sang tante justru bukan bicara tentang kepergian kehilangan yang dialami keluarga, eh malah bicara tentang betapa bersyukurnya ia memiliki support system di bisnis yang ia jalankan, kebetulan beberapa support system yang ia maksud berada juga pada acara penguburan itu. Bukti ketika kita bisa bicara di depan publik, tidak serta merta setiap orang dapat menjadi releven. Kuncinya adalah analisa berpikir, kemampuan untuk membaca situasi yang ada ( common sense) dan menyampaikan narasi yang sesuai dengan ekspektasi lawan bicara. Makin banyak saya amati dalam setiap kelas, keadaan seperti ini terus bermunculan. Seorang leader yang membuka acara webinar kemarin-pun, bicara panjang lebar, sangat normatif, tidak ada insight dan sangat tidak relevan, kasian! Orang ini seperti asik sendiri didunianya tanpa menyadari apa yang terjadi dilingkungan dimana ia berada.

Kualitas terakhir adalah Connection. Nah ini memerlukan banyak latihan, setelah kita fokus kepada 2 kualitas penting diatas, sekarang saatnya belajar melatih diri dengan melihat dari “kacamata” lawan bicara, bukan dari sudut pandang kita. Karena hal itu pasti akan menjadi subjektif dan tidak dapat connected dengan lawan bicara. Latihan menurunkan ego ketika bicara adalah kuncinya, melihat dari sudut pandang mereka, akan apa yang mereka butuhkan. Tidak mendominasi pembicaraan, mendengarkan dengan kedua telinga anda, itu yang disebut seni membangun hubungan dengan active listening. If we could always stay connected with our audience you definitely will win their hearts. And again, in communication one thing to be remember, it’s not about you, it’s about them!

PD dan Asertif, berani Buat salah!

Oleh : Erwin Parengkuan (TALKINC Founder & Facilitator)

Anda mungkin bingung dengan judul yang saya buat ini? Coba cerna lagi, kaitan antara rasa percaya diri, menjadi pribadi yang asertif dan berani buat salah. Tadi pagi ketika saya jogging, saya sudah berencana untuk menulis artikel ini termasuk untuk podcast saya. Tadinya saya ingin membahas hanya soal Asertif, arti Asertif adalah berani bicara tanpa menyinggung orang lain. Lantas selama jogging saya kembali merekonstruksi dan mencerna makna dari kata itu, lalu hasil dari buah pikiran saya pagi tadi, adalah seseorang tidak dapat menjadi Asertif kalau mereka tidak PD. Tidak Percaya Diri karena mereka takut akan apa yang akan diutarakan, takut bisa juga salah dalam menafsir atau bisa jadi karena anda termasuk pribadi yang tertutup atau introvert. Orang yang Percaya Diri, adalah orang yang tahu kekuatan dirinya dan kelemahannya. Asal Confidence dari Self Esteem ( seseorang menghargai dirinya dan terus melakukan evaluasi diri ).

Dalam Zoom meeting belum lama ini dengan klien kami, ketika ada sesi tanya jawab, hanya ada 1 orang yang bertanya, sisanya dari 7 orang tersebut hanya diam dan jadi penonton. Setelah meeting selesai, beberapa orang bertanya japri ke team saya beberapa pertanyaan yang harusnya dilontarkan pada saat meeting tadi, tapi mulut mereka tertutup rapat. Contoh tadi hanya sebagian kecil dari banyak interaksi yang terjadi dalam pekerjaan dan kehidupan kita sehari-hari. Bayangkan kalau kebiasaan ini terus dibawa sampai mereka tua, pasif dan seseorang akan kesulitan untuk dealing with their own conditions and circumstanses. So sad! Boro-boro mau Asertif, PD aja enggak, bagaimana mau bertahan hidup di dunia yang makin kejam ini?

Perlu disadari, tidak ada satupun manusia di dunia ini yang lahir langsung mahir. Kita dituntut untuk berani, berani coba, berani gagal, berani malu, berani mengakui diri, dan berani bangkit lagi. Bila hal ini dilakukan terus menerus, tentu akan ada hasil progresif dari kebiasaan yang kita bentuk. Coba sekali, dua kali, beberapa kali hingga kita menemukan formula yang jitu dalam semua hal yang ada dalam kehidupan kita, easier said than done? Yes, but you need to get out immediately from your Comfort Zone, never wait, keep on going until you become it! Dari situ anda baru dapat berbicara dengan Asertif, evaluasi hasilnya seperti apa. Di kelas saya sering mengatakan kepada peserta, luangkanlah waktu 2 menit setelah kita bicara untuk mengevaluasi apa yang bagus dan apa yang belum bagus. Ini akan menjadi a great learning process buat anda.

Oh ya, satu lagi, bila anda berasal dari Jawa, atau terdidik dari budaya Jawa, tentu akan memberikan pengaruh besar kepada cara anda berkomunikasi. Menurut saya, salah satu nilai luhur falsafah Jawa yaitu Nrimo ( menerima ), jujur tidak relevan dalam konteks komunikasi saat ini. Dunia Modern, Dunia Digital menuntut anda untuk berani mengutarakan pendapat, tidak Pasif tapi Asertif. Ribuan Pribadi yang saya jumpai dalam pekerjaan saya, ketika mereka Nrimo, mereka akhirnya gagal dalam membangun hubungan dengan lingkungan dimana mereka berada, sangat disayangkan! Mari mulai jangan tunggu sampai anda tua nanti! It’s useless.

Ego dan Dampak dalam Komunikasi

Oleh : Erwin Parengkuan (TALKINC Founder & Facilitator)

Bicara mengenai ego merupakan sebuah kondisi yang sulit, kenapa? Hal ini dikarenakan semua orang memilikinya dan sangat jarang ditemui orang-orang yang mampu mengendalikannya. Padahal tujuannya adalah supaya kita bisa Legowo, atau dalam bahasa Jawa artinya rela, lapang dada, tidak ada perasaan menggajal hati atau ikhlas dalam bahasa Indonesia. Kenapa sulit ya? Karena setiap dari kita mempunyai jumlah penghargaan atas diri dengan kadar dari masing-masing orang yang berbeda-beda dan dampak yang akan terjadipun berbeda-beda dalam mereka menjalankan kehidupannya.

Terbayang, bila seseorang bicara dan kerap berbicara melulu tentang dirinya? rasanya langsung ingin tutup kuping. Belum lagi ia tidak mau mengalah atau dikalahkan?

Sebut saja Dinda yang merupakan seorang profesional dengan gelar bertumpuk, bekerja di divisi Human Capital dimana tugas utama menjadi “penyambung lidah” perusahaan. Akan tetapi Dinda selalu merasa dirinya paling benar (paling pintar) sehingga pikiran maupun tindakan selalu bentrok dengan pihak lain. Menyedihkan melihat sikap Egosentrik seperti itu, bukankah “di atas langit ada langit lagi?”

Berbeda dengan Anton seorang petinggi di perusahaan Multi National dalam instagramnya, foto yang ada di feed-nya melulu tentang wajah dan dirinya. Saya menulis ini, bukan berarti saya sudah sukses berdamai dengan Ego, no! Ego tidak hanya tentang kita juga, tapi semua atribut yang menempel di diri kita, termasuk apa juga dengan yang kita yakini. Ego adalah fanatisme tentang diri sendiri, seperti mitologi Yunani kuno tentang Narcissus, seseorang yang jatuh cinta pada bayangannya dan terus menatap wajahnya di sebuah danau. Akhirnya karena terus berkaca suatu hari, tenggelamlah ia dan tewas karena terlalu lama mengagumi wajahnya. Ada lagi cerita yang saya alami, pada suatu hari, saya menyuruh anak kami untuk mengatarkan makanan ke seorang kerabat. Ketika mereka sampai disana, kerabat kami tidak pernah berhenti ngoceh, akhirnya anak kamipun pamit pulang sangking sudah tidak tahan mendengar celotehannya. Menganggu? Tentu sangat!

Hanya sedikit orang yang saya temui yang dapat selalu berdamai dengan dirinya dan keadaan. Bila kita dapat seperti mereka, alangkah menyenangkannya hidup ini. Tentu kita semua tahu, ketika ajal menjemput, kita tidak akan hidup kembali, artinya hidup kita hanya 1x ini saja. Ya, hanya satu kali, tidak dua kali apalagi sampai seperti nyawa kucing. Apa langkah yang mutlak yang harus kita lakukan? agar hidup yang hanya satu kali ini dapat membuat kita terus tenang dan damai? Jawabannya adalah hiduplah dengan hati yang tentram tanpa terganggu oleh apapun. Tanpa mengkedepankan Ego. Kalau beberapa cerita di atas dipindahkan dalam situasi seseorang harus berbicara di depan umum? Bayangkan, orang itu akan bicara tentang dirinya, hidupnya, kesukaannya, ketidaksukaannya, dimanapun, kapanpun dan berapa lamapun. Mati aku!

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri, kita selalu membutuhkan orang lain, membutuhkan hasil kerja dari orang lain, termasuk semua alat yang kita gunakan dalam hidup ini, mulai dari smartphone, alat transpotasi, sampai genteng rumah kita. Ketika kesadaraan itu kita miliki, kepekaan itupun akan terus ada dan kita akan menjaganya baik-baik. Manfaatnya kita manusia akan hidup terus berdampingan dengan damai.  Semakin kita dapat mengatur Ego kita, kitapun kita dapat mengedalikan diri untuk dapat mengukur kapan harus bicara dan kapan harus diam. Agar ada kesempatan yang sama juga untuk mendengarkan cerita dari orang yang kita jumpai, ada yang bicara ada yang mendengar dan begitu sebaliknya. Bila kita dapat melakukannya terus menerus artinya kita sudah menikmati hidup yang hanya satu kali ini saja. Mari kita nikmati hidup dan rayakan!