Apakah kamu dikelilingi dengan orang-orang yang selalu sependapat denganmu? Apakah di antara teman-teman terdekatmu tidak ada satupun orang yang punya pendapat berseberangan denganmu dalam hal politik, ekonomi, agama, dan isu sosial? Sekarang coba buka media sosialmu. Apakah pendapat dan sudut pandang konten media sosialmu cenderung seragam dan jarang berlawanan dengan pendapatmu secara sosial, ekonomi, dan politik? Apakah semuanya seperti mengkonfirmasi pandangan pribadimu? Kalau kamu menjawab YA di hampir semua pertanyaan tadi, besar kemungkinannya bahwa kamu terjebak dengan yang dikenal dengan istilah Echo Chamber.
Istilah echo chamber pertama kali muncul tahun 2007 dari penulis dan aktivis Amerika, Cass Sunstein, dalam bukunya yang berjudul “Republic.com 2.0.” Echo chamber adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sebuah lingkungan di mana opini, pandangan, dan informasi, hanya menguatkan dan mengonfirmasi keyakinan yang sudah ada, dan mengabaikan pandangan alternatif atau berbeda. Dalam sebuah echo chamber kita cenderung berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pandangan yang sejalan dengan kita, mengonsumsi media atau sumber informasi yang mengkonfirmasi keyakinan kita, dan mempertahankan pemikiran kelompok yang homogen.
Apa bahayanya Echo Chamber? Dalam konteks komunikasi efektif, Echo chamber dapat memiliki dampak negatif pada kemampuan komunikasi kita. Ini alasannya:
1. Kurangnya eksposur pada pandangan yang berbeda. Ketika kita terjebak dalam echo chamber, kita cenderung hanya terpapar pada sudut pandang yang sejalan dengan keyakinan kita. Ini dapat menyebabkan ketidakmampuan untuk memahami pandangan yang berbeda atau untuk berkomunikasi secara efektif dengan orang-orang yang memiliki pandangan atau pendapat yang berbeda. Kita akan menjadi close minded ketika berhadapan dengan pandangan yang bersebrangan dengan kita.
2. Ketidakseimbangan informasi. Echo chambers cenderung menyediakan informasi yang hanya menguatkan keyakinan yang sudah ada. Ketika kita hanya terpapar pada sudut pandang yang sejalan dengan keyakinan kita, kita tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang argumen, data, atau fakta yang mendukung pandangan alternatif. Akibatnya, ketika berkomunikasi dengan orang-orang yang memiliki pandangan yang berbeda, kita tidak memiliki basis informasi yang cukup untuk memahami dan merespons argumen tersebut.
3. Kehilangan kemampuan mendengar dengan objektif. Echo chambers dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk mendengar sebuah opini berbeda dengan objektif dan terbuka. Kita cenderung memfilter informasi dan argumen yang tidak sejalan dengan keyakinan kita atau langsung menolaknya. Ini dapat menghambat kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik, karena komunikasi yang efektif membutuhkan kemampuan untuk mendengarkan dengan objektif, menghargai perspektif orang lain, dan merespons secara terbuka.
Untuk memperbaiki kemampuan komunikasi, penting untuk kita melangkah keluar dari echo chamber, dengan cara:
1. Diversifikasi sumber informasi. Upayakan untuk mengakses berbagai sumber berita dan informasi yang memiliki perspektif yang beragam. Jangan hanya mengandalkan satu sumber atau jenis media tertentu. Cari sumber-sumber yang mewakili sudut pandang yang berbeda dan yang menyajikan berbagai pendapat. Also, read more books with various point of views, so you can have your own critical thinking.
2. Berinteraksi dengan banyak teman dan kolega dengan pandangan yang berbeda, buka diri untuk mendengarkan dan berdiskusi. Ajukan pertanyaan, dengarkan argumen mereka, dan cobalah memahami perspektif mereka. Ini dapat membantu kita memperluas pemahaman dan melihat sudut pandang yang berbeda. Komunikasi yang baik melibatkan kemampuan untuk mendengarkan dan memahami sudut pandang orang lain.
3. Jika aktif di media sosial, pastikan bahwa lingkaran media sosialmu tidak terlalu homogen. Ikuti dan lakukan interaksi dengan orang-orang yang memiliki pandangan berbeda. Change your algorithm.
Public Speaking merupakan hal yang kerap kali digunakan dalam keseharian anak-anak terutama di sekolah. Dalam lingkup sekolah, tidak hanya kemampuan akademik namun softskill termasuk salah satu kemampuan Skillset yang harus dimiliki oleh anak-anak Anda.
Dalam prosesnya, tampil lebih percaya diri dan berani saat melakukan public speaking masih menjadi tantangan yang dirasakan oleh anak-anak. Faktor utama yang dialami oleh anak-anak adalah mereka merasa malu dan takut untuk berbicara di depan umum. Padahal rasa nyaman saat melakukan public speaking merupakan salah satu pondasi agar anak-anak memiliki keberanian dalam menyampaikan pemikirannya dan lebih mudah untuk bersosialisasi. Lalu bagaimana caranya? Berlatih public speaking !
Parents dapat mendaftarkan Youth Public Speaking sebagai aktivitas yang bermanfaat dan seru pastinya saat libur sekolah pada Desember 2023 nanti. Dengan metode fun learning dan fasilitator yang berpengalaman lebih dari 15 tahun pada bidang psychology, radio announcer, MC & tv presenter, dan public speaker akan membantu meningkatkan kemampuan public speaking anak Anda.
Pelaksanaan Holiday Program – Youth Public Speaking bertujuan untuk pengembangan diri, komunikasi, public speaking , meningkatkan kepercayaan diri, dan kepemimpinan. Program ini eksklusif untuk 15 peserta sehingga membuat interaksi kelas menjadi lebih private dan intimate dengan latihan secara individu dan grup.
Tuntutan dalam dunia kerja maupun sehari-hari membuat saya ingin mengembangkan cara dalam menyampaikan materi, berkomunikasi dengan baik, maupun menghidupkan suasana saat terjadinya komunikasi. Membutuhkan waktu cukup lama bagi saya melalukan research di sosial media maupun internet tentang kelas komunikasi atau public speaking hingga saya menemukan TALKINC. Alasan saya memilih TALKINC karena materi yang sangat menarik serta pengajar-pengajar yang ada merupakan orang profesional dalam bidang komunikasi. Sudah banyak juga rekan-rekan kerja saya yang mengikuti kelas TALKINC, sehingga saya tidak ragu untuk mengambil kelas Professional Program Public Speaking.
Terdapat beberapa materi yang disampaikan dalam 8 pertemuan dengan pengajar yang beragam sehingga dapat memberikan ragam sudut pandang profesional juga dengan pesertanya. Awal mula mengikuti kelas, saya cukup ‘kaget’ karena peserta dituntut untuk aktif dan melatih public speaking dari awal pertemuan. Namun, seiring berjalannya waktu dengan tuntutan tersebut membuat saya praktik secara langsung bagaimana menjadi public speaker yang baik dengan berbagai aspek penilaian seperti body language, flow of mind, intonasi berbicara, cara berpresentasi, dan lain sebagainya.
Dari semua kelas yang saya ikuti dengan para pengajar (mas Edo, mas Addry, mas Willy, mas Imam, mas Erwin, dan mas Rio) yang beragam memiliki kesan tersendiri yang tidak bisa dilupakan, saya banyak sekali belajar di setiap pertemuannya. Namun, ada satu kelas yang saya sangat ingat karena topik tersebut merupakan kelemahan saya, yaitu closing speech. Setiap saya melakukan presentasi atau menjadi pembicara maupun menjadi MC dalam berbagai acara, saya tidak memiliki kemampuan dalam memberikan closing yang berkesan untuk peserta. Cukup banyak kesalahan yang saya lakukan dalam pertemuan kali ini, namun Mas Imam Prabowo selaku pengajar memberikan banyak sekali pengetahuan akan closing speech ini dari yang berkesan, lucu, dapat mempengaruhi orang, dan masih banyak lagi.
Sebenernya masih banyak kesan mengenai pengalaman saya selama mengikuti kelas TALKINC yang tidak cukup saya sampaikan dalam tulisan singkat ini. Penyampaian yang dilakukan pun sangat menarik dan beragam sehingga membuat saya & teman-teman di kelas untuk terus mengikuti penyampaian materi yang diberikan. Terima kasih, TALKINC semoga terus maju dan sampai jumpa di kelas-kelas selanjutnya!
“Pernahkan Anda mengamati cara jalan seseorang dengan seksama? Dari cara jalan seseorang hendaknya kita dapat melihat kepribadian termasuk kecepatan kinerja seseorang!” ujar saya. “Aduh, kok begitu?” respon seorang peserta dalam sebuah sesi yang saya bawakan minggu lalu. Rasanya benar, kalau kita melihat orang yang teliti maka dari cara jalan mereka akan terlihat rapi/teratur, orang yang kaku pun akan terlihat, termasuk mereka yang ceroboh kemungkinan tersandung, dan cedera yang lebih banyak.
Apa hubungan cara jalan seseorang dengan Pace atau kecepatan seseorang dalam berkegiatan? Coba lihat orang-orang yang berada di kota-kota dunia, New York, Tokyo, London, Seoul, Singapore, dll. Kota yang sibuk, tidak berhenti berdenyut, dari cara jalan mereka yang cepat mewakili kehidupan dan roda kegiatan yang terus berputar. Berbeda ketika kita pergi ke tempat liburan, Universal Studio, Disneyland, atau di Bali, jarang kita lihat seseorang berjalan secepat kota-kota yang sibuk. Memang belum ada penelitian tentang ini, dan semuanya bersifat situasional.
Semakin kita memiliki kecepatan dalam bekerja tentu semakin banyak hasil yang akan kita dapatkan, begitupun dalam berkomunikasi atau public speaking, semakin cepat kita menangkap pesan-pesan dari lawan bicara dengan teliti, akan semakin efektif kita dalam berkomunikasi dan public speaking. Mari kita bahas, satu persatu.
Soal habbit atau kebiasaan bekerja dengan ritme yang cepat, tentu semua berasal dari sebuah perencanaan, dan prioritas. Ketika kita menuliskan secara terperinci semua hal yang menjadi tugas harian kita, kemudian kita harus menyusun skala prioritasnya, mana yang urgent, top urgent, mana yang bisa dikerjakan nanti, dan tentu kita juga harus mahir dalam menghitung berapa lama waktu yang akan ditempuh dalam pengerjaan sebuah tugas. Begitupun bila kita telah mempersiapkan agenda kerja kita dalam satu hari, seminggu, sebulan, setahun sebelumnya (misalnya projek besar) tentu akan semakin baik kita dalam mengatur kejelian atas kecepatan sebuah tugas harus diselesaikan sesuai waktu. Contoh yang sangat mudah, bila setiap pagi kita baru akan mempersiapkan baju untuk kita berkegiatan, akan berbeda dengan dampaknya kalau sudah dipersiapkan sehari atau seminggu sebelumnya karena kita sudah tahu penampilan dan kegiatan yang akan kita kenakan dan sesuaikan dalam minggu depannya. Pagi kita tentu tidak akan terburu-buru. Tentu semua yang saya sampaikan berhubungan dengan tindakan. Bila hanya ditulis atau direncanakan tanpa sebuah tindakan, sama saja nihil.
Kecepatan ini tentu akan sangat membantu seseorang semakin produktif atau tidak. Kita tentu sering mendengar istilah fast learner, nah orang-orang tipe ini memiliki kinerja yang mudah menyerap dan cepat dalam menjalankannya. Ketika kebiasaan ini kita pupuk, tentu akan menjadi habbit bahkan gaya hidup kita nanti. Hanya saja, tidak semua orang mau keluar dari zona nyamannya. Padahal semua orang harus memaksakan dirinya untuk bertumbuh.
Memulai sesuatu yang baru memang menantang dan perlu sebuah keberanian dan tindakan. Ketahuilah bahwa hanya perlu 14 hari bertahan dalam kebiasaan baru itu, karena itu adalah critical moment yang banyak orang tidak tahu. Kalau kita menyerah melakukan hal yang baru, biasanya tidak sampai satu minggu kita sudah mental block lagi dan kembali ke kebiasaan yang lama yang selalu membuat kita terus berada di zona nyaman. Sekarang saya informasikan 14 hari, Anda sudah bisa memiliki kesadaran dan mental kuat untuk memaksakan merubahnya. Nanti kebiasaan ini kita ulang terus dan terus, tentu akan serta merta menjadi gaya hidup/lifestyle kita selanjutnya.
Sebuah kecepatan/pace layaknya mengendarai kendaraan, semakin cepat semakin mudah kita mencapai sebuah tujuan, semakin cepat kita menangkap info dari lawan bicara dengan teliti, akan semakin efektif kita berkomunikasi. Dan waktu yang kita miliki akan menjadi sangat baik dan produktif. Jangan lupa juga menyisihkan waktu untuk me time dan personal development!
7 tahun bekerja di lingkaran dalam Kedutaan Besar Amerika Serikat (US Embassy) membuat saya menjadi tahu gambaran akan negara tersebut beserta karakteristik orangnya serta bagaimana perilaku mereka dalam dunia professional (penulis masih berharap satu hari dapat mengunjungi Negara Paman Sam). Dalam dunia kerja, kepintaran dan kemahiran suatu bidang saja tidaklah cukup untuk dapat bertahan secara konsisten. Membutuhkan kemampuan beradaptasi dan berkomunikasi satu sama lain untuk memperkuat pertahanan dalam profesionalitas. Petualangan saya selama 7 tahun ini dimulai dari ketidaksengajaan bertemu dengan salah satu pegawai US Embassy di sebuah lobby mall, dari obrolan basa-basi hingga ditawari bekerja dengan mereka. Kok bisa? Saya itu orangnya malas basa-basi dengan orang yang tidak dikenal, tapi ketika saya memutuskan untuk menjadi seorang MC Professional mengharuskan saya untuk menjadi orang yang “talkactive”. Kita tidak pernah tahu kalau kita tidak pernah mencoba membuka setiap pintu (peluang) yang ada bahkan dengan cara se-sederhana yakni obrolan santai.
Setelah menerima pekerjaan yang ditawarkan, ternyata itu buka puncak karir saya justru itu titik awal yang diiringi dengan berbagai tantangan. Dibekali oleh kemampuan berbahasa Inggris yang tidak terlalu istimewa, saya mulai bekerja dengan tidak percaya diri.
Tantangan yang saya alami dan belum temukan solusinya ini, menjadikan saya seorang yang pasif. Kemudian saya teringat oleh perkataan salah satu leader saat itu, “Dude, You should be proud that you can speak 2 languages rather than me. Come on, stand up and speak up, You are not in the middle of the TOEFL Test. Until now, sometimes I speak with no perfect grammar”. Ucapan tersebut mendobrak rasa malu-malu saya saat berbicara dengan orang lain, dan menstimulus saya untuk lebih percaya pada diri sendiri.
Dari pengamatan saya, Orang Amerika Serikat sangat santai cenderung tidak tahu sopan santun – hal ini dapat kita lihat dari perspektiif yang berbeda, tergantung bagaimana kita meresponnya. Pada satu momen, saya pernah dimarahi karena memanggil leader saya dengan sebutan “Sir” menurut mereka terlalu berlebihan. Dan satu momen lain, yang membuat terkejut yakni ketika di hari libur saya tetap bekerja karena memang ada kerjaan dan saya piker itu bentuk loyalitas saya terhdap perusahaan, namun keesokannya saya justru dipanggil dan diperingati untuk tidak bekerja pada saat di hari libur. Wah kalau bahasa generasi Z ini work life balance yang oke!
Sebutan The king of Entertainment juga sangat melekat dengan Amerika Serikat. Ribuan event yang sudah kami tangani dan jauh dari kata biasa. Karena budaya totalitas dan “have to look good” sangat ditanamkan untuk kami yang bekerja menangani event untuk US Embassy. Mau Bukti? Coba anda tonton Halftime Superbowl, konser yang berdurasi 15 menit bisa menjadi tontonan kelas dunia. They know how to make ordinary event / performance become extra ordinary. Menurut saya, kreativitas orang amerika diasah sejak di bangku sekolah yang memberikan kebebasan untuk menekuni bidang apapun dan ingat Amerika Serikat adalah Negara “melting pot” dimana semua orang dari penjuru dunia tinggal dan hidup rukun berdampingan di sana. Itu yang membuat mereka juga kaya akan adat dan kebiasaan setiap orang.
Dan satu lagi yang terkadang menjadi pertanyaan banyak orang termasuk saya saat itu. Kenapa US adalah negara yang “paranoid” dan sangat berhati-hati terutama dalam keamanan. Sangat ketat dalam pembuatan Visa walaupun hanya untuk turis sekalipun. Anda ingat kejadian 9 11 yang menewaskan begitu banyak warga US? Menurut saya, kejadian itu yang menimbulkan rasa trauma mereka, sehingga semua orang yang ingin membuat visa perlu penyaringan lebih ketat. Dan bekerja di lingkungan US Embassy juga membuat saya tahu pentingnya keamanan dalam bekerja. Hanya karena mereka mau melindungi negara tercinta mereka.
Tapi terlepas dari itu semua, perilaku budaya mereka juga dibentuk oleh judul di atas. Live the American Dream, dimana mereka percaya keberhasilan seseorang bukan dari strata sosial, agama, atau warna kulit melainkan pengorbanan, perjuangan dan kerja keras yang membuat suatu keberhasilan. Jadi jangan heran, mereka tidak pernah membedakan senior, junior, perempuan atau pria. Mereka percaya, selama ada kerja keras siapapun bisa. Apakah Anda sudah memiliki The American dream dalam diri Anda? I Dare you to dream with no limit and make it happen!
Penulis: Fernando Edo – TALKINC Main Facilitator
Penyunting: Alyezca Disya Rahadiz
Seorang peserta di kelas bertanya kepada saya “Mas Erwin, pernahkah terbayangkan bahwa akan ada di posisi seperti sekarang? Memimpin perusahaan dan aktif mengajar?” Pertanyaan yang sontak mengejutkan saya karena cukup menyentuh pribadi yang tidak pernah saya pikirkan akan ada orang yang menanyakan hal tersebut. Perlu beberapa detik untuk menjawab pertanyaan tersebut, akhirnya saya bilang gini “Sejujurnya saya tidak pernah membayangkan karir dan pekerjaan saya akan ada di titik ini, saya juga telah banyak membaca artikel dan buku tentang orang-orang yang bisa dibilang sukses dalam karir, dan merekapun tidak pernah membayangkan ada di titik itu!”
Kalau kita melihat ke dalam diri dan merefleksikan perjalanan hidup yang sudah kita lewati dan memetik hasilnya, ada yang berbuah manis, ada yang pahit, ada yang getir, dll. Semua itu tentu buah dari sebuah proses dan tindakan yang kita lakukan. Saya jadi ingat dulu ada sebuah kontes anak-anak muda yang sukses sebelum usia 30 tahun, sebagian mereka sekarang masih ada yang semakin sukses, tapi banyak juga yang berhenti karena setelah buah itu dipetik kemudian proses berikutnya tidak sesuai dengan espektasi mereka, akhirnya sebagian besar kandas di tengah jalan, dan mereka berhenti!
Menurut saya, makna kesuksesan adalah sebuah tindakan/proses tanpa henti. layaknya bernapas yang harus terus kita lakukan. Bila seseorang lekas puas dengan hasilnya maka proses sukses pun akan berhenti dengan sendirinya. Saya juga jadi ingat tante saya yang mengambil gelar Phd di Jepang, menjadi guru besar di universitas tersebut, dan tahun ini saya menyambangi beliau di usianya yang hampir 80 tahun. Ia berujar, bahwa kesuksesan dan predikat cemerlang yang ia dapatkan dulu, yang ia bangga-banggakan sekarang sudah tidak ada lagi. Tante saya juga tidak dalam kondisi fit, setelah terjatuh, ia hanya menghabiskan sisa waktunya dengan menonton televisi, membaca buku, diam dan terduduk tanpa ada aktivitas produktif yang ia lakukan seperti dulu kala. Berbagai macam pilihan yang kita miliki dalam menjalankan hidup/karir yang ingin kita raih mau sampai usia berapa?
Awal tahun ini saya membawakan sebuah acara ulang tahun seorang pengusaha yang usianya sudah 90 tahun tapi beliau masih terus bekerja dan aktif memimpin perusahaannya hingga saat ini. Saya ingin seperti beliau, tidak akan ada kata “berhenti” harus terus berjalan. Seperti banyak orang-orang yang usianya sudah sepuh tetapi masih kuat naik gunung Himalaya dll. Dan tentu perlu usaha keras tanpa henti, seperti konsisten merawat tubuh, pikiran, perasaan dan kemampuan membangun relasi dengan setiap orang.
Dari beberapa contoh di atas bisa menjadi motivasi dan acuan, pilihan dan penguat kita dalam menjalani sebuah proses, mengacu kepada kalimat bermakna yang populer dan favorit buat saya disebutkan oleh Steven R. Covey yaitu “Begin with the end in mind.” Kalimat ini telah menjadi “api” dalam diri saya untuk terus berjalan dan menerima sebuah proses apapun hasilnya. Konon tidak ada istilah orang yang gagal, tetapi adanya adalah orang yang memutuskan untuk berhenti berproses.
Bahwa kekayaan, kesuksesan, popularitas, bahkan kecerdasan bukanlah menjadi sebuah tujuan hidup (menurut saya), karena kalau kita sudah mencapai hal tersebut kita kemudian akan berhenti berproses. Sejatinya setiap orang harus memiliki keberanian untuk keluar dari zona nyamannya, dengan hati yang tulus, terbuka, memiliki integritas, menghargai setiap orang, santun, dll adalah nilai-nilai utama yang menjadi pedoman dalam memetik sebuah hasil yang terus berkesinambungan.
Bulan lalu kami di kantor merayakan proses baru dimana TALKINC menjadi LPK TALKINC, sebuah impian yang sudah saya nantikan dari beberapa tahun yang lalu. Proses panjang kami lewati berkat kerja keras team dan support system dari Lembaga Akreditasi, pemerintah DKI, juga Kementerian Tenaga Kerja yang telah meluluskan permintaan kami. Sebuah kado terbaik untuk tahun ini. Ketika press conference berlangsung, seorang senior yang saya undang membisikkan kata-kata ini kepada saya “Kamu harus terus bermimpi dan membuat diri kamu lebih besar dari mimpimu!”. Ucapan yang mungkin bagi orang lain biasa saja, tapi sangat personal buat saya hingga tertegun sejenak. Ucapan yang meyakinkan saya dalam bertekad untuk terus melanjutkan perjalanan ke depan tanpa henti. Saya berharap tulisan ini dapat memengaruhi pembaca untuk memiliki arah & tujuan dalam menjalani hidup karena dari sana kita dapat memaknai setiap langkah kita untuk bertahan di kehidupan yang selalu ‘ada-ada saja’, sehingga jangan pernah menyerah dan jangan pernah berhenti untuk terus menjalani hidupmu!
Ada beberapa orang beranggapan bahwa ekstrovert adalah orang yang cerewet dan introvert adalah orang yang pendiam. Makanya ketika ada orang yang lancar sekali berbicara di depan umum, anggapannya adalah: “Oh, pasti dia extrovert, wajarlah bisa ngomong lancar di depan umum”. Ini merupakan satu miskonsepsi mengenai penilaian tipe kepribadian yang sering kita dengar dan pada artikel ini kita cari tahu jawabannya ya!
Oke, saya disclaimer dulu ya. Saya adalah seorang introvert yang sudah bergelut di dunia public speaking selama lebih dari 20 tahun. Pertama kali saya sadar bahwa saya adalah seorang introvert adalah ketika saya membaca buku dari Carl Jung yang berjudul Psychological Types. Dalam buku ini, Jung menggambarkan introvert sebagai orang yang lebih fokus pada dunia internal, cenderung memproses informasi dengan refleksi diri dan lebih memilih waktu sendiri untuk mengisi ulang energi. Sementara, ekstrovert cenderung lebih fokus pada dunia luar, memproses informasi melalui interaksi dengan lingkungan sosial, dan mendapatkan energi dari interaksi sosial tersebut. Jadi kalau balik lagi ke pertanyaan, apakah introvert pasti pendiam dan extrovert pasti cerewet? Jawabannya adalah: TIDAK. The only difference is how you recharge your energy. Jadi kalau kamu adalah tipe menjadi enerjik ketika kamu bertemu banyak orang, kemungkinan besar kamu adalah extrovert. Kalau kamu lebih enerjik seusai menghabiskan waktu sendirian, kemungkinan besar kamu introvert.
Dalam buku Understanding People, Erwin Parengkuan, founder Talk Inc, memisahkan tipe introvert dan ekstrovert dalam konteks gaya komunikasi, bahwa ada 4 tipe manusia secara general yaitu, Si Gesit, Si Rinci, Si Kuat, dan Si Damai. Untuk detilnya silahkan baca sendiri dan lakukan tesnya biar lebih mengenal diri sendiri. Intinya, gaya komunikasi introvert dan ekstrovert memang sangat berbeda.
Nah, kalo kembali lagi ke topik kita tadi, bisakah seorang introvert menjadi Public Speaker yang baik? Jawabannya adalah: BISA BANGET. Memang, seorang ekstrovert kecenderungannya lebih nyaman berbicara di depan umum dan bahkan menjadi enerjik berbicara di depan audience dalam jumlah besar, tetapi introvert juga banyak kelebihannya lho. Introvert cenderung memiliki kemampuan yang baik dalam mendengarkan, cenderung memperhatikan detil, memahami sudut pandang orang lain dengan lebih baik, memproses informasi secara mendalam untuk mengembangkan perspektif yang matang, dan cenderung memiliki kemampuan observasi yang kuat.
Jadi bagaimana supaya seorang Introvert lebih nyaman berbicara di depan umum, padahal secara energi banyak terserap dengan kehadiran orang banyak apalagi menjadi menjadi pusat perhatian? Yang biasa saya lakukan adalah pertama, persiapkan materi secara menyeluruh. Dengan memiliki pengetahuan yang mendalam tentang topik yang akan dibawakan, kita akan merasa lebih percaya diri saat berbicara di depan umum. Preparation is key. Kedua, rehearse, rehearse, and rehearse. Lakukan latihan dan repetisi sebelum berbicara di depan umum. Rehearsal membantu membangun rasa percaya diri dan memperkuat kemampuan berbicara secara lancar. Berikutnya adalah fokus pada konten. Introvert cenderung lebih memikirkan isi pesan daripada perhatian yang diberikan oleh audiens. Maksimalkan kekuatan ini dengan berfokus pada inti pesan yang ingin disampaikan. Last but not least, give yourself time to recover. Setelah melakukan public speaking, introvert cenderung merasa lelah secara emosional. Kasih waktu ke diri sendiri untuk mengisi ulang energi dengan menghabiskan waktu sendiri.
Jadi nggak ada lagi alasan nggak mau berbicara di depan umum dengan melabeli diri introvert ya. Pada dasarnya semua kepribadian memiliki kesempatan yang sama untuk mampu menjadi Great Public Speaker. We can do it!
Pengunaan teknologi yang semakin meningkat dalam segala aspek kehidupan membuat pekerjaan menjadi sangat fleksibel, baik secara waktu maupun tempat. Kompetensi dan fleksibilitas kerja menjadi poin utama. Tenaga kerja juga dituntut untuk menguasai perkembangan teknologi dengan soft skills yang memadai. Melihat hal ini, LPK TALKINC – kini sudah terakreditasi oleh Lembaga Akreditasi LA-LPK Kemenaker RI, membuat dan mempraktikkan aneka macam inovasi sistem pembelajaran. Berpengalaman selama hampir 19 tahun dalam memberikan pelatihan komunikasi dan program Public Speaking, serta berkomitmen untuk mendukung Gerakan Nasional Indonesia Kompeten (GNIK).
LPK TALKINC merupakan LPK khusus pelatihan komunikasi dan public speaking yang pertama di Jakarta yang telah terverifikasi didalam Sistem Perizinan OSS dan telah terakreditasi oleh Lembaga Akreditasi LA-LPK Kemnaker RI, dengan demikian LPK TALKINC hadir untuk membantu membangun kompetensi mengembangkan sumber daya manusia dengan lulusan-lulusan yang siap bekerja.
Sebuah curhatan dari sesi minggu lalu telah membuat saya menyimpan pemikiran ini untuk beberapa hari, rasanya setiap orang harusnya sudah tahu siapa dirinya dan konsep diri seperti apa yang ingin ia tampilkan, tetapi ketika dalam sesi itu, seorang leader yang bisa dibilang memiliki jabatan tinggi dan selalu bertemu dengan network yang luas ternyata dengan terbuka mengatakan “Saya tidak tahu siapa diri saya? Saya sering bertanya ke dalam diri, siapa saya? Tetapi selalu kebingungan untuk menemukan jawabannya!” Dari tampak luar leader ini terlihat tangguh juga tenang. Tapi siapa yang tahu isi hati seseorang?
Bisingnya hiruk-pikuk dunia ini telah membuat kita lebih banyak melihat ke luar daripada ke dalam diri. Kegalauan semacam ini tentu bukan hal baru, semakin banyak kita terus melihat ke luar, akan semakin sulit kita menentukan konsep diri kita. Contoh di atas tidak menyinggung soal seseorang yang masuk kategori people pleaser, melainkan murni ketika hidup kita terlalu bising dan dikelilingi oleh orang-orang yang tidak otentik tentu semakin besar potensi kelalauan tentang konsep diri ini.
Menurut saya, ada banyak kesempatan yang dapat kita ambil untuk menemukan tentang cara membuat konsep diri, sebelum saya uraikan, 4 faktor penyebab ini dapat memicu seseorang tidak mengetahui siapa dirinya:
• Dikelilingi oleh orang-orang yang palsu
• Gaya hidup hedonis
• Tidak memiliki waktu dengan dirinya
• Dan terlalu takut dibilang jelek oleh orang lain.
Beberapa waktu yang lalu juga seorang teman curhat kepada saya, ia mengatakan hal yang hampir sama dengan contoh di atas. Ia merasa lelah karena terlalu banyak mengikuti permintaan orang lain, melayani orang lain bahkan kerap melupakan dirinya sendiri. Rupanya semakin bising hidup kita, semakin kesulitan seseorang untuk bertanya ke dalam tentang konsep dirinya.
5 langkah berikut ini dapat membantu Anda yang mungkin masih memerlukan bantuan dalam membentuk konsep diri yang utuh:
1. Kekuatan Diri
Tuliskan hal-hal yang menjadi kekuatan diri kita. Hal yang kita yakini 100% ada dalam diri kita. Bukan sebuah pencapaian tetapi sebuah tindakan/perilaku yang selalu kita lakukan secara alami muncul dari dalam diri. Misalnya saya adalah seseorang yang cepat belajar, terbuka, dll
2. Meditasi
Tidak bisa dipungkiri, berbicara dengan diri sendiri, mendengarkan diri sendiri akan kita dapatkan dalam momen meditasi. Hening dan diam untuk 5 menit, atau bahkan waktu yang lebih. Memiliki waktu dengan meditasi setiap hari, akan membantu kita lebih tenang dalam menghadapi berbagai macam tuntutan dari dunia ini. Cobalah tentukan berapa lama waktu kita akan meditasi dan fokus kepada nafas kita. Ambil waktu terbaik, entah pagi hari sebelum berkegiatan atau malam hari sebelum tidur. Segala sesuatu yang kita lakukan dengan hening, seperti membaca buku, dalam kesendirian menikmati indahnya alam termasuk dalam bentuk meditasi
3. Lingkungan Positif
Teliti siapa saja orang-orang disekeliling kita. Apakah mereka adalah teman-teman yang tulus kepada kita? Tulislah 5 orang terdekatmu, coba liat hal baik apa yang telah kita berikan kepada mereka, begitupun sebaliknya. Bila tidak ada, bisa jadi kita berada dalam lingkungan pertemanan yang tidak sehat
4. Memiliki Mentor
Carilah seorang mentor yang dapat melatih kita dalam mengasah kemampuan. Atasan di kantor dapat kita minta waktunya seminggu sekali selama 30 menit untuk membantu kita membukakan potensi diri. Atau kalau tidak ada yang dapat diandalkan, carilah di lingkungan sosial lainnya. Seorang mentor yang baik adalah seseorang yang mengacu kepada sebuah kebaikan
5. Tujuan Hidup
Kalau keempat faktor diatas sudah kita jalankan, mulailah membuat catatan dalam jurnal kita tentang tujuan hidup yang akan kita capai. Tujuan jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Sesekali luangkan waktu untuk kembali melihatnya bahkan merevisinya.
Dengan 5 langkah membentuk konsep diri tersebut, diharapkan kita lebih mengenal siapa diri kita sebenarnya. Tidak ada lagi kebingungan dan muncul pertanyaan “Siapa saya?”, beranilah untuk menunjukkan diri dengan bangga dan menyatakan “ini loh saya”.
Rasa tidak yakin dengan kemampuan diri adalah hal yang biasa dialami oleh para profesional. Tetapi merasa diri sendiri penipu dengan menihilkan kompetensi dan pencapaian diri, apalagi menganggap bahwa semua yang dicapai adalah faktor kebetulan? Hati-hati, mungkin dirimu menghadapi yang namanya Impostor Syndrome!
Impostor syndrome sebetulnya bukan istilah baru, meskipun gaungnya baru terasa di 5 tahun terakhir. Istilah ini pertama kali muncul pada tahun 1978 melalui sebuah artikel yang ditulis oleh dua orang psikolog bernama Pauline Rose Clance dan Suzanne Imes, berjudul “The Impostor Phenomenon in High Achieving Women: Dynamics and Therapeutic Intervention.’ Di artikel ini dijelaskan bahwa Impostor Syndrome adalah sebuah pola psikologis di mana seseorang meragukan kemampuan dan pencapaiannya, merasa diri tidak kompeten, meskipun ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa kita adalah orang yang kompeten dan memiliki pencapaian yang cukup. Orang yang mempunyai impostor syndrome sering percaya bahwa prestasi yang dicapai hanyalah sebuah ‘kebetulan’, bukan sebuah hasil dari usaha keras dan kemampuan yang dimiliki. Meskipun jurnal ini berfokus pada perempuan, tapi riset lanjutan juga menunjukkan bahwa sindrom ini kerap juga terjadi pada laki-laki.
Gejala impostor syndrome diantaranya adalah keraguan diri yang berlebihan, cenderung meremehkan prestasi dan mengatribusikan kesuksesan diri kepada faktor eksternal seperti keberuntungan, kekhawatiran bahwa orang lain akan menemukan bahwa kita sebenarnya tidak kompeten, sering merasa perlu terus membuktikan diri sendiri kepada orang lain secara berlebihan, dan sering menunda pekerjaan karena takut terlihat tidak sempurna. Kalau beberapa gejala ini ada di dirimu, tenang, kamu nggak sendirian kok. Saya juga mengalaminya. Meskipun sudah bergelut di bidang komunikasi selama 20 tahun lebih, saya kadang merasa tidak punya cukup kompetensi untuk mengajar komunikasi. Yes, I’ve been practicing communication as a professional for more than 20 years, but teaching is a whole new ball game and I often felt that I was fooling everyone. Ketika saya mencoba mencari tahu lebih dalam mengenai sindrom ini, saya menemukan bahwa beberapa orang sukses yang saya kagumi juga mengakui mengalami sindrom ini seperti Maya Angelou, Neil Gaiman, bahkan Michele Obama, padahal kompetensi mereka tidak usah dipertanyakan lagi.
How to overcome it? Kalau kamu merasa memiliki sindrom ini, bagus. You’ve already taken the first step, because you’re becoming aware of it. Langkah pertama adalah menyadari tantangan diri sebelum mencoba memperbaikinya. Untuk saya, hal yang saya lakukan dalam menghadapi sindrom yang sangat kontra produktif ini adalah dengan meredam suara-suara negatif di dalam kepala saya, berhenti meremehkan kompetensi dan prestasi diri, tidak membandingkan diri dengan orang lain, dan banyak berdialog dengan orang-orang yang menyadari kelebihan-kelebihan saya. Be kind to yourself. Dan yang paling penting, stop menunda pekerjaan. Menunda pekerjaan adalah kebiasaan yang sering dilakukan orang yang mengidap impostor syndrome karena terobsesi dengan kesempurnaan. Fokus ke progres dan proses, bukan ke hasilnya saja.
Kalau ingin tahu lebih banyak mengenai Impostor Syndrome ada beberapa literatur yang bisa kamu baca, seperti:
1. The Impostor Syndrome: Becoming an Authentic Leader, Harold Hillman,
2. The Reality of Impostor Syndrome: Overcoming Internalized Barriers to Professional Development, Josephine E. Pemberton, Suzanne J. Imes.
3. Chasing the High: An Entrepreneur’s Mindset Through Imposter Syndrome, Michael G. Dash.