by admin | May 30, 2023 | Public Speaking & Communication
Tulisan ini tertuang dari sebuah pengalaman saya pada saat menjadi facilitator di sebuah “online class” dimana ada satu peserta yang memiliki pendapat bahwa berbicara itu menyampaikan pesan, ide dan perintah. Memang peserta tersebut tidak menceritakan secara detail apa yang dimaksud komunikasi dari pandangannya. Tapi, saya sudah bisa menarik kesimpulan bahwa arti dari komunikasi hanya sebatas itu.
Kalau TALKINC friends suka membaca artikel di website ini, Mas Erwin Parengkuan sudah membahas tuntas mengenai komunikasi itu seni membangun hubungan. Nah, sekaran saya Tanya, siapa di sini yang merasa beraaaatt sekaliii untuk memulai pembicaraan dengan orang lain? Hahaha mungkin ada yang mengaku dan tidak yaaa. Baik saya contohkan dengan diri saya ya.
Saya itu termasuk orang yang sulit (malas) untuk memulai pembicaraan dengan siapapun. Tapi karena pekerjaan yang mengharuskan saya untuk menjadi orang yang talk-active, saya paksa sehingga ini sudah menjadi kebiasaan setiap kali bertemu dengan orang baru. Memulai pembicaraan. Ada banyak buku / literasi yang menuntun kita bagaimana memulai percakapan. Bagi TALKINC Friends yang merasa “eh relate banget dengan saya nih”, boleh untuk dicoba yaa.
Saya selalu memulai percakapan dari keadaan sekitar mulai dari mengomentari topik sederhana seperti cuaca, kemacetan yang terjadi, atau bahkan tempat bertemu kita dengan lawan bicara. Mengapa dari topik-topik tersebut untuk memulai pembicaraan? Karena dari topik sederhana itu mudah dipahami dan dikomentari oleh banyak orang, dan saat itu kita sedang mencari “chemistry” dengan lawan bicara. Masuk ke tahap selanjutnya yaitu mencari persamaan seperti makanan kesukaan. Ya topik ini yang paling mudah dibawa ke dalam pembicaraan sebagai “ice breaking” sekaligus kita mencari persamaan dengan lawan bicara.
Pada saat saya bekerja menjadi Marketing Manager, tugas saya yaitu membuka kerjasama dengan berbagai pihak. Salah satunya adalah dengan produsen wine dan saya ditawari untuk mengikuti wine tasting. Wine tasting ini tentu acara khusus yang biasanya diikuti oleh orang-orang yang berhubungan dan memiliki pengetahuan banyak tentang wine. Malam itu juga saya belajar istilah dasar mengenai wine agar saya dapat in-line saat mengobrol tentunya. Pada saat wine tasting, saya harus bolak balik ke kamar kecil karena muka saya merah dan mencoba untuk cuci muka agar tidak terlihat. Karena ini untuk kepentingan bisnis saya berusaha untuk bertahan dan menemani produsen wine hingga larut malam. Selama wine tasting tidak ada pembicaraan bisnis sedikitpun. Selang beberapa hari, proposal kerjasama akhirnya disetujui dan kami pun bekerjasama. Apa maksud dari cerita ini? Terkadang kita perlu melakukan penyesuaian dalam mencapai tujuan kita — dalam kasus ini kesepakatan bisnis. Hal ini bukan berarti kita menjadi 180o orang yang berbeda ya.
Cerita lain berasal dari teman saya. Ia bercerita harus membeli raket tenis hanya karena keesokan harinya harus menemani client bermain tenis. Saat bermain tenis, Ia hanya sanggup bermain selama 15 menit karena memang belum pernah bermain tenis. Namun, dari situ timbul rasa respect dan segan dari client kepada teman saya sehingga kesepakatan bisnis pun tercapai. Inti dari ke dua cerita ini adalah alangkah akan lebih maksimal jika kita dapat menyentuh hati lawan bicara kita. Artinya kita memiliki keseriusan dalam dalam membangun hubungan.
Terdapat salah satu quotes dari Nelson Mandela yang memiliki makna bahwa ketika kita berbicara maka gunakan bahasa yang dapat menyentuh hati dari lawan bicara kita.
TALKINC Friends, mungkin Anda fasih berbagai bahasa asing. Tapi apakah “bahasa” yang Anda gunakan sesuai dengan lawan bicara Anda?
Penulis: Fernando Edo – TALKINC Main Facilitator
Editor: Alyezca Disya Rahadiz
by admin | May 26, 2023 | Information, News
Pada masa pandemik, semua berlomba untuk hidup sehat dengan cara berolahraga dan mengonsumsi makanan sehat. Saya termasuk yang ingin hidup sehat dengan berolahraga rutin. Karena saat PPKM tidak diperbolehkan keluar, saya menggantinya dengan olahraga di dalam rumah saya yang sangat strategis (toilet, meja makan, kamar berdekatan) jadi saya mencoba untuk melakukan push-up. Hari pertama target saya adalah 30x push-up dalam 5 menit dan berhasil walaupun dengan muka biru. Hari Kedua saya merasa sakit di bagian dada dan tangan sehingga memutuskan untuk “break” sampai hari kelima. Lalu saya berpikir untuk me–“reset” intensitas push up dimulai dari 20 dan naik tiap minggunya secara konsisten. Di akhir bulan Agustus, Saya sudah berhasil push-up sebanyak 140x dalam waktu 7 Menit tanpa “break”. Dan saya sadar ketika push-up ini menjadi satu kebiasaan, alam bawah sadar akan memerintahkan otak untuk harus melakukannya tanpa ada rasa beban.

Seperti judul tulisan ini yang saya ambil dari tagline marketplace yakni “mulai saja dulu” dengan usaha yang sangat kecil. Seringkali setiap peserta di kelas selalu bertanya bagaimana untuk mahir dalam “public speaking” atau ingin menjadi seorang pembawa acara di kantor. Itu semua bisa dimulai dari hal sederhana yang kemudian dilakukan secara konsisten. Misal, ajukan satu pertanyaan di setiap meeting jika Anda terbiasa hanya menjadi “follower”. You have to “Speak up” and express your idea. Ketika sudah terbiasa untuk mengajukan pertanyaan pada sesi meeting, maka akan berkembang tidak hanya mengajukan pertanyaan tetapi dapat mencetuskan memberi ide. Setelah terbiasa berani berbicara, maka coba beranikan diri untuk mengajukan diri menjadi pembawa acara di acara internal kantor. Terkadang memulai sesuatu terasa lebih berat, kenapa? Karena banyak ketakutan & kekhawatiran dalam pikiran diri yang padahal belum tentu terjadi. Ketika sudah mulai, maka kebiasaan lah yang akan membuat Anda menjadi mahir dalam satu spesifik keahlian yang Anda inginkan. Keluar dari zona nyaman memang hal yang paling menantang. Tapi percaya, itu akan membuat Anda menjadi pribadi yang tangguh dan bisa beradaptasi di era yang penuh dengan ketidakpastian ini.
Yuk, Mulai aja dulu!
Penulis: Fernando Edo – TALKINC Main Facilitator
Editor: Alyezca Disya Rahadiz
by admin | May 26, 2023 | Information, News
Oleh Erwin Parengkuan
Sebuah diskusi yang dalam dan menarik ketika saya membawakan sesi dengan para leader dari perusahaan platform digital, dimana kami membicarakan tentang bagaimana seseorang dapat berubah menjadi versi best-self terutama ketika pertama kali bertemu dengan orang baru dan ingin membangun relasi jangka panjang. Saya mengatakan bahwa salah satu hal terpenting adalah menjadi pribadi yang ‘pleasant’. Seorang peserta mengaku menemui kesulitan dalam memberikan apresiasi sebagai indikator seseorang dapat dibilang menyenangkan. Buat dirinya setiap hari adalah Just Another Monday! Bukan berarti ia tidak memerhatikan lawan bicara, tetapi ia merasa takut garing, dan takut salah kalau serta merta memberikan apresiasi itu, selain bukan kebiasaan sehingga ia menyimpannya dalam hati saja. Mungkin ada di antara Anda yang masih memiliki keraguan seperti itu. Menjalankan ritual business as usual ketika bertemu dengan orang baru, tidak ada bonding, dan tidak ada personal touch.
Apakah perilaku seperti ini akan diingat oleh lawan bicara? Tentu tidak! Umumnya semua orang yang logis akan melakukan hal yang sama terus menerus. Seperti salah seorang profesional mengatakan hal yang sama “Buat apa memberikan apresiasi kalau ternyata kita tidak dapat memberikan bobot dalam setiap ucapan yang kita lakukan dalam konteks pekerjaan?” saya kemudian memberikan pilihan kepada mereka. Pilih mana? Berbobot tapi tidak ada personal approach, atau menyenangkan tetapi tidak berbobot, atau menyenangkan dan berbobot?
Setiap orang memiliki harapan untuk selalu diperhatikan. Dalam sebuah jurnal tentang mental health issue yang baru saja dikeluarkan belum lama ini; mengatakan bahwa setelah pandemi berakhir banyak warga di US makin merasa kesepian dan akibatnya membuat mereka merasa hidup tidak ada artinya. Mereka menjadi frustasi, apatis dan mencoba mengakhiri hidupnya. Keadaan ini lebih mengkhawatirkan daripada penyakit generatif dll. Artinya sebagai mahluk sosial kita harus tetap menjalin relasi dengan semua orang, semakin dekat hubungan yang kita jalin akan semakin bahagia seseorang. Dalam riset ini juga mengungkapkan semakin lama kita berinteraksi hanya di media sosial, semakin membuat seseorang menjadi depresi kosong jiwanya.
Tidak ada di antara kita yang mau hidupnya tidak bahagia. Jadi cobalah mulai sekarang melatih diri untuk menjadi lebih perhatian kepada orang yang kita jumpai. Seorang peserta juga menyambar dengan sebuah pernyataan “Gimana kalau respon lawan bicara kita datar? atau ia tidak bergeming? Ini akan membuat kami lebih takut lagi dalam memberikan perhatian!” satu peserta lainnya di sesi itu melengkapi dengan penjelasan yang baik “Selama kita tulus menyampaikannya, kita tidak perlu khawatir dengan apresiasi yang kita berikan, terlepas orang itu akan menerima atau memberikan respon tidak seperti yang kita harapkan!”
Ada sebuah istilah yang sangat indah yaitu “giving without expecting” ini akan membantu siapapun untuk belajar menerima, memberi tanpa berharap yang tentu akan membuat kita tidak memiliki ekspektasi apapun kepada siapapun. Menurut saya pernyataan itu adalah sebuah filosofi yang sangat bijaksana. Kita akhirnya akan menjadi pribadi yang menyenangkan dimanapun kita berada, lebih ikhlas. Selama hal tersebut kita lakukan dari hati dan tidak berharap apapun, jiwa kita semakin besar, kita menjadi orang yang selalu juga berpikir besar dan pada akhirnya akan mengasah diri kita menjadi manusia unggul dengan mental yang kuat dan pikiran yang terus terbuka.
Mari kita teruskan niat baik ini agar jiwa kita terpenuhi untuk menjadi diri yang lebih baik dari waktu ke waktu. Kita tidak membiarkan mood menguasai diri kita dan memiliki kesadaran penuh untuk terus berbagi, sehingga hari Senin kita tidak seperti hari Senin kebanyakan orang.
by admin | Mar 27, 2023 | client
by admin | Mar 27, 2023 | client
by admin | Mar 3, 2023 | Uncategorized
by admin | Feb 20, 2023 | Professional Life
oleh Erwin Parengkuan
Dalam sebuah pelatihan dengan 30 peserta yang semuanya adalah generasi Zillenials selama 2 hari penuh, saya berkesempatan mengenal mereka lebih dekat lagi. Menyelami pikiran dan ketakutan-ketakutan mereka, tepatnya ketika nanti akan ditempatkan di area kerja yang baru, bertemu dengan para senior level serta kekhawatiran tentang nasib karir mereka.
Ketika sesi terakhir, kami meminta mereka satu persatu untuk tampil presentasi tanpa slides dan menyampaikan materinya selama maksimal 2 menit. Ini adalah waktu yang paling saya nantikan karena saya akan melihat bagaimana mereka telah menerima materi dengan baik, adakah diantara mereka yang memiliki kemampuan komunikasi yang terbaik.
Seorang anak maju ke depan dan mulai menceritakan tentang pengalaman mengambil double degree di luar negeri. “Mulanya saya sangat ragu, apakah saya dapat berdikari tanpa dampingan keluarga di negara orang? Perasaan cemas itu semakin meningkat menjelang keberangkatan saya. Saya sangat risau, karena saya adalah satu-satunya anak perempuan di keluarga. Selama bersekolah saya selalu diantar jemput oleh orang tua. Mereka sangat melindungi saya dan sayapun nyaman dibuatnya. Tetapi ketika sampai kepada keputusan mengambil sekolah di LN, mereka membebaskan saya. Di sisi lain, ada perasaan penasaran, apakah saya betul bisa lepas dari keluarga saya? Bagaimana nanti kalau saya sakit, siapa yang akan merawat saya? Kalau ada yang tidak beres di tempat saya tinggal, kepada siapa saya meminta bantuan?” Demikian celoteh si anak Z ini kepada kami di kelas. Saya sangat menikmati ceritanya dengan alur yang baik, dan tentu penasaran akan bagaimana kelanjutan kisahnya.
“Akhirnya, ketika saya sudah sampai di negara itu, sudah masuk ke universitas yang saya impikan, sudah mendapatkan tempat tinggal yang tidak jauh dari kampus, ternyata semua yang saya takutkan tidak terjadi. Ini seperti kata hati saya ketika saya memutuskan untuk meninggalkan keluarga. Dalam hati saya bilang, kalau “ujian kecil” ini saja saya tidak bisa melewati, bagaimana dengan karir saya selanjutnya?”
Ternyata memang betul, sebuah keyakinan memang harus kita yang menciptakannya. Harus kita yang meyakininya. Kita harus memiliki kemampuan untuk memvisualisasikan bayangan itu dalam sebuah gambaran yang jelas, semakin jelas kita bayangkan, akan semakin mudah kita meraihnya! Ketika kita yakin, semua tindakan akan berjalan dengan baik. Bila kita percaya, semua akan terjadi seperti apa yang kita bayangkan. Belief System adalah suatu sikap yang ditunjukkan saat seseorang merasa mampu dan yakin. Ketika perasaan ini dipupuk maka akan menghasilkan sebuah kebenaran. Ketika kita berpikir negatif tentu hasilnya akan sama, begitupun sebaliknya. Ketika muncul perasaan ragu hendaknya kita langsung menganalisanya, apakah hal tersebut memiliki fakta yang kuat atau itu hanya sebuah ketakutan belaka/asumsi. Ketika proses ini kita jalankan terus, kita juga akan memiliki kemampuan untuk mengubah sebuah ketakutan menjadi sebuah usaha yang akan memberikan sebuah hasil. Bila hasilnya belum sesuai tentu kita akan mencari jalan keluar terbaik dan akan berjalan seperti apa yang sudah kita dipercayai, dan apa yang kita akan raih akan semakin jelas wujudnya.
Memaksimalkan Belief System sebagai modal keyakinan untuk menjadi terbaik dari diri kita menurut saya mutlak 100%. Berbagi faktor akan terus bermunculan, seperti pengaruh pola asuh, kemudian melihat figur yang dapat kita jadikan sebuah contoh, seberapa besar informasi akurat yang kita peroleh, termasuk lingkungan sosial akan memberikan kontribusi penting. Ketika proses ini tidak mendukung atas pembentukan yang akan kita yakini, hendaknya kita pandai-pandai menilainya dengan segera membuang yang buruk dan kembali mencari jalan terbaik, termasuk dalam mencari lingkungan yang lebih sehat yang dapat mempertebal system kepercayaan kita. Jangan lupa untuk terus memasukkan sugesti positif ke dalam diri secara terus menerus dengan melakukan self talk, self reflection, self control, self evaluation, dan self motivation. Seperti cerita manarik dari salah satu peserta di kelas saya. Oh ya satu lagi jangan lupa, bahwa kita adalah tuan untuk diri kita sendiri dan hanya kitalah yang dapat membuat diri kita sukses ataupun gagal dan semua ini berasal dari Belief System kita. Seperti kata sebuah tagline “Nothing is impossible!”
by admin | Feb 11, 2023 | Information, News
oleh Erwin Parengkuan
Menekuni profesi sebagai pengajar Public Speaking tanpa saya sadari sudah menginjak tahun ke 19, sama halnya dengan organisasi TALKINC ini. Dari begitu panjangnya perjalanan yang sudah saya lalui, berbagai tantangan berbagi di kelas sudah saya lewati. Peserta yang memiliki antusiasme yang tinggi, minat belajar yang muncul dari kebutuhan, atau karena diminta atasan atau orangtua, membuat saya merekam berbagai macam cara mereka mengutarakan pikiran, perasaannya, dan pendapatnya di depan kelas. Disitulah dinamika berbicara di depan publik dengan individu yang berbeda-beda, isi kepala, audiens yang juga berbeda-beda dengan tujuan pesan yang ingin kita sampaikan diterima 100% dengan baik, tanpa adanya distorsi apapun. Apakah semuanya berhasil menyampaikan pendapat dengan tepat?
Public Speaking atau cara berkomunikasi adalah sebuah landasan utama yang terpenting bagi kita umat manusia, tanpanya kita akan kesulitan untuk menyampaikan pesan apapun yang ada di kepala. Jadi Public Speaking adalah sebuah cara bagaimana seseorang mengutarakan/mengartikulasikan sebuah pesan agar jelas dan runut. Disinilah letak sebuah seni yang dulu kita banyak ketahui tentang 3 faktor yang harus dimiliki seseorang dalam berkomunikasi yaitu bahasa tubuh, suara dan kata-kata, seperti penelitian yang dilakukan oleh seorang professor Albert Mehrabian pada era sebelum digital datang. Saya tidak akan membahas itu karena memerlukan begitu banyak komponen pendukung didalamnya yang harus diasah terus menerus. Kali ini saya justru akan mengajak anda melihat sebuah hal utama dibalik itu yang perlu dimiliki.
Saya menyimpulkan bahwa Public Speaking sejatinya adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan dirinya. Bagaimana kita dapat mengatur ego kita dalam berkomunikasi, tidak dominan, tidak merasa paling benar, dan tidak otoriter. Dalam sebuah buku yang saya baca di tulis oleh pemenang Nobel Daniel Kahneman, ia menuliskan sebuah kesimpulan tentang “thinking fast and slow” bagaimana otak kita berpikir secara cepat dan lambat dalam mengambil sebuah keputusan yang memengaruhi cara kita dalam menentukan hal apapun. Begitupun halnya dalam seni berbicara, kita harus dapat mengendalikan diri kita, hanya kita yang dapat mengendalikannya.
Kemampuan seseorang dalam mengendalikan dirinya adalah sebuah fundamental dalam Public Speaking. Kita tentu tahu bahwa kecakapan seseorang dalam membawakan dirinya akan menciptakan sebuah relasi yang sangat indah. Saling menghargai, saling melindungi, saling menyayangi, dan peduli terhadap sesama. Hal inilah yang harus terlebih dahulu kita pahami, kuasai dan miliki dalam diri kita. Jadi akan jelas terlihat, mulai dari pemilihan kata-kata yang diucapkan seseorang, jelas terasa bagaimana ia memandang dirinya dan memandang orang lain. Kalau kata-kata, suara, bahasa tubuh bahkan cara berpenampilan yang kita lihat, dengar dan rasakan itu tidak mengena dihati kita, maka akan terlihat bagaimana hubungan yang akan terjadi selanjutnya.
Semua kata-kata yang kita ucapkan akan jadi pengukur yang jelas, bagaimana tingkat kepahaman dari apa yang kita ucapkan, akan terasa juga dan membekas di hati. Kata-kata seperti “masak gitu aja kamu enggak tahu!” melambangkan seseorang yang menganggap dirinya lebih baik dari orang lain, yang berimbas lawan bicara merasa direndahkan. Kemudian, dampak selanjutnya tidak akan terjadi sebuah komunikasi yang baik bila kalimat-kalimat seperti ini terus dikumandangkan, belum lagi intonasi dan bahasa tubuh yang mengiringinya memperkuat pesan tersebut.
Komunikasi adalah sebuah seni dalam membangun hubungan. Sepatutnya pemahaman fundamental ini dulu. Dan mulai sekarang, mari kita mengenal diri lebih baik, menguasai diri ,menghargai diri dan menghargai lawan bicara. Mulailah melihat kedalam diri sebelum kita melakukan komunikasi atau Public Speaking, agar terjadi hubungan yang selaras dan saling menghargai karena semua orang ingin diperlakukan dan diperhatikan dengan baik. Baru setelah itu kita latih intonasi dengan tepat, cocokan dengan bahasa tubuh, tekanan suara serta berpenampilan yang sesuai.
by admin | Jan 30, 2023 | Information, News
Seorang profesor bernama Mehrabian di akhir tahun 1970 melakukan penelitian terhadap dampak dalam berkomunikasi yang kemudian menjadi acuan dasar manusia untuk menyampaikan sebuah pesan. Dari penelitian yang melibatkan 1000 responden itu, kata-kata yang kita ucapkan memberikan dampak hanya 7%, sisanya 38% adalah tekanan suara dan selebihnya adalah bahasa tubuh.
Penelitian ini sampai sekarang masih kita gunakan, walaupun sudah sedikit berubah seiring datangnya era digital. Sehingga saya menambahkan porsi gaya penampilan seseorang di dalam komponen-komponen tersebut. Menjadi kata-kata 10%, suara 20%, penampilan 10% dan bahasa tubuh 60%, seperti yang saya tuangkan dalam buku saya “Strategi Sukses Berkomunikasi Secara Efektif” terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2019. Mengacu dari teori sang profesor, tetap kata-kata memberikan dampak yang kecil. Pun demikian, kata-kata adalah senjata kita dalam menyampaikan sebuah pesan. Kata-kata yang tepat dapat membuat seseorang suka ataupun benci kepada kita. Membuat seseorang mengingat apa yang kita ucapkan atau mengabaikannya.
Pada artikel sebelumnya, saya juga telah membahas tentang pentingnya kita memiliki kemampuan kosa kata yang kaya dan beragam. Sayangnya kesadaran ini masih rendah pada masyarakat kita. Kita terlalu minim perbendaraan kata sehingga dengan hadirnya era digital yang kebanyakan mengumbar kata, akhirnya kata-kata yang sering kita gunakan terinspirasi dari jargon-jargon di sosmed, membuat kata-kata yang kita ambil, terdengar menjadi umum dan tidak berdampak.
Untuk itu pentingnya kita harus memiliki kepandaian memilih kata yang tepat agar dapat diingat dan dapat memberikan pengaruh kuat dalam menghasilkan sebuah tindakan yang kita harapkan dari sebuah tujuan komunikasi. Mulailah membiasakan diri dengan kemahiran merangkai kata yang tepat. Menggabungkan kata yang umum dengan kata yang jarang digunakan orang tetapi dapat di mengerti.
Sebuah kata-kata yang powerful banyak mengandung emosi. Bukan kata-kata seperti ketika kita akan memotivasi lawan bicara dengan berucap “kamu pasti bisa” melainkan memikirkan sekiranya lawan bicara kita akan tergerak bila kita masuk ke sisi emosinya terlebih dahulu kemudian menggabungkan dengan kata yang memotivasi. Contoh “saya paham kesulitan yang kamu hadapi dalam menjalankan tugas baru ini, seperti dalam setiap proses pembelajaran, tentu proses ini akan panjang dan berliku, akan tetapi kami percaya kamu dapat memberikan yang terbaik agar kinerja kamu dapat membawamu kepada jenjang karir yang lebih tinggi!”
Ada narasi yang kita persiapkan melalui tabungan kata-kata yang sudah tersimpan di memori kita. Kata-kata yang terlalu pendek, apalagi umum, terdengar biasa dan hanya lewat di telinga lawan bicara. Miliki waktu setiap hari untuk membaca banyak tulisan/narasi yang beragam adalah sebuah obat mujarab.
Mulai aktif menulis juga akan mengasah kemampuan merangkai kata. Saya sendiri melakukannya secara rutin, dan bila melihat sebuah jargon atau sepenggal kata yang saya temukan, saya kemudian akan membuat kalimat yang berbeda dan mencatat pada notes saya. Ketika kita terus mengasah dan mencatatnya, kita akan semakin mahir dalam menyusun kata-kata yang powerful dan jangan lupa untuk membaca kemampuan isi kepala lawan bicara kita. Agar tepat dan membantu mereka berpikir dan tergerak.
by admin | Dec 5, 2022 | Information, News
Oleh Erwin Parengkuan
Founder, CEO of TALKINC, Writer, Certified Prof
“Ini kalau tidak diurusin bisa gawat sih mereka, lepas tanpa bimbingan, 70% pekerja kita isinya mereka semua!”
“Kami tuh banyak tahu, semua hal! saking banyaknya tahu kami sering bingung sendiri, mau mulai dari mana? Terlalu banyak pilihan!”
“Mas, saya perlu healing, boleh yaa?”
Tentu anda bisa tebak, 3 ucapan di atas siapa yang bicara dan kepada siapa? Sedihnya, kita terlalu banyak menuntut ke mereka, lupa kalau ngomong harus satu pesan dulu, tanya mereka kenapa itu penting, baru lanjutkan lagi diskusi itu, dst. Bukan membombardir mereka dengan pesan yang bertubi-tubi dan membuat mereka kabur dan minta langsung healing.
Saya sangat sering berjumpa mereka di kelas, berbagi jurus jitu cara komunikasi yang tepat dan ngobrol sama mereka. Bilangin mereka kenapa ini dan kenapa itu penting buat dilakukan dalam meningkatkan karir dan tentu untuk memiliki kemampuan berkomunikasi yang lebih mudah diterima lawan bicara, apalagi dengan yang lebih senior yang masih arogan dan (makin) mudah baper.
Pernah dalam sebuah sesi dengan mereka, para zillenial yang jumlahnya 24 orang, para management trainee yang terpilih untuk menjadi penerus perusahaan besar itu. Saya melontarkan pertanyaan terbuka untuk menerima tantangan mencocokkan penjelasan dari 4 terminologi yang sudah saya tulis di flipchart. Anak ini bergegas menyambut tantangan saya, sampai di depan kelas, dia lantas menggaruk-garuk kepalanya, dan bilang ke saya “Aduh saya lupa pak ini yang mana aja ya?” saya bilang “Loh saya kan tidak memintamu, kamu sendiri yang berinisiatif untuk maju ke depan, coba ingat-ingat apa yang tadi sudah ada dibenakmu?” ujar saya santai. Saya kemudian membalikkan pertanyaannya “Nah, kalau kamu mau tahu tidak pagi ini saya bangun jam berapa?” Dengan cepat ia menjawab “Enggak nanya!” Aduhhhhh!!!!!
Contoh yang sering terjadi, gesekan makin nyaring bunyinya. Wahai para senior dan orang tua, mari kita belajar pahami dunia mereka yang sangat berbeda dengan kita. Mereka sangat mudah rentan, bicara tanpa dipikir, pendek-pendek pula, tata bahasa yang salah macam anak Jaksel dll. Mereka mutlak kita bimbing, kita yang memang harus lebih bersabar untuk menuntun mereka. Dengan contoh tadi, memang kalau saya pikirkan lagi, bisa jadi anak ini memang tidak bermaksud berlaku seperti ini kepada saya yang notabene lebih tua seperti umur orang tua mereka dan facilitator di kelas. Sudah jelas anak ini hilang dari bimbingan dan tenggelam dengan derasnya timeline dan cepatnya internet connection.
Lantas apa yang harus kita lakukan agar dapat menjembatani jurang jauh ini agar semakin dekat? Saya punya 4 jurus yang dapat membantu anda wahai para pemimpin:
1.Speak with respect
Sadari bahwa tanpa mereka organisasi tidak akan terus berjalan dan berkesinambungan. Untuk itu kita perlu menurunkan ego, sing sabar sing ikhlas untuk bicara dengan mereka. Walaupun dalam konteks organisasi kita merasa semua orang harus dapat berbicara secara dewasa, tetapi alangkah baiknya kalau berinteraksi dan berkomunikasi dengan mereka, ‘kacamata’ kita mutlak dirubah yaitu sebagai kakak mereka bukan sebagai bos otoriter. Kita harus menyelami dunia mereka, menghargai apapun pendapat mereka. Dalam setiap sesi dengan mereka ada baiknya, emosi kita harus tetap netral dan bangkitkan minat penasaran ingin tahu apa yang ada dalam mindset mereka. Ingat semua masalah timbul karena kesalahan dalam membangun relasi dan berinteraksi.
2.Mingle with them
Beruntungnya para generasi X seperti saya yang masih baca koran dan aktif di media sosial sehingga lebih lentur untuk paham apa yang terjadi pada dunia digital saat ini. Kita harus mengerahkan effort untuk dapat nyambung dengan mereka, tidak mengunci akun instagram, pakai sneakers bukan oxford shoes, ikutan juga sesekali posting di insta story, nongkrong bareng dengan mereka. Seperti yang sering saya lakukan dengan anak-anak kantor yang semua millennials dan zillenials. Saya menempatkan diri bukan sebagai atasan, tetapi sebagai bapak mereka. Bila kami ingin hang-out, saya meminta mereka untuk menentukan tempat nongkrong yang asik dan tentu instagramable. Banyak sekali organisasi besar di seluruh dunia sekarang sudah tidak memberlakukan jam kantor, membuka sekat-sekat kantor menjadi co-working place, membuat “playground” bagi mereka di kantor, seperti menyediakan bean-bag untuk mereka istirahat,dll. Harus selalu ingat bahwa motto mereka “you only live once, working and pleasure at the same time.”
3.Building Raport and Finding Similarities
Effort berikutnya adalah membangun kanal-kanal pribadi dengan setiap orang di kantor, terutama mereka yang akan menjadi the next future leader, cari tahu sisi pribadi mereka, keluarganya, pacarnya dll dan temukan kesamaan yang akan membuat hubungan menjadi meaningful. Jadilah seorang mentor buat mereka, itu mutlak! Luangkan waktu khusus secara berkala dengan mereka, memonitor progress mereka.
4.Mutual respect for building a culture of trust
Sebagai leader tentu kita harus terus bertumbuh dan akhirnya menjadi role model mereka, jangan buat mereka takut karena jabatan kita. Pemimpin harus walk the talk, bukan cuma ngomong doang apalagi hanya memerintah. Seorang leader yang terpercaya adalah yang memiliki sifat hangat, menyenangkan dan memiliki keahlian serta wawasan luas dan dapat memberikan solusi terbaik. Sehingga mereka menghargai kita dan nyaman dengan kita.
4. jurus Ini 100% akan membuat produktifitas usaha semakin meningkat, tidak hanya untuk setiap pribadi didalamnya tapi tentu organisasi akan terus bertumbuh sesuai dengan tuntutan zaman, sejalan dengan core values, corporate culture and most importantly everybody happy!